Entah bagaimana caranya, seolah langit bisa membaca suasana hati Binar yang sedang cukup kacau. Redup, menyembunyikan matahari di balik awan-awan gelap yang memenuhi angkasa. Di sepanjang perjalanan untuk menemui Stella, dia begitu banyak melamun. Tak henti-hentinya memikirkan apa yang harus mereka perbincangkan. Padahal beberapa hari lalu sosok yang sore ini akan ditemui adalah seseorang yang cukup berarti dalam kehidupan Binar. Seorang wanita yang telah banyak membantu kehidupannya. Telah menjadi sahabatnya bercerita dan berbagi keluh-kesah. Dan sekarang, setelah dia meniduri tunangan wanita itu, Binar menjadi serba salah. Meskipun Eri pernah mengatakan bahwa pertemuan mereka berdua telah diatur oleh Stella sendiri, tetap saja Binar tidak bisa tenang. Dia bahkan masih tidak memercayai akan hal itu.
Dalam suasana di mana Binar perlu berpikir jernih untuk waktu lama, dunia malah terasa seperti sedang ingin mempermainkannya. Waktu berlalu terlalu cepat. Jalanan kota yang biasanya macet juga cenderung jauh lebih lancar. Ketika berangkat, Binar mengira bahwa dia masih memiliki waktu hampir satu jam sebelum bertemu Stella. Kenyataannya, empat puluh menit berlalu bagai pesawat jet yang sedang meluncur untuk berperang. Dan Binar sudah harus turun dari taksi yang mengantarnya ke lokasi pertemuan.
Kali ini semuanya terasa jauh berbeda dari biasanya. Empat minggu lalu ketika terakhir bertemu Stella, dia turun dari taksi dengan penuh rasa tidak sabar untuk bertemu dan bercerita. Namun, kini Binar justru gugup setengah mati. Apakah aneh? Tentu saja tidak. Justru akan jauh lebih aneh jika dia tidak merasa gugup sama sekali. Bagaimanapun juga, meniduri tunangan sahabat sendiri bukanlah sesuatu yang akan dilakukan oleh orang-orang berpemikiran sehat.
Sebelum masuk, Binar mematung tepat di depan pintu restoran. Merasa bahwa tangan dan kakinya tiba-tiba dingin. Napasnya juga terhirup tak beraturan. Dia harus berdiam di sana cukup lama untuk bisa menemukan kembali kepercayaan diri yang tiba-tiba saja bersembunyi. Lalu dalam satu embusan napas terakhir–dan paling panjang, setidaknya Binar sudah bisa sedikit lebih tenang.
"Anggap aja semua itu engga pernah terjadi." Ucapan yang tak benar-benar bersuara tersebut menjadi sugesti positifnya yang terakhir.
Usai mendorong pintu masuk, tidak perlu waktu lama bagi Binar untuk menemukan di mana Stella berada. Karena pada dasarnya, seorang wanita yang selalu berpakaian cerah atau mencolok akan mudah ditemukan. Sore ini, Stella tampak menarik mengenakan gaun merah mawar yang terbuka di kedua lengan. Menutupi hingga tepat di bawah lutut.
Stella menyapa lebih dulu. Suaranya cerah dan ceria, seperti wajahnya yang juga penuh semangat. "Halo, cantik!"
"Udah tentu aku cantik! Aku engga mau kalah cantik dari kamu." Suara Binar tidak kalah bersemangat. Dalam setiap kata yang terucap, tidak lagi ada sedikit pun keraguan. Kepercayaan dirinya telah kembali utuh.
Dengan mata cokelatnya, Stella memandangi Binar dari atas hingga ke bawah. Wanita yang sedang duduk di seberang meja terlihat anggun dalam balutan gaun malam hitam panjang. "Dress baru, ya? Kayaknya aku belum pernah lihat kamu pakai ini?"
"Baru kubeli pas kamu udah pergi ke Semarang. Cantik, kan?"
"Hmm. Cantik," balas Stella tidak lama. Dia sejenak diam sambil mengarahkan tangan ke sisi-sisi lengan Binar. "Tapi, kalau dress-nya dipotong di perbatasan bahu, pasti makin cantik!"
"Dan makin menarik perhatian cowok-cowok."
"Bukannya memang itu tujuan kita pakai-pakaian bagus? Supaya jadi pusat perhatian orang-orang?"
Binar tertawa yang kemudian disusul oleh Stella. "Iya juga, sih. Untuk apa kita pakai dress sebagus ini kalau engga menarik di mata orang."
"Nah! Jadi, gimana kalau aku potong sekarang?"
"Oh, please, no! Baju ini baru aku pakai berapa kali. Aku engga mau ini langsung rusak cuma gara-gara ketemu kamu."
"Bukan yang pertama, kan?"
Wajah Binar menunjukkan ketidak setujuannya dengan keinginan Stella. Namun, dalam cara yang bersahabat. "Udah banyak baju aku yang jadi korban untuk ikut stylish versi kamu, El. Tapi, yang ini engga boleh. Yang ini harganya ma-hal!"
Mata cokelat Stella yang besar menyipit nakal. "Oh …. Pantesan kelihatan mewah banget. I like it."
Mereka saling tatap. Binar sibuk memperhatikan cara Stella memakai riasan wajahnya. Dibilang tipis, tidak. Dibilang tebal, juga tidak. Entah kenapa riasan yang Stella pakai terlihat begitu natural, walau dia tahu bahwa itu semua hanya riasan. Dan yang Binar tidak habis pikir, wajah secantik Stella bahkan sebenarnya tidak perlu make up sama sekali untuk terlihat cantik. Karena tanpa make up sekalipun, dia sudah jauh lebih cantik dari Binar.
"Kamu makin cantik, ya?"
"Itu pertanyaan atau pertanyaan?"
"Pertanyaan, dong."
"Kalau seorang cewek habis lepas kangen sama tunangan, terus engga jadi makin cantik, itu aneh namanya."
"Jadi kangen-kangenannya udah selesai?"
Senyum nakal dan tipis menyempurnakan bibir merah wanita itu. "Belum. Tapi, aku engga perlu buru-buru. Aku sama tunanganku, kan, tinggal satu apartemen."
Jantung Binar berdetak lebih cepat. Namun, segera wanita itu mengendalikannya dengan begitu baik. Dia tidak boleh menunjukkan apa yang sedang dia rasakan. Menghela napas seolah tidak benar-benar setuju pada apa yang baru saja Stella ucapkan. Padahal sebenarnya, Binar sedang berusaha menenangkan diri.
"Kita pesan makan dulu, yuk. Aku baru pesan minum aja tadi."
Dulu, sebelum menjalani pekerjaan malamnya yang menghasilkan cukup banyak uang, harga yang tertera di buku menu sudah pasti akan membuat Binar memesan makanan paling murah. Sekarang kondisi keuangannya sudah jauh berbeda. Dia tidak lagi peduli dengan harga. Jika memang terlihat enak, Binar akan memilih tanpa ragu. Tak lama, seorang pelayan pun mencatat lengkap apa yang mereka pesan.
"Gimana Semarang?"
"Ya begitu-gitu aja. Engga ada yang spesial. Agak repot di awal-awal. Tapi, sekarang udah cukup lancar."
"Kalau kamu yang urus, semua masalah tahu-tahu selesai."
"Tapi yang kali ini engga segampang itu, Bin. Ada masalah perizinan juga kemarin. Tapi, untungnya masih bisa selesai pakai uang."
"Berapa lama kemarin kamu di sana? Tiga minggu? Untuk bantu beresin masalah perizinan?"
"Kurang lebih begitu." Stella terlihat lelah harus mengingat kembali perjuangannya di Semarang. "Capek. Aku sampai harus lembur berkali-kali. Kamu sendiri gimana kerjaan di kantor?"
Wajah Binar tampak cemerlang. "Kamu ingat proyek aku yang waktu itu, kan? Beberapa hari lalu presentasinya sukses. Dan kami dapat budget 90% dari total yang diajuin."
"Keren!" Stella mengacungkan kedua jempol. "Perjuangan kamu terbayar."
"Iya. Tapi …."
Malam itu, perbincangan mereka berdua berjalan seperti biasa. Binar benar-benar berhasil membuat perasaan hatinya berada dalam kendali penuh. Dia menceritakan bagaimana Dita telah memperlakukannya dengan begitu tidak menyenangkan.
"Kok, begitu, sih?" Nada suara Stella ikut meninggi. "Bisa-bisanya seorang atasan ancam bawahannya sampai bawa-bawa hubungan personal? Dia putus sama pacar kamu, kan, juga bukan karena kamu. Itu namanya engga profesional!"
"Justru itu masalahnya, El." Binar menggigit bibir bawah sebelah kiri. "Jujur, aku masih rela harus berjuang menghadapi caci-maki dia, walau itu super menyebalkan. Tapi, aku engga bisa terima kalau dia nyuruh aku putus. Sampai ngasih ancaman nanti karir pacarku akan dipersulit kalau kami masih terus pacaran. Itu engga adil."
Untuk beberapa tiupan napas, Stella berusaha mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Tapi, kamu sama pacarmu engga putus, kan?"
Seperti juga Stella, Binar memerlukan belasan degup jantung untuk berlalu sebelum dia sanggup menjawab. "Bodohnya, aku sempat kepikiran untuk beneran putus."
"Kenapa?"
"Karena aku engga mau karir pacarku dipersulit. Dia salah satu top performer di divisi kerjanya. Aku engga mau semua usaha dia terganggu cuma karena aku."
"Kamu juga, kan, salah satu top performer di divisi kamu. Kamu dapat tekanan yang super sangat menyebalkan itu dari atasanmu. Tapi, kamu bertahan dan baik-baik aja."
"Engga sepenuhnya baik-baik aja."
"Oke, engga selalu. Tapi, kamu tetap bertahan sampai sekarang dan masih bisa perform dengan baik." Stella mengoreksi kalimatnya. "Kamu cuma engga mau dia ngerasain apa yang kamu rasain, kan?"
Menunduk. Cahaya di mata Binar sedikit meredup. Menjawab dengan anggukan yang lemah. "Tapi, sekarang pikiran itu udah kubuang jauh-jauh. Aku sekarang udah yakin kalau dia akan baik-baik aja. Aku tahu dia cukup tangguh untuk bisa lewati itu."
Usai mengucapkan kalimat tersebut, Binar meminum sisa cokelat panas yang sudah jauh lebih dingin. Dari raut wajahnya, Stella bisa membaca bahwa belum semuanya telah Binar ceritakan.
Stella menyapu rambut hitam panjang bergelombang yang jatuh ke pipi."Kalau kamu yang pilih, aku yakin dia pasti tangguh. Tapi, kelihatannya kamu masih punya masalah lain?"
Tidak sedikit pun wanita bergaun malam hitam itu menolak pernyataan Stella. "Ada dua hal lagi yang masih aku pikirin. Pertama, tentang hubunganku sama pacarku. Kedua, tentang atasanku."
"Lebih detail?"
"Aku bahas yang ke-dua dulu. Kamu ingat waktu tadi aku bilang, setelah aku mangkir, atasanku sama sekali engga marah-marah?" Untuk beberapa saat Binar menunggu hingga Stella meyakinkan bahwa dia masih ingat. "Menurut kamu, apa itu engga aneh?"
"Kamu curiga ada sesuatu antara dia sama pacar kamu?"
"Aku …. Aku juga engga tahu."
"Hmm." Lengan kanan Stella bertopang di paha, dan dagunya bertopang di telapak tangan kanannya. "Untuk sekarang, anggap aja ini cuma asumsi kamu aja. Karena kita engga tahu apa yang mereka obrolin waktu itu. Dan kamu juga rasanya engga mungkin tanya itu ke pacar kamu."
"Iya, aku tahu ini cuma asumsi. Tapi, apa menurut kamu engga ada terjadi sesuatu?"
"Sementara, kita cuma bisa pantau dulu, Bin. Aku juga belum berani ambil kesimpulan."
Jawaban itu tidak membuat Binar puas sama sekali. Akan tetapi, dia sendiri juga tidak memiliki jawaban yang lebih baik. Tidak ada pilihan selain melihat perkembangan hal tersebut lebih lanjut.
"Terus, yang masalah pertama?"
Sebelum menjawab yang satu ini, rona di wajah Binar terlihat memerah. Matanya kembali bercahaya "Kamu tahu, kan, kalau aku dan pacarku belum pernah main yang aneh-aneh. Berapa hari lalu, waktu dia datang ke rumah …."
Stella sudah begitu sabar menunggu agar Binar menuntaskan kalimatnya. Akan tetapi, kedua bibir yang terjeda udara itu tidak kembali merapat untuk mengeluarkan kata-kata.
"Terus?"
"Aku tahu kalau rasanya ini aneh terdengar dari mulut aku. Tapi, terakhir kali kami ciuman, aku …."
Lagi-lagi Binar tidak menuntaskannya. Stella tidak mau menunggu terlalu lama sebelum bertanya, "Ciuman doang?"
"Iya. Cuma sebatas itu. Tapi, kali ini rasanya beda, El. Aku … aku sampai ngebayangin kalau ciuman kami berlanjut."
"Memang kenapa kalau ciuman kalian berlanjut?"
Hening. Binar merasa terselimuti hawa dingin yang tiba-tiba datang. "Aku belum berani kalau sampai ciuman itu berlanjut."
"Kenyataannya kalian cuma berhenti sampai ciuman aja, kan?"
Tidak ada kalimat yang keluar dari mulut Binar untuk menjawabnya.
"Kamu beneran masih belum mau bercinta sama dia sampai nanti nikah?"
Satu anggukan pelan. "Tapi, masalahnya, sekarang justru aku yang engga yakin kalau aku bisa tepati kesepakatan itu."
Stella tidak memberi jawaban apa-apa. Hanya sebuah senyuman yang sangat bersahabat.