Untuk kali kedua, Eri mengajak wanita itu masuk ke dalam apartemen miliknya. Bedanya, untuk kali ini akan lebih tepat disebut membawa, daripada mengajak. Karena saat Binar melangkah masuk ke dalam apartemen dengan nuansa putih tersebut, kesadarannya berada di batas senja. Dia tidak sepenuhnya sadar sedang berada di mana. Bahkan untuk berjalan saja wanita itu terhuyung-huyung. Dia hanya berhasil masuk atas bantuan Eri, yang mengalungkan lengan gadis itu melewati leher dan pundaknya, membawa Binar melangkah masuk dengan cara yang jauh berbeda dari kemarin malam.
Sambil membantu Binar melangkah, sang pemilik apartemen sempat berpikir di mana dia harus meletakkan wanita itu. Sofa mewahnya terlihat sebagai pilihan yang cukup baik. Binar juga pasti tidak akan keberatan jika Eri menempatkannya di sana. Hanya saja, sebagai seorang pria, Eri merasa bahwa rasanya tidak sopan membiarkan seorang wanita berbaring di sofa, padahal di dalam ruangan tersebut ada satu ranjang besar yang sangat-sangat nyaman. Ranjang di mana dini hari kemarin mereka bercinta hingga benar-benar lelah.
Sejenak pria itu menghentikan langkah tepat di depan sofa. Melihat dan menimbang dengan sepenuh hati. Hingga akhirnya bisa memutuskan pilihannya dengan mantap, dan kembali melanjutkan langkah.
Pria itu berhenti untuk yang kedua kali, kali ini tepat di samping ranjang. Selimut putih yang kemarin Binar pakai masih tersimpan di sana dalam keadaan rapi. Kain yang menutupi ranjang itu juga berada dalam keadaan rapi sempurna. Kesempurnaan tersebut baru kemudian mulai berantakan saat Eri dengan sangat berhati-hati membaringkan Binar ke atas ranjang. Melepaskan rangkulan wanita itu di leher dan pundaknya, lalu membiarkan setengah badan Binar terbaring. Setelahnya, Eri membuka flatshoes berwarna moka yang Binar pakai, kemudian mengangkat dan menyimpan kaki sang wanita dengan kehati-hatian yang sama. Satu-satunya hal yang saat itu dia takutkan adalah membuat Binar terbangun.
Eri sama sekali tidak mau membuat Binar terbangun.
Masih di samping ranjang, kini Eri berdiri tegap sambil memandangi wanita yang terpejam di atas ranjang tidurnya. Tubuh molek dengan kulit almond. Wajah oval hanya dihias make up tipis seperti kemarin malam, menjadikannya begitu cantik dan menarik. Rambut hitam lurus dan berantakan di atas seprai putih yang tidak lagi rapi. Leher beraroma lavender, yang berkali-kali dicicip Eri ketika mereka bercinta sebelumnya. Eri juga tidak melepaskan bagaimana dada yang tadi malam berada dalam genggaman tangannya itu, kini bergerak naik-turun dalam ritme teratur. Memperhatikan sedikit celah terbuka dari blus biru langit yang Binar pakai.
Dalam sekejap, pikirannya mulai menerawang jauh ke dalam memori. Menarik rekam kenikmatan yang sangat dia nikmati. Membayangkan bagaimana Binar akan terlihat seandainya saja seluruh pakaian wanita itu saat ini juga dia lepaskan. Bahkan dia juga mulai bisa membayangkan sensasi unik dan menyenangkan jika bercinta dengan seseorang yang tidak sepenuhnya sadar.
Seluruh pikiran itu menggerayangi otak dan mulai mencoba mengambil alih kendali atas tubuh Eri. Membuatnya maju mendekat dengan niat untuk melakukan semua yang ada dalam fantasinya. Apalagi ketika melihat pipi Binar yang merona bagai buah ceri. Hasrat untuk melihat pemandangan indah tadi malam langsung meroket melewati langit. Tangan kanannya sudah hampir menyentuh kancing pada blus biru langit wanita yang terbaring di atas ranjang. Hampir, dan seketika berhenti saat dia mengingat apa yang wanita itu ceritakan saat mereka minum tadi.
Walaupun Binar sendiri yang meminta untuk dibawa ke apartemen pria itu, apakah tindakan yang Eri berniat lakukan ini akan membuat wanita itu menjadi lebih baik? Atau justru ketika Binar terbangun, dia akan semakin merasa kacau dan berantakan?
Perlahan, dia menarik kembali tangan kanannya. Melangkah mundur, meski masih terus memandangi sosok yang terbaring memejamkan mata. Aku tahu kita akan nikmati malam-malam liar lagi, seperti tadi malam. Tapi, mungkin engga sekarang, Clare. Lagipula, malam ini aku engga bayar kamu untuk bercinta.
Sejurus kemudian, Eri sudah berpindah ke kamar mandi. Membersihkan semua bau alkohol yang menempel. Keluar dari sana, dan berjalan melewati ranjang sambil mengeringkan badannya yang masih basah. Tidak sedikit pun berusaha menutupi otot dan beberapa bekas luka yang tertoreh di kulitnya. Melangkah dan membuka pintu kaca apartemen, dan berhenti sambil menyandarkan punggung di pagar balkon.
Menikmati pekatnya dingin yang menyembunyikan bintang-bintang.
***
Ketika pertama kali membuka mata, hal paling pertama yang Binar rasakan adalah sakit kepala yang sampai membuatnya merasa mual. Bahkan sebelum matanya terbuka penuh, dia sudah kembali mengatupkan sepasang mata cokelat itu hingga benar-benar rapat. Berusaha melawan rasa sakit yang rasanya menjalar kian jauh. Perlu beberapa menit agar Binar bisa sedikit beradaptasi dengan rasa sakit yang dia rasakan. Dan ketika sarafnya mulai terbiasa, wanita cantik itu kembali membuka mata dengan gerakan yang jauh lebih lembut.
Semua yang ada di hadapan Binar ketika itu tampak bergoyang. Minum-minum tadi malam jelas berperan penting atas apa yang sedang dia rasakan. Berjuang melawan rasa sakit, wanita itu mulai melihat sekeliling. Nuansa kamar serba putih yang ceria dan manis. Dia tidak perlu menebak sedang berada di mana. Binar langsung tahu dalam sekali pandang, bahwa dirinya sedang berada di apartemen pria itu.
Untuk beberapa waktu lagi, wanita cantik itu membiarkan dirinya mencerna semua hal yang sudah terjadi. Hal terakhir yang dapat diingat adalah berjalan keluar dari bar, lalu masuk ke dalam sedan mewah. Semuanya hanya bisa dia lakukan dengan bantuan sang pemilik apartemen. Menurutnya, wajar saja seorang pria merasa dirinya harus membantu seorang wanita yang bahkan kesulitan untuk berjalan. Namun, yang sangat aneh adalah, bagaimana bisa setelan kerja yang Binar pakai masih melekat utuh di sekujur tubuhnya? Dia bisa membayangkan bagaimana klien lain sudah pasti akan mengambil kesempatan dalam mabuknya Binar, dan menikmati wanita itu dalam fantasi mereka. Namun, Eri tidak melakukannya. Satu pertanyaan langsung memenuhi pikiran wanita itu, sampai-sampai rasa sakit di kepalanya menjadi terkikis. Mengapa Eri tidak melakukannya?
Dia membiarkan pertanyaan itu berkembang semakin jauh. Beranak-pinak dan memunculkan pertanyaan lain yang berawal dari sana. Bercabang, bagai akar pohon yang tumbuh subur di dalam tanah. Selalu menciptakan cabang-cabang baru di setiap ujungnya. Seluruh pertanyaan, yang tak satu pun dapat dia jawab. Karena untuk pertama kali, Binar merasa dirinya yang sudah dijamah banyak orang ini begitu berarti.
Di luar, matahari sudah merangkak naik. Setidaknya sudah pukul sembilan. Dan apa pun yang sekarang dia lakukan, tidak mungkin Dita akan memaafkan keterlambatannya. Jadi, daripada harus kembali mendengar caci-maki yang begitu menyebalkan, dia memutuskan untuk tetap diam di ranjang itu lebih lama. Memejamkan mata agar rasa sakit di kepalanya bisa sedikit mereda.
Tidak peduli bahwa dia bahkan belum izin tidak bisa masuk hari itu pada atasannya.
Tidak peduli jika teman-teman kantor bisa saja berpikir bahwa dia mungkin sedang melarikan diri.
Tidak peduli walau mungkin di sana sekarang Dita sedang marah-marah karena Binar masih juga tidak ada kabar.
Sekarang, untuk sementara Binar sama sekali tidak mau peduli dengan hal-hal yang akan membuat kepalanya makin sakit. Dia hanya peduli dengan dirinya. Dengan perasaan baru yang dia rasakan, bahwa masih ada seorang pria yang bahkan tidak mengambil kesempatan dalam kelalaiannya semalam. Membuat Binar merasa bahwa tubuh indahnya tidak selalu bisa membuat hasrat memangkan hati nurani. Bahwa mungkin, masih ada orang yang menganggapnya sebagai manusia, dan bukan sekedar objek pelampiasan semata.