Waktu baru menunjukkan pukul 07:27 ketika Binar berjalan melewati pintu kaca gedung kantor tempat dia bekerja. Suasana di sana masih terhitung sepi, karena memang kebanyakan orang memilih untuk datang beberapa menit sebelum terhitung jam masuk kerja. Tanpa banyak hambatan, Binar sudah berada di ruang kerjanya tidak sampai tujuh menit kemudian. Duduk di kursi putar, menyalakan komputer, dan mempersiapkan semua dokumen yang seharusnya dikerjakan kemarin.
Dalam ruangan itu sudah ada empat orang lain yang datang lebih dulu. Ketika Binar masuk, mereka semua tersenyum dengan garis bibir yang tidak terlihat tulus. Apa pun alasannya, sebenarnya Binar tidak begitu peduli. Hanya saja, dia merasa tidak nyaman ketika mereka terus melihatnya dengan sorot mata seperti sedang bergosip.
"Binar!"
Suara histeris Belinda membuat Binar menoleh ke belakang dan tersenyum getir. "Hey."
"Kamu udah sehat?"
Untuk beberapa saat, wanita yang pagi itu mengenakan blus berwarna cokelat muda tampak tidak begitu mengerti maksud pertanyaan Belinda. Menunggu beberapa saat hingga teman kerjanya itu sudah duduk dengan nyaman. "Sehat? Maksud kamu?"
"Kemarin kamu sakit, kan?"
Sakit? Ucapan itu memenuhi pikiran Binar yang sama sekali tidak mengerti. "Kata siapa aku sakit?"
"Kata pacarmu, lah," balas Belinda santai. "Kemarin siang dia ke sini nanyain kamu. Terus aku jelasin ke dia kalau dua hari lalu kamu habis dimarahin Bu Dita. Nah, sorenya, dia ke sini lagi. Lebih tepatnya, sih, ke ruangan Bu Dita."
"Ke ruangan Bu Dita?"
"Iya. Habis dari ruangan Bu Dita, aku nanya ke dia, kenapa kamu engga masuk. Dia bilang kamu sakit."
Binar ingat sepenuhnya bahwa kemarin Farhan tidak mengatakan apa-apa terkait hal ini. "Terus, respon Bu Dita gimana?"
Selama beberapa detik, Belinda berusaha mengingat kejadian kemarin sore. "Kayaknya, sih, Bu Dita engga kelihatan banyak komentar apa-apa."
"Raut mukanya Bu Dita? Dia jadi tambah marah atau jadi lebih kalem atau gimana gitu?"
"Aku engga perhatiin banget, Bin. Mana berani aku lihat-lihat Bu Dita kayak gitu."
"Iya, sih."
Tak lama, orang yang sedang mereka bicarakan tampak masuk membuka ke dalam ruang kerja divisi mereka. Sejenak, Dita sempat memandang ke arah Binar dengan sorotan bagai sembilu. Namun, entah apa alasannya, wanita itu memutuskan untuk masuk ke dalam ruang kerja pribadinya tanpa bicara satu pun kata. Membuat Binar dan Belinda saling tatap penuh tanya. Hanya saja, sekarang mereka tidak berani untuk melanjutkan perbincangan, dan mulai bekerja dengan komputer masing-masing.
Harus diakui, dari pagi hingga pulang kerja, hati Binar tidak bisa tenang sama sekali. Terus memikirkan dampak dari tindakan buruk yang dilakukannya kemarin. Menurut Binar, setidaknya Dita akan mengeluarkan Surat Peringatan agar membuat bawahannya itu jera. Paling parah, meski kemungkinannya sangat-sangat kecil, Binar akan dikeluarkan dari kantor tempatnya bekerja. Sempat terpikirkan juga beberapa pilihan lain yang tidak lebih baik ; dipindahkan ke divisi lain. Sampai-sampai selama bekerja, beberapa kali wanita itu kehilangan fokus dan melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak umum terjadi. Namun, anehnya, hingga waktu makan siang datang, tidak sekalipun Dita memanggil Binar. Menyebut namanya pun tidak. Lebih anehnya lagi, atasan yang biasanya selalu bermuka masam itu tampak sedikit lebih ceria.
Hingga akhirnya sore menjelang, semuanya berjalan berjalan jauh lebih tenang dari yang sudah dibayangkan. Seandainya Farhan bisa menemani Binar makan siang, semuanya akan menjadi jauh lebih sempurna. Meskipun sebenarnya bukan kali ini saja mereka tidak menghabiskan waktu istirahat bersama. Masing-masing dari mereka memiliki lini waktu kerja yang tidak selalu sama. Dan acapkali hal itu membuat mereka hanya bisa berbincang via chat atau telepon.
Pada dasarnya, Binar tidak pernah mempermasalahkan hal itu sama sekali. Hanya saja, bagaimana cara Dita bersikap membuat Binar mempertanyakan begitu banyak hal. Tepat satu hari setelah Farhan menemuinya di ruangan. Binar takut bahwa sebenarnya ada sesuatu yang terjadi. Hal buruk yang mungkin saja tidak dia ketahui.
***
"Menurut aku, aneh, sih, kalau Bu Dita engga marah sama sekali."
Di ujung telepon sana, terdengar suara Farhan yang justru tertawa. "Bukannya bagus kalau dia engga marah-marah sama kamu?"
"Bagus dan aneh itu bukan dua hal yang sama. Aku bersyukur hari ini engga dapat amukan Bu Dita. Tapi, menurut kamu memangnya engga aneh, ya?"
"Hmm. Mungkin aja mood-nya lagi bagus. Jadi dia malas ngerusak mood-nya cuma karena marah-marah ke kamu?"
"Iya, aku tahu mood-nya memang lagi bagus," balas Binar cepat. Sejenak, dia membiarkan hening memasuki gendang telinga. "Dan aku penasaran kenapa mood-nya bisa sebagus itu."
"Apa jangan-jangan dia udah dapat pacar baru?" canda Farhan dengan suara yang begitu dibuat-buat.
Jika saja kemarin sore pria itu tidak menemui Dita, mungkin saja Binar akan merespon perbincangan ini dengan lebih santai. Akan tetapi, saat ini Binar benar-benar mempertanyakan tujuan Farhan datang menemui atasannya. Dan secara sangat kebetulan, keesokan harinya, atasan yang selalu marah-marah itu datang dan pulang dengan raut wajah yang tidak sewajarnya terjadi.
"Mungkin aja, sih." Hening kembali. Menimbang apakah dia bisa mulai membahas alasan utama menelepon kekasihnya itu. "Atau mungkin karena kemarin so–"
"Sayang, ini teman-temanku udah datang. Aku lanjut kerja dulu, ya, supaya pulangnya engga terlalu malam. Engga apa-apa, kan?"
Pupus sudah harapan Binar mendapat jawaban. "Bukannya kamu juga belum makan malam?"
"Iya. Makan malamku juga baru aja datang. Tadi udah pesan nasi padang sama mereka."
"Yaudah kalau gitu. Kamu makan dulu, baru lanjut kerja. Ingat, loh, jangan terlalu dipaksain. Besok, kan, Sabtu."
"Iya. Kamu juga jangan lupa makan. Nanti aku kabarin lagi kalau udah mau pulang."
Rasanya Binar belum rela menutup perbincangan mereka. Berucap dengan enggan, "Bye, Farhan."
"Goodbye, Sayang."
Dari layar ponsel, Binar melihat berapa lama panggilan terakhirnya dengan Farhan. Hanya tujuh menit. Jauh lebih sebentar dari biasanya. Apa mau dikata, karena memang saat sedang benar-benar sibuk, Farhan dan rekan-rekan satu divisinya bisa bekerja sampai larut malam. Binar mengerti itu. Dia mau mengerti akan hal itu.
Hanya saja, sisa lain dalam hatinya membisikkan pertanyaan yang masih belum juga terjawab. Pertanyaan yang sama sekali tidak membantu membuat rasa khawatirnya berkurang.
Apa yang sebenarnya Farhan bicarakan pada Dita kemarin sore?