Matahari di luar sana sudah beranjak naik semakin tinggi. Gorden biru yang menutupi jendela berhasil menutupi yang berusaha masuk untuk membangunkan orang-orang tertidur. Seperti juga kebanyakan orang, Binar memilih untuk menghabiskan hari liburnya dengan bermalas-malasan saja di rumah. Duduk bersantai, memasak, menonton serial barat yang sedang booming. Dan yang paling penting, dia bisa bangun jauh lebih siang dari hari-hari biasa.
Pagi itu sudah hampir pukul sembilan ketika akhirnya Binar membuka mata dengan penuh rasa malas. Melirik ke arah jendela yang menyelipkan garis-garis cahaya tipis dari celah gorden. Mendengar satu atau dua orang, atau entah berapa orang tetangganya yang sedang asyik mengobrol dalam suara samar-samar. Pun terdengar nyaring, Binar juga tetap tidak akan peduli. Dia sudah tahu topik bahasan yang biasanya jadi perbincangan orang-orang di sekeliling komplek perumahan tempat dia tinggal. Para wanita tidak akan jauh dari memperbincangkan drama korea. Sementara para pria memilih topik yang cenderung membahas olahraga.
Rasanya ingin sekali wanita itu kembali memejamkan mata dan menikmati kasur empuknya hingga menjelang siang. Sayangnya, rasa kantuk sudah jauh pergi naik ke atas awan. Meninggalkannya di permukaan bumi, dengan rasa enggan untuk beranjak dari atas ranjang.
Terbangun di Minggu pagi di atas ranjang miliknya. Hal ini tidak begitu sering bisa Binar nikmati. Biasanya, malam minggu adalah jadwal padat yang hampir tidak pernah bisa Binar berikan untuk membahagiakan dirinya sendiri. Malam minggu adalah waktu-waktu yang biasanya dia disewa oleh orang-orang kaya yang ingin membuang-buang uang. Menemani mereka makan malam atau mengikuti acara-acara tertentu. Yang tentu saja, seringkali hal itu akan berakhir di ranjang sang pemilik uang hingga pagi datang menjelang.
Sekarang, bisa bangun di ranjang miliknya pada hari libur saja, rasanya sudah sangat-sangat menyenangkan.
Wanita itu membalikkan badan dan mengambil ponsel yang ada di sisi lain ranjang. Membuka aplikasi perpesanan dan memilih percakapan tidak pernah turun dari daftar paling atas. Mengetik beberapa pesan dan mengirimnya dengan kecepatan cahaya. Sejenak menunggu dan berharap pesan tersebut akan langsung dibalas. Setelah puluhan detik berlalu, Binar akhirnya menyerah.
Farhan belum bangun kali, ya?
***
Hingga pukul dua belas siang, rasanya sudah ribuan kali Binar memeriksa ponsel hanya untuk memastikan apakah ada pesan balasan dari sang kekasih. Dia juga sudah berkali-kali mengirim pesan lain dengan isi yang kurang lebih sama seperti chat-chat sebelumnya. Tetapi, pesan yang masuk ke ponselnya justru berasal dari orang-orang yang tidak begitu diharapkan. Chat grup kantor yang membahas kerjaan, beberapa orang kenalan yang menurut Binar tidak begitu penting, juga chat grup yang beranggotakan keluar besar dari rombongan ayah. Ada memang beberapa chat personal dari teman yang sudah dia respon. Tapi, sisanya hanya masuk dalam daftar notifikasi yang belum mau dia buka.
Putus asa, wanita yang masih mengenakan baju tidurnya itu menjatuhkan ponselnya di sofa. Membiarkan suara televisi memenuhi telinganya. Menatap ke arah layar yang menampilkan serial barat, walau pusat pemikirannya berada di perbatasan lain.
Belum tiga menit sejak diletakkan, ponsel Binar tiba-tiba mulai bernyanyi. Wanita itu lekas mengambil dan mengangkatnya tanpa melihat siapa yang sedang menelepon. Dia tidak perlu melihatnya untuk tahu bahwa orang yang sedang berusaha menghubungi adalah kekasihnya yang dari tadi sudah ditunggu-tunggu.
Membuka perbincangan dengan pertanyaan yang memenuhi pikirannya sejak tadi. "Kamu baru bangun?"
***
"Farhan, kamu lagi ngapain?"
Suara lembut yang Farhan dengar barusan membuatnya berhasil membuatnya menoleh dengan wajah dipenuhi senyum palsu. "Lagi nyari ponsel aku."
"Untuk apa? Kamu, kan, udah janji, Sabtu dan Minggu ini kamu akan full nemenin aku."
"Iya, aku tahu," balasnya. "Tapi, nanti Binar curiga kalau aku engga kontak dia sama sekali."
"Memang kenapa kalau dia curiga?"
Rasanya Farhan malas sekali menjawab pertanyaan ini. "Dita, pacar aku sekarang itu Binar. Bukan kamu. Aku engga mau dia nanti curiga yang aneh-aneh ke aku."
"Aku tahu, kok, Binar itu pacar kamu. Tapi, janji tetap janji, Han. Waktu itu kamu udah janji akan full dua hari ini ini sama aku tanpa ada gangguan dari Binar. Itu satu-satunya alasan aku engga marah-marah sama dia, padahal dia udah mangkir tanpa alasan. Bahkan dia engga kabarin aku–atasannya–sama sekali." Suara Dita yang sebelumnya lembut mulai sedikit merangkak. "Kamu sendiri, kan, yang bilang, kamu engga mau aku marah-marah terus sama Binar?"
Percakapan mereka yang baru saja terjadi ini membuat Farhan mengingat alasan kenapa dulu memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Dita. Ketika itu, dia meninggalkan Dita bukan karena tidak lagi ada rasa sayang sedikit pun. Akan tetapi, dia meninggalkan mantan kekasihnya itu karena sifat Dita yang berusaha untuk selalu mengatur segalanya. Mencoba mendominasi seluruh sisi kehidupan Farhan, dan membuatnya merasa sangat tidak nyaman dengan hubungan tersebut.
Mengingatnya berhasil membuat jantung Farhan sedikit terasa sakit. Namun, demi Binar, dia hanya menghela napas. "Oke. Aku engga akan langgar kesepakatan kita. Tapi, kamu juga harus tepati janji kamu."
Sebuah senyum terukir di wajah Dita yang cantik. Lipstik merah yang menghiasi bibir wanita itu tadi malam masih tampak merona. Make up-nya juga masih cukup berperan untuk membuat Dita terlihat manis. Dengan satu gerakan tangan, dia menyapu beberapa helai rambut bergelombang yang turun di depan wajah. "Aku janji."
Selama beberapa saat, Farhan hanya berdiri diam. Tidak lama, dia melangkah mendekati jendela, membuka gorden untuk membiarkan cahaya terang matahari masuk ke dalam. Sekarang matahari sudah hampir berada di titik zenith. Farhan yakin bahwa kini ponselnya sudah dipenuhi chat dari orang yang saat itu sangat ingin dia jumpai. Binar.
"Farhan."
Suara yang Dita ucapkan kini terdengar jauh lebih lembut, dan sangat menggoda. Meski tidak langsung menoleh, Farhan tetap saja memutuskan untuk kembali melihat ke arah wanita yang masih berada tepat di atas ranjang.
Sebelumnya, Dita masih menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut putih. Namun, kini wanita yang bahkan lebih cantik dari Binar itu dengan sengaja menurunkan sebagian selimut hingga puting dari buah dada kirinya samar terlihat. Mempertunjukkan bagian atas buah dadanya yang mulus dan berisi. Karena Dita tahu persis di mana titik kelemahan pria itu. Dari dulu, Farhan tidak pernah melewati satu hari saja tanpa menggenggam buah dadanya.
"Kamu yakin mau berdiri di sana terus? Memangnya tadi kamu udah puas?"
Tak peduli bahwa mungkin di dalam hatinya sudah tidak lagi ada rasa tersisa untuk Dita, Farhan tidak bisa memungkiri bahwa memang wanita itu sangat cantik dan menggoda. Tubuhnya memiliki lekuk tubuh yang menyenangkan untuk disentuh. Dita juga cukup tinggi dan menjadikan nilai tambah untuk seluruh kecantikannya. Apalagi ketika wanita itu sudah mulai tidak lagi peduli rasa malu, dia bisa menjadi wanita yang sangat-sangat liar.
Dan sekarang, Farhan kembali dihadapkan dengan pemandangan yang dulu sangatlah dia nikmati. Dita memang bukanlah lagi orang yang dia sayang. Akan tetapi, tetap saja wanita itu sangat menggoda. Dengan penuh perjuangan, dia memalingkan muka untuk kembali melihat ke jendela. "Aku …." Menelan ludah yang sudah memenuhi mulut. "Udah. Buatku, ini udah lebih dari cukup."
"Kamu yakin? Kukira malam dan subuh tadi kita baru pemanasan."
Dari ranjangnya, Dita menanti sebuah jawaban. Namun, seolah tak peduli, Farhan memutuskan untuk diam sepenuhnya.
"Coba kamu jujur sama aku. Atau kalau kamu engga mau jujur sama aku, jujur aja sama diri kamu sendiri. Semalam dan tadi pagi," Dita sengaja menjeda kalimatnya untuk beberapa detik, "bukannya kamu juga nikmatin apa yang udah kita lakuin?"
***
"Baru bangun?" tanya suara yang ada di sisi lain telepon.
Mendengar suara tersebut, Binar merasa bodoh tidak lebih dulu memastikan siapa yang telah menghubunginya. Dia menjauhkan ponsel dari telinga, melihat nama yang tertera di layar.
"Halo? Binar? Halo?"
Samar, terdengar lagi suara seorang wanita yang sedang menelepon. Menyadari hal itu, Binar lekas menempelkan kembali ponsel ke telinganya. "Hai! Maaf, kukira tadi bukan kamu yang telepon."
"Hmm. Lagi nunggu telepon dari seseorang, ya?"
"Anggap aja begitu. By the way, kamu apa kabar? Udah lama banget kita engga ketemu."
"Kabarku baik. Dan terkait yang tadi kamu bilang–kita udah lama engga ketemu–justru sekarang aku telepon mau ngajak kamu ketemuan."
Dari caranya bicara, seseorang yang berada di ujung sana terdengar amat bersemangat. "Memang kamu udah pulang ke Jakarta?"
"Udah kemarin siang. Tapi, kamu tahu, lah, aku mau langsung lepas rindu dulu sama tunanganku."
Kalimat itu membuat jantung Binar seolah tertusuk. Tunanganku!
"Nah, sore ini kayaknya aku kosong, deh. Kita ketemuan, yuk!"
"Ketemuan?" Sebelum lanjut bicara, Binar memastikan kembali bahwa suaranya tidak terdengar aneh. "Boleh. Di mana?"
Perbincangan mereka terus berlanjut untuk beberapa menit selanjutnya. Membahas lebih detail rencana pertemuan mereka untuk melepas rindu. Setelah semua hal disepakati, Binar menorehkan senyum yang tidak begitu tulus, seolah berusaha menutupi semua hal yang sekarang muncul di dalam benaknya. Padahal, tanpa mengulas senyum tersebut pun, sosok yang berada di ujung telepon tidak akan bisa melihat bagaimana ekspresi Binar saat ini.
Beberapa detik setelah perbincangan berakhir, ponsel itu masih tetap berada dalam genggaman Binar. Layar terangnya tidak bergerak sedikit pun.
"Harus pasang wajah kayak apa aku nanti di hadapan Stella?"