Selama beberapa gigitan pertama, apartemen berdekor serba putih itu terasa bagai angin yang berembus di perpustakaan. Hening dan tidak saling bicara. Keduanya duduk sambil menikmati santapan masing-masing. Sibuk dengan potongan pizza yang tidak lagi sehangat ketika pertama kali tiba.
Binar meneguk gelas air putihnya sampai habis. Tidak percaya dia sudah menghabiskan dua potong pizza tanpa jeda. "Kayaknya aku belum pernah makan pizza ini."
"Gimana menurut kamu? Enak, kan?" timpal Eri dengan senyum menghiasi wajah. "Merknya engga terkenal. Tapi, rasanya enak dan harganya murah."
Melirik harga yang tertera pada struk di kotak pizza, Binar tidak paham konsep murah dalam pikiran pria itu. "Harga segitu kamu bilang murah?"
Tidak langsung menjawab. Eri ikut melihat jumlah tagihan yang dibayarnya untuk pizza tersebut. Tertawa. "Untuk rasa seenak ini, menurutku itu udah cukup murah. Aku pernah beli yang harganya dua kali lebih mahal, tapi rasanya biasa-biasa aja."
"Aku setuju kalau rasanya enak. Tapi, aku engga setuju sama konsep murah yang ada di pikiran kamu."
Namun, sang pemilik apartemen memutuskan untuk tidak lagi menanggapi permasalahan harga. Karena bagaimanapun juga, murah dan mahal ada konsep yang relatif. Setiap orang akan memiliki acuan harga sesuai dengan kapasitas masing-masing. Maka, dia hanya tersenyum.
Dan lagi-lagi, udara kembali penuh dengan sepi.
Menyandarkan punggungnya di sofa yang amat nyaman, kini Binar tidak tahu harus memulai perbincangan dari mana. Sejak dia mengajukan syarat tersebut, tatapan Eri tampak berubah. Kelembutan yang sebelumnya tampak di mata hitam berkilau itu meredup. Bahkan suaranya terdengar lebih kelam. Dan itu semua membuat Binar ragu untuk benar-benar memulai pembicaraan.
"Syarat yang tadi kamu ajuin," ucap Eri memecah hening, "Stella. Kamu masih mau ngobrol tentang tunanganku?"
"Oh, itu." Respon yang terucap dari kedua bibir Binar menyimpan keraguan. Dia mengamati Eri yang juga duduk bersandar dengan tatapan ke langit-langit "Masih. Tapi, aku engga tahu harus mulai dari mana."
"Padahal kamu yang bilang mau obrolin soal itu?"
"Iya, aku tahu. Tapi, kamu kelihatannya engga benar-benar mau bahas soal itu, kan?"
Mendengarnya, pria itu menggeser tatapan ke arah Binar, sembari menaikkan alis sebelah kanan. "Kenapa kamu pikir aku engga mau bahas?"
"Anggap aja aku udah terbiasa baca ekspresi dan gerak-gerik orang."
Pria itu mengangkat kedua tangan ke arah dirinya sendiri, untuk menekankan bahwa yang Binar maksud adalah raut wajahnya. "Jadi, sekarang kamu lagi baca ekspresi dan gerak-gerik aku?"
Binar mengangkat kedua bahu.
Lagi, pria itu tertawa. Hanya saja, kali ini terdengar sedikit lebih terang. Jika memang Binar bisa membaca ekspresi seseorang, Eri harus lebih pandai menyembunyikan emosi yang dia rasakan.
"Sebenarnya engga ada yang menarik banget untuk aku ceritain. Jadi, aku juga engga tahu, apa yang mau kamu tahu. Atau, kita bisa pilih topik obrolan lain? Misalnya, bekas luka di kakiku."
"Kenapa aku harus tahu?"
"Karena kamu udah berkali-kali lihat luka itu penasaran."
Jawaban itu mengindikasikan bahwa Binar bukan satu-satunya pengamat dari mereka berdua. "Aku memang penasaran. Tapi, aku lebih penasaran dengan cerita kamu dan Stella." Dia mengembalikan topik ke pembahasan semula. "Setahuku, kalian udah tunangan lebih dari dua tahun, kan?"
"Dua tahun empat bulan."
"Kalian udah tunangan selama itu, kenapa sekarang kamu malah kayak gini?"
"Kayak gini? Maksud kamu, cari pelarian?"
Binar sedikit memiringkan kepalanya. Tatapan dari mata cokelatnya kini penuh dengan rasa ingin tahu. "Iya. Atau mungkin … pelampiasan?"
"Kamu tahu Stella bukan tipe orang yang akan nunggu sampai kami nikah cuma untuk bercinta."
"Aku tahu. Tapi, udah berapa minggu dia di Semarang untuk keperluan kantor?"
"Dua minggu tiga hari."
"Mungkin untuk kamu itu bukan waktu yang sebentar."
Kali ini Eri benar-benar diam. Sorot matanya jelas menunjukkan bahwa perbincangan ini amat tidak menyenangkan. Bahkan Binar sendiri merasa kalau dia berada di posisi Eri, mungkin dia akan merasakan hal yang sama. Karena setiap kalimat yang terucap seolah sedang berusaha menyudutkan.
"Maaf."
Sang pemilik apartemen melihat lagi ke arah wanita itu. "Maaf? Kenapa?"
"Aku tahu kamu engga mau bahas ini."
"Aku bukan engga mau bahas, Clare. Tapi, hubunganku dan Stella rasanya terlalu privasi untuk kita obrolin sekarang. Mungkin suatu hari nanti kita akan obrolin ini lagi," ucapnya dengan seulas senyum tipis. "Tapi, sekarang rasanya terlalu cepat untuk obrolin itu semua. Kamu mungkin udah lama kenal Stella. Tapi, aku baru tahu kamu dua hari. Malah menurut versi kamu, pertemuan kita cuma berawal dari pelampiasan."
"Lalu apa kalau bukan pelampiasan?"
Pertanyaan itu sayangnya tidak mendapat respon sama sekali dari lawan bicaranya.
"Dan … suatu hari nanti? Jadi, kamu berencana untuk sering-sering panggil aku?"
Pria itu mengangguk mantap.
"Kamu tahu tarifku mahal."
"Dan kamu tahu dompetku tebal."
Hening. "Apa semua orang tajir pikirannya sama kayak kamu? Suka hambur-hamburin uang?"
"Semua orang punya cara masing-masing untuk habisin uang mereka."
"Iya, aku tahu. Dan aku engga mempermasalahkan kalau kamu suka habisin uang kamu untuk orang-orang yang bisa disewa kayak aku. Toh, aku juga diuntungin."
"Baru kamu."
Binar menatap seolah tidak benar-benar mendengar apa yang baru saja Eri ucapkan. "Apa kamu bilang barusan?"
"Kamu wanita pertama yang pernah tidur di ranjangku selain Stella."
"Oh … aku merasa terhormat bisa mendapatkan kesempatan yang begitu berharga ini, Tuan Eri."
Sarkasme yang Binar lontarkan malah membuat Eri tertawa. Menutupi begitu banyak hal yang tidak mau dia bicarakan. Menyembunyikan terlalu banyak kenyataan yang belum saatnya naik ke permukaan.
"Anyway, kamu engga usah malu kalau masih mau makan lagi, Clare. Kamu suka pizza itu, kan?"