Chereads / MALAM-MALAM LIAR TANPA CINTA / Chapter 10 - Part 10. 

Chapter 10 - Part 10. 

Di luar sana gerimis turun tiba-tiba. Melawan teriknya cahaya yang dari pagi menerangi. Menyembunyikan matahari yang sebelumnya melambung tinggi dengan begitu angkuh. Meredakan panasnya bumi yang kini makin berumur.

Dari dalam apartemen, rintik hujan hanya samar terdengar. Mengalun bagai nada dari seorang pianis yang sedang memainkan lagu terbaiknya. Indah, merdu, dan menyenangkan untuk didengar. Juga sesekali penuh energi, ketika sudah masuk dalam titik puncak dari lagu yang sedang dibawakan.

Indahnya musik yang sedang berputar itu pula yang pada akhirnya membangunkan Binar dari tidur. Membuka matanya yang masih terasa berat. Namun setidaknya, dia merasa sakit kepalanya sudah terasa sedikit membaik.

"Dan akhirnya, dengan satu ciuman mesra, Putri Clare pun terbangun dari mimpi-mimpi indah."

Suara yang baru saja terdengar terasa bagaikan kaca jendela yang jatuh dan pecah berhamburan. Menghancurkan indahnya melodi alam. Mengacaukan ritme tertata yang sedang dimainkan di gendang telinga.

Kali ini Binar dengan mudah berhasil menemukan di mana Eri berada. Melihat ke arah meja kerja, yang kini di atasnya tersimpan satu laptop dan beberapa buku. Dan yang paling mengejutkan adalah keberadaan kacamata di wajah tegas pria itu. Menjadikan Binar mau tidak mau harus mengakui bahwa kacamata tersebut membuat Eri terlihat lebih menarik. Dan tentu saja, Binar tidak akan mengatakan hal tersebut. "Sekarang jam berapa?"

"Udah lewat jam makan siang," balas Eri, sibuk melepas kacamata dan menyimpannya di atas meja. "Kalau kamu kepikiran untuk pergi kerja, aku saranin lebih baik kamu engga usah pergi."

"Dan aku memang engga berencana untuk pergi. Kalau memang mau, aku udah berangkat dari tadi pagi."

"Jam sembilan tadi?"

Binar menatapnya penuh tanya. "Kok kamu tahu?"

"Ya, tahu, dong," balas Eri sambil tertawa kecil. "Ini kan apartemenku."

Tak lama, Binar menopangkan berat tubuhnya di satu sisi, lalu bangun dengan susah payah. "Kamu udah bangun dari pagi?"

Anggukan kepala Eri menjawab pertanyaan itu.

"Tapi, kenapa tadi aku engga lihat kamu? Dan, kenapa kamu engga bangunin aku?"

"Aku ada di sofa. Kamu aja yang engga lihat," balas sang pria dengan sopan. "Kenapa aku engga bangunin? Karena, sayang aja rasanya kalau wanita secantik kamu dibangunin pagi-pagi, terus pergi gitu aja tanpa jejak. Sarapan aja engga. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin."

"Baik buat kamu, tapi kabar buruk buatku," balas Binar ketus.

Selama belasan degup jantung, Eri memutuskan untuk diam sambil memandangi wanita yang duduk di atas ranjangnya dengan kepala tertunduk. Membiarkannya sejenak mencerna kenyataan. Mungkin wanita itu sudah terbiasa bangun di berbagai jenis ranjang bersama berbagai macam pria yang sanggup membayar. Namun, kali ini dia tidak mempersiapkan mental untuk itu. Atau mungkin sebenarnya Binar siap?

"Kalau masih mual, kamu tahu kamar mandi ada di mana, kan?"

Saat Binar akhirnya menoleh, sang pemilik apartemen sudah kembali memalingkan wajah, melihat ke layar laptop yang menyala. Pria itu tidak sedang bicara. Tidak pula terlihat sedang mengetik sebuah laporan. Lalu, sebenarnya apa yang sedang dia kerjakan?

Tanpa disadari, Binar memandangi pria itu lebih dari yang diniatkan. Memperhatikan kaos polo putih dan celana pendek chino berwarna krem. Rambut hitamnya dibelah pinggir ke kanan, sedikit lebih berantakan dari yang sebelumnya terlihat. Penampilan kasualnya tampak nyaman. Satu-satunya hal paling mencolok dari pria itu adalah bekas luka memanjang yang ada di betis. Binar sudah menyadari hal itu dari pertama bertemu, tetapi mencari tahu masa lalu seorang pria bukan hal yang terasa menarik saat dia sedang dibayar untuk "bekerja".

Dengan sangat hati-hati, Binar memberanikan diri untuk menapakkan kakinya ke lantai. Eri tidak sepenuhnya salah saat mengatakan bahwa wanita itu mungkin masih mual. Dan mungkin memang benar jika rasa mual itu segera dimuntahkan ke kloset, bisa jadi Binar akan merasa lebih baik. Ditambah lagi, dia juga sudah sangat butuh untuk membuang terlalu banyak air yang semalam diminum. Meski terasa berat, Binar mulai melangkah, meski gerakannya tidak seperti orang sehat.

Eri tentunya menyadari hal tersebut. Namun, dia memutuskan untuk tidak ikut campur.

***

"Eri," suara Binar terdengar cukup lantang dari arah pintu kamar mandi yang terbuka setengah. Kepalanya muncul dari sana dengan rambut basah. "Aku boleh pinjam baju kamu dulu?"

Sang pria yang dipanggil tidak langsung menjawab. Dia mengisyaratkan wanita itu untuk tidak lagi bicara, sementara dirinya sendiri sibuk mengucapkan beberapa kalimat yang tidak bisa Binar dengar. Sekejap, wanita itu tahu bahwa dia telah berbicara di waktu yang kurang tepat. Apalagi, tadi suaranya terdengar cukup nyaring. Tanpa banyak bicara, Binar kembali masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu.

"Clare?"

Suara penuh percaya diri itu terdengar begitu cepat. Jauh lebih cepat dari yang Binar duga. Dia membuka pintu dan memunculkan kepalanya dari celah yang tidak tertutup, menyembunyikan tubuhnya yang tidak dilapisi sehelai kain pun. "Aku bisa pinjam baju dulu?"

"Bisa. Tapi, mungkin yang cocok kamu pakai cuma kaos biasa, sama celana pendek." Dari salah satu tangannya, Eri memberikan setelan setelan berwarna cokelat. "Mungkin agak kebesaran di kamu."

"Engga apa-apa. Daripada pakai baju yang kemarin."

Dengan gerakan lembut, Binar menjulurkan tangannya keluar dari pintu dan mengambil pakaian yang akan dipinjam. "Aku pinjam dulu, ya." Segera setelahnya, pintu kembali ditutup.

Eri benar, baju dan celana yang dipinjamkannya itu memang sedikit kebesaran. Kaos yang Binar pakai memiliki lubang kepala yang lebih besar, dan menunjukkan leher dan dada bagian atas sedikit lebih banyak dari seharusnya. Namun, tidak sampai memperlihatkan apa pun yang tidak seharusnya Eri lihat. Celana yang diberikan juga ukurannya jelas terlalu besar untuk pinggang Binar. Namun, karena berbahan kain, wanita itu bisa melipatnya sedemikian rupa agar nyaman dipakai.

Sebelum melangkah keluar, wanita dengan rambut hitam itu sempat memperhatikan dirinya di depan kaca. Pakaian serba kebesaran, rambut basah, dan tanpa sedikit pun make up. Binar tahu persis bahwa make up tipis yang selalu dipakai adalah sebuah sihir yang membuatnya jauh lebih cantik. Namun, saat ini dia tidak sedang akan memuaskan siapa pun. Dia tidak harus tampak cantik untuk siapa pun.

Pada saat yang sama, pikiran Binar sempat kembali dipenuhi oleh sesuatu yang mengganjal. Ketika tadi hanya memunculkan kepalanya saja, Eri tidak berkomentar terhadap bagian tubuh yang dia sembunyikan. Jika saja Eri adalah pria lain yang pernah menyewanya, pasti mereka akan berkata bahwa tidak ada lagi bagian tubuh yang perlu Binar sembunyikan. Bahwa mereka telah melihat semua keindahan yang bisa wanita itu tawarkan.

Namun Eri tidak seperti mereka. Pria itu … jauh lebih tahu diri.

Pintu kamar mandi terbuka dan Binar melangkah keluar dengan handuk masih mengelilingi kepala dan rambut basahnya.

"Clare, dari tadi ponsel kamu getar terus," Eri menunjuk pada tas yang tersimpan di meja di samping ranjang. "Mungkin ada yang penting?"

Dengan langkah cepat wanita itu menghampiri tasnya dan mengambil benda bergetar tersebut. Farhan!

"Halo …. Aku …," wanita itu sejenak ragu, memikirkan kalimat yang paling tepat, "di rumah teman …. Iya …. Aku baik-baik aja, kok …. Iya, benar …. Karena aku bangun kesiangan …. Sesekali bolos kerja engga apa-apa, kan …. Biarin, aja, Han. Kalau pun aku masuk, pasti juga tetap dimarahin. Sekalian aja aku engga masuk …. Ceritanya mungkin agak rumit untuk dibahas via telepon. Gimana kalau kita ketemu nanti sore …?"

Setelah kalimat terakhir itu, Eri tidak bisa lagi mendengar apa yang Binar bicarakan dengan orang yang entah ada di mana. Wanita itu sudah menjauh dan berdiri di balkon apartemen. Jika Binar tidak cepat-cepat menutup telepon tersebut, berarti orang yang menghubunginya pasti bukan sekedar teman biasa.

Tepat ketika Eri bertanya-tanya siapa yang sedang menelepon, bel pintu apartemennya berbunyi. Mengalihkan pusat pikirannya pada makanan yang sudah dia pesan. Aroma dari makanan yang dipesannya itu sungguh menggoda. Membuatnya seketika menjadi sangat lapar saat sudah meletakkannya di atas meja. Dia sudah berniat untuk mengambil satu potong pizza dan melahapnya cepat. Namun, akhirnya Eri memutuskan untuk menunggu hingga wanita yang ada di balkon itu masuk. Karena dari awal, dia membelinya untuk mereka santap berdua. Menggantikan momen sarapan pagi yang Binar tolak kemarin. Jadi, untuk apa makan lebih dulu kalau memang dia bisa mengajak wanita itu makan bersama?

Usai meyakinkan Farhan bahwa dirinya baik-baik saja, Binar melangkah masuk untuk menghindari rintik hujan yang semakin lebat. Hidungnya seketika mencium aroma sedap yang membuat perut mulai bernyanyi.

"Ayo makan."

"Makan?" ucapnya seolah tidak merasa lapar.

"Aku pesan pizza. Kamu engga mau?"

"Aku engga begitu lapar. Lagian, aku harus pergi sekarang."

"Ayolah, Clare. Aku engga mungkin habisin ini sendirian. Temani aku makan dulu, ya."

Binar berdiri diam. Dia harus sedikit jual mahal dalam hal-hal begini. "Kalau engga habis, bisa kamu kasih ke orang lain aja, kan?"

"Kalau bisa aku habisin berdua sama kamu, kenapa engga?"

Sebelum Binar sempat menanggapinya lagi, langit menumpahkan tangis yang jauh lebih banyak. Seolah sedang bekerja sama dengan Eri untuk memerangkap Binar di apartemennya. Wanita itu menoleh ke arah balkon.

"Nah, sekarang malah hujan lebat. Kamu yakin mau tetap pergi sekarang?"

Binar tidak sedikit pun menoleh. "Aku akan langsung pergi kalau hujan udah reda."

"Tapi, sekarang hujan baru aja turun."

"Dan menurutmu," balas wanita itu sambil menengok ke arah Eri yang duduk bersandar di sofa, "makan sambil nunggu hujan reda itu jauh lebih baik?"

"Kalau aku jadi kamu, aku engga akan mau lari-larian di tengah hujan sambil ngerasain perut lapar."

Hening. Suara hujan di luar sana hanya samar terdengar. "Oke. Aku akan temani kamu makan. Tapi, dengan satu syarat."

"Apa syaratnya?"

Kalimat yang Binar ucapkan kemudian berhasil membuat raut wajah Eri sedikit berubah.