Part 12.
Sekitar pukul dua siang hujan lebat akhirnya berhenti. Dan berhentinya hujan juga menjadi penanda bahwa kebersamaan Binar bersama Eri di apartemen mewah pada hari itu harus segera berakhir. Dia harus pulang ke rumah untuk mandi, berganti pakaian, dan bersiap-siap. Tidak mungkin dia menemui kekasih dengan setelan pakaian dari seorang pria yang dia pinjam.
Sebelum Binar pergi, sebenarnya Eri sempat menawarkan untuk mengantar wanita itu pulang. Seperti yang sudah dia perkirakan, tentu saja Binar menolaknya untuk beberapa alasan. Alasan paling masuk akal yang wanita itu ucapkan adalah, bahwa seorang klien tidak boleh tahu di mana wanita itu tinggal. Karena hal-hal privasi seperti itu, jika diketahui dapat membuat kehidupan pribadi Binar terganggu. Dan untuk alasan itu pula, Eri tidak memaksakan kehendak.
Jalanan kota yang baru saja diguyur hujan masih tampak basah di berbagai tempat. Para pengendara motor banyak yang memutuskan untuk menahan laju kendaraan agar mereka tidak terlalu cepat. Selain berbahaya karena masih licin, banyak juga orang yang tidak mau baju mereka kotor terkena cipratan air.
Dari dalam taksi yang dia sewa, Binar mengamati pemandangan itu dengan tatapan kosong. Meski arah matanya melihat ke luar, pada kesibukan yang terjadi setelah hujan lebat, pikirannya berada jauh di tempat lain. Masih memikirkan satu pertanyaan yang beberapa waktu lalu tadi tidak berani dia tanyakan karena dua alasan. Pertama, Eri terlihat sama sekali tidak tertarik untuk memperbincangkan hubungannya dengan Stella. Sementara alasan kedua ini berupa sebuah insting yang dia rasakan begitu saja. Binar merasa bahwa jika dia mengetahui hubungan Eri dan Stella terlalu jauh, akan ada sebuah kenyataan yang mungkin sekarang masih belum siap dia terima.
Menghelakan napasnya ke kaca jendela hingga terbentuk embun. Harusnya aku engga ikut campur urusan mereka. Eri cuma klien. Dan Stella itu sahabatku. Tapi, kenapa Eri harus ngomong kayak gitu? Kenapa dia bilang kalau Stella yang udah ngatur ini semua?
Entah untuk yang keberapa kali, helaan napas itu kembali terdengar. Hingga sang supir taksi melihat dari sudut-sudut matanya, bertanya-tanya dalam hati, apa yang wanita secantik Binar pikirkan?
***
Rumah tempat Binar tinggal berada di salah satu komplek perumahan yang ada di pinggiran Jakarta. Kebanyakan penghuni di perumahan itu adalah anak-anak muda yang umurnya tidak terlalu jauh dengan Binar sendiri. Rata-rata masih berada dalam rentang 28 sampai 35 tahun. Seperti Binar, kebanyakan dari mereka juga adalah pekerja. Jadi, mereka semua lebih banyak mengurung diri untuk beristirahat ketika memang sudah tiba di rumah.
Begitu pula yang wanita itu lakukan ketika pertama kali masuk ke dalam rumah. Dia lekas membaringkan badan di atas sofa yang terletak di ruang tamu. Menyimpan salah satu tangannya di atas kening. Memejamkan mata untuk sedikit mengurangi rasa sakit di kepala.
Gimana caranya aku jelasin ini ke Farhan?
Kalimat yang terlontar dalam pikirannya itu adalah pertanyaan yang selama perjalanan pulang tadi belum sempat terpikirkan. Terlalu sibuk menerka sesuatu yang mungkin saja tidak dia ketahui. Sahabatnya Stella. Tunangan sahabatnya, Eri. Pertemuan sang tunangan dengan Binar. Rasanya hal ini terlalu rumit untuk menjadi sebuah kebetulan. Ditambah lagi Eri mengatakan bahwa suatu saat nanti mereka akan membicarakannya. Dan apa alasan Eri jika memang pria itu memutuskan untuk terus menyewanya nanti? Padahal Stella saja seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menghangatkan ranjang pria itu.
Sebelum mengulangi kesalahan yang sama, Binar lekas menghentikan pertanyaan-pertanyaan itu. Untuk saat ini, Farhan jauh lebih penting dan jauh lebih mendesak. Mungkin sambil mandi, nanti dia akan bisa menemukan cara untuk menjelaskan semuanya pada Farhan.
***
Saat pintu rumahnya diketuk, Binar tahu siapa orang yang berdiri di depan sana. Cara Farhan mengetuk pintu sudah menjadi sesuatu yang secara otomatis mengingatkan Binar pada kekasihnya. Dia merapikan sekali lagi blus hijau daun dan rok salem panjang yang sedang dipakai. Sedikit berkaca untuk memastikan riasan tipis yang menghiasi wajah manisnya itu terlihat sempurna.
Sekarang, Farhan adalah satu-satunya orang di mana Binar selalu menampilkan dirinya dalam keadaan terbaik.
Ketika pintu terbuka, pemandangan pertama yang langsung Binar lihat adalah kecemasan yang begitu jelas terpajang di wajah sang kekasih. Sorot matanya yang penuh rasa khawatir. Kerutan tipis di dahi dan pipi Farhan yang menggambarkan bahwa pria itu tidak sedang dalam keadaan tenang.
"Hey …."
Terdiam mematung. Pria itu tidak langsung membalas sapaan kekasihnya. Terus memandangi Binar, seolah sedang mencari sesuatu yang aneh pada wanita itu. "Kamu baik-baik aja, kan, Sayang? Kamu engga ada luka di mana pun, kan?"
Telapak tangan Farhan bergerak lembut menyentuh pipi Binar yang hangat. Binar menyambut kasih sayang itu. Menggenggam tangan Farhan yang berada di pipinya. Menyandarkan kepalanya dengan manja ke arah tangan itu berada. Senyum yang teramat manis menghiasi wajah oval Binar. "Aku baik-baik aja, kok."
Farhan tidak melepaskan tangannya yang tengah merasakan halusnya kulit pipi sang kekasih. Membiarkan wanita itu memanjakan diri. "Kamu beneran baik-baik aja?"
"Hu'um."
Pria itu melihat pipi, leher, dan kedua tangan Binar yang tidak tertutupi kain. Memastikan tidak ada luka memar, ataupun luka lain di sana. Baru setelahnya, wajah yang dilanda cemas itu melembut. Dan tak lama kemudian mengukir senyum tenang. "Aku … aku takut kamu kenapa-napa."
Menikmati sejenak lagi kehangatan yang Farhan berikan. Lalu Binar merelakan tangan itu untuk meninggalkan wajahnya. "Kamu terlalu khawatir sama aku. Lihat, aku engga kenapa-napa."
Kedua sosok itu melangkah masuk ke dalam. Tanpa perlu diarahkan, Farhan sudah tahu di mana harus duduk. Menjatuhkan dirinya ke atas sofa abu-abu. Melepas tas kerjanya dan meletakkan benda itu ke atas meja kopi berwarna hitam.
"Aku buatin kopi kayak biasa, ya."
Farhan membiarkan Binar berlalu ke arah dapur sementara dia duduk menunggu di ruang tamu. Memperhatikan isi rumah itu, yang rasanya sama sekali tidak berubah. Dinding biru langit. Lantai granit dengan warna dasar putih. Lampu gantung berbentuk melingkar yang menjadikan ruangan terasa nyaman. Melempar pandang ke sekeliling, Farhan mencari sesuatu yang mungkin saja berubah sejak bulan lalu dia terakhir datang berkunjung. Namun, semuanya masih terlihat sama, kecuali jam dinding yang terpasang di atas televisi. Jam yang sekarang tidak memiliki frame seperti jam kebanyakan. Hanya berupa putaran waktu yang mengelilingi angka-angka yang ditempelkan ke dinding.
"Jam dindingnya aneh, ya?"
Farhan lekas menoleh ke arah kekasihnya yang datang membawa dua cangkir kopi. "Menurutku malah lebih bagus dari sebelumnya. Lebih dinamis."
"Tapi, warnanya engga sesuai ekspektasi aku. Angka-angkanya jadi kelihatan agak sendu."
"Beli online, ya?"
Wanita itu menampilkan gigi-gigi indahnya sambil terkekeh. "Kan, sekarang semuanya serba ada di toko online."
Sambil menyesap kopi hitam yang sudah dibuat, mereka berdua mulai memperbincangkan hal-hal remeh yang tidak begitu berarti. Membahas kecoa yang tiba-tiba muncul di dapur, kamar mandi yang terkadang airnya terlalu panas, atau sekedar ketakutan Binar yang merasa bahwa rumahnya ini sering dipakai pesta oleh hantu-hantu. Menurutnya, kesimpulan yang sangat berdasar ini diambil karena setidaknya satu kali dalam seminggu, Binar bisa mendengar bunyi-bunyi piring dari arah dapur.
"Sayang." Cara Farhan bicara terdengar nyata berubah. Suara riangnya menjadi lebih lembut dan penuh perhatian. Setelah semua obrolan santai mereka tadi, pria itu ingin memastikan bahwa kekasihnya memang baik-baik saja. "Kemarin sore kamu lagi ada masalah, ya, sama Bu Dita?"
Senyum dan keceriaan di wajah Binar mulai meluruh. "Kamu tahu dari mana?"
"Sebelum telepon kamu tadi, aku sempat main ke ruang kerja kamu."
"Berarti kamu udah tahu dari Belinda?"
Farhan mengiyakan. "Memang dia marah-marah karena apa lagi, sih?"
Pertanyaan yang baru saja terucap itu langsung membuat dada Binar terasa menyempit. Kalimat-kalimat terakhir yang Dita ucapkan sore kemarin masih begitu jelas terekam dalam ingatannya. Kata-kata yang diucapkan dalam suara rendah, tapi penuh ancaman. Binar sudah membuka kedua bibirnya untuk mulai menceritakan hal itu. Namun, seluruh kalimat yang seharusnya keluar dari sana hanya bisa merangkak sampai tenggorokan. Berhenti tak mau sedikit pun bergerak dari sana. Hingga wanita itu memutuskan untuk merapatkan lagi kedua bibirnya yang terasa kering.
Menyadarinya, Farhan kembali berucap dengan nada yang kian lembut. "Sayang, kamu tahu kamu bisa ceritain semuanya sama aku."
"Aku tahu." Tanpa disadari, suara yang wanita itu keluarkan terdengar jauh lebih tenang dari seharusnya. Bahkan Binar sendiri sedikit terkejut. "Aku tahu aku bisa ceritain semuanya ke kamu, Han. Tapi, aku juga engga tahu apa yang harus diceritain."
"Kalau memang engga ada yang perlu diceritain, engga mungkin kamu sampai engga masuk kerja hari ini." Sang kekasih menatap lekat-lekat. "Apa semua ini karena aku?"
"Karena kamu?"
"Semua orang tahu kalau Bu Dita benci banget sama kamu karena … aku."
"Karena kamu dulu pernah pacaran sama Bu Dita?"
Mengangguk. "Bahkan tanpa orang-orang bilang, aku juga sadar perubahan sikap dia ke kamu. Perlakuan engga adil dia ke kamu. Tapi, kalau udah sampai kayak gini, marah-marah untuk alasan yang–"
Dengan kedua tangannya, Binar menggenggam tangan Eri yang penuh kehangatan. Entah dari mana datangnya, senyum juga berhasil menghiasi wajah Binar. "Pada dasarnya, cewek itu makhluk yang sensitif, Han. Kalau aku bayangin diri aku ada di posisi Bu Dita, mungkin aku juga akan rada-rada sensi sama bawahan yang udah rebut pacar aku. Apalagi, kalian dulu udah pacaran hampir dua tahun, kan?"
"Kalau kamu memang ngerebut aku dari dia, masuk akal kalau dia sensi sama kamu." Farhan menimpali kalimat-kalimat Binar dengan sedikit emosi yang terlepas. "Tapi, aku udah putus sama dia jauh sebelum kita saling kenal. Bukan kamu alasan kenapa aku putus sama dia. Tapi, dia sendiri yang bikin hubungan kami engga bisa dilanjutin. Jadi, sebenarnya dia engga punya alasan untuk benci sama kamu. Kalau memang dia mau benci, harusnya dia benci sama dirinya sendiri."
Detik-detik yang berjalan di dinding terus berputar halus tanpa jeda. Membiarkan waktu-waktu berlalu tanpa suara.
"Itu artinya, mungkin dia masih punya rasa sama kamu. Mungkin dia menyesali yang dulu dia lakuin. Mungkin dia masih berharap kalian bisa … mungkin, bisa balikan lagi. Dan aku adalah dinding yang menghalangi dia untuk bisa dekat sama kamu lagi."
"Aku engga tahu apa yang dia mau, dan aku engga peduli. Aku udah engga punya rasa apa-apa lagi sama Bu Dita. Pacar aku sekarang adalah kamu. Dan aku cuma sayang kamu."
Dalam kehidupan tersembunyi yang dia jalani, Binar telah mempelajari bahwa seorang pria mudah sekali berbohong. Dan dari orang-orang yang menyewanya, wanita itu bisa membedakan mana kebohongan dan mana kejujuran. Apa yang baru saja Farhan ucapkan, juga tatapan lembut dari kedua matanya, semuanya adalah kejujuran yang terucap dengan sepenuh hati. Kalimat-kalimat yang membuat Binar merasa bahagia dan sedih dalam satu waktu yang sama.
Farhan adalah seorang pria yang mencintai Binar dengan tulus. Romantis, pengertian, dan tidak banyak menuntut. Dia juga hampir selalu ada ketika Binar membutuhkan. Dan kenyataan bahwa Binar menjalani kehidupan yang tidak diketahui kekasihnya, membuat dada wanita itu terasa benar-benar sesak. Mungkin Binar memang tidak pernah mengkhianati Farhan dengan perasaannya. Akan tetapi, Binar jelas sudah mengkhianati Farhan atas semua tindakan yang dia lakukan dengan tubuhnya, dan kebersamaannya dalam malam-malam bersama pria lain.
Kepala wanita itu tertunduk layu. Tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi jika kekasih yang duduk di hadapannya itu tahu akan kehidupan malamnya.
"Binar?"
Farhan menyaksikan Binar menundukkan kepala. Rambut-rambut hitamnya terurai jatuh, mengiringi rintik-rintik air mata yang menetes dari pipi.
"Binar?" Pria itu bertanya sekali lagi. Tangannya yang masih bergenggaman dengan Binar kian melekat erat. Menanti. Menunggu detik-detik waktu yang berjalan tanpa meminta izin. Membiarkan sang kekasih mengalirkan tangis.
Perlahan, pria itu bergerak mendekat. Duduk berhadap-hadapan dan hampir tanpa jeda di antara mereka. Lembut sekali, Farhan meletakkan salah satu tangannya di belakang kepala Binar. Membelainya dengan kasih sayang. Menariknya mendekat, dalam gerakan yang sangat hangat. Menempelkan kepala wanita itu di pundak sebelah kanan. Membiarkan bajunya basah oleh tetes-tetes air mata. Merelakan tubuhnya yang harus diam mematung agar Binar merasa nyaman di dekatnya.
Merasakan kehangatan wanita itu. Merasakan kedekatan mereka yang tidak terjeda.