Seperti yang sudah sering dia lakukan, Binar tidak lagi terlalu memperhatikan pakaian yang dia kenakan saat akan bertemu klien. Dulu, ketika baru pertama kali masuk dalam bisnis mahal ini, dia sangat berhati-hati dalam memilih pakaian agar penampilannya terlihat begitu menarik. Berdandan sedemikian rupa, agar wajah ovalnya yang manis terlihat bagai bidadari yang turun dari langit. Bahkan, jika dipikir-pikir, make up-nya ketika itu mungkin sedikit berlebihan.
Lain dulu lain sekarang, Binar telah banyak berubah. Setiap kali berjumpa klien, tidak jarang dia masih mengenakan pakaian kerja, atau pakaian santai yang tidak berlebihan. Make up yang dipakai juga sekarang cenderung lebih tipis. Karena menurutnya, dia sudah lebih dari cukup untuk dikatakan cantik. Dari seluruh klien rutin yang sering dia jumpai, sebagian besar mengatakan bahwa Binar memang tampak lebih menggoda dalam penampilannya yang lebih natural. Tampil layaknya seorang wanita kantoran, dan cocok untuk dipamerkan sebagai pacar yang sukses.
Ada satu alasan lagi mengapa Binar sekarang juga tidak begitu peduli dengan penampilan luarnya. Karena menurut wanita itu, apa fungsinya pakaian mewah, jika pada akhirnya nanti setiap helai benang pasti akan dilepas agar bisa menampilkan kemolekan tubuhnya untuk dinikmati?
"Baju polo merah dan topi biru dongker," lirihnya, yang hanya bisa didengar oleh Binar seorang.
Semenjak sampai, sebenarnya Binar sedikit merasa kecewa. Dia mengira bahwa pekerjaan menemani makan malam ini berarti bahwa mereka akan menikmati kegiatan tersebut di sebuah rumah makan mahal nan mewah. Namun, ternyata ajakan yang dimaksud lebih layak disebut sebagai ajakan menemani minum-minum. Karena sekarang dia bukan berada di restoran, melainkan sebuah bar yang terkenal cukup mahal. Meskipun mahal, bagi Binar, bar tetap saja bukanlah sebuah restoran.
Berjalan dalam langkah-langkah yang lambat, wanita itu mencari pria dengan ciri-ciri seperti yang sudah dia dapat. Menelusuri seluruh sudut ruangan tanpa membuahkan hasil. Dia melangkah lebih jauh, melewati deretan kursi dan meja yang sebagian besarnya kosong, dan membuka pintu menuju area outdoor yang jauh lebih ramai, dan tentunya juga jauh lebih enak dipandang. Pemandangan malam Kota Jakarta yang dipenuhi lampu-lampu terang. Kursi, sofa, meja, dan seluruh dekor yang menempati area outdoor itu membuatnya terlihat sangat estetik. Sampai-sampai, bukannya mencari klien yang sudah membayarnya, Binar justru berjalan menjauhi keramaian, berdiri tepat di samping pembatas yang menjedanya dengan lukisan alam dalam gelap, lalu sepenuhnya berdiri diam.
Berbeda dengan area indoor, di sini jauh lebih padat dengan manusia. Bahkan udara yang terdengar di telinga membawa masuk percakapan yang tidak mau Binar dengar. Pada saat itu dia hanya menginginkan keheningan malam yang tidak bercampur dengan kotoran apa pun. Dia bahkan hampir saja lupa bahwa bahwa di tempat itu pula, ada seseorang yang sudah memilikinya untuk malam tersebut.
"Kamu nyari seseorang?" ucap seorang pria dengan penuh percaya diri.
Binar merasa suara itu tidak lagi asing. Namun, sebelum otaknya sempat menarik memori untuk mendapat pemilik suara tersebut, dia sudah lebih dulu menoleh. Menemukan seorang pria dengan kaos polo merah dan topi biru dongker. Hanya dengan melihat cara pria itu berdiri, juga postur tubuhnya yang kokoh, Binar sebenarnya sudah tahu siapa klien yang telah membayarnya. Namun, dia tetap melihat ke wajah pria itu untuk memastikan.
Kedua mulut wanita itu terpisah, seolah dia ingin berbicara. Namun, kalimatnya seakan tertahan di ujung lidah.
Sang pria melambai-lambaikan tangannya di hadapan wajah Binar. "Kamu begitu terpesonanya sama aku?"
Merapatkan kedua bibirnya. Mengukir senyum yang manis. Barulah kemudian Binar mulai bicara. "Kamu, tuh, kebanyakan uang, ya?"
"Mungkin. Atau mungkin juga, aku cuma mau menghargai kebersamaan kita tadi malam." Pria itu tersenyum. Bibirnya yang melengkung terlihat manis di bawah terangnya lampu. "Kamu mau tetap berdiri di sini atau …."
"Kamu ngajak aku ke sini untuk makan, kan. Jadi, mungkin baiknya kita makan sambil duduk."
Eri menunjuk pada sebuah meja yang sudah dipesan. Membiarkan Binar melangkah maju lebih dulu, kemudian merangkulkan lengan kanannya di pinggang Binar yang terasa hangat dan lembut. Sentuhan itu juga berhasil membangkitkan ingatan Eri atas penampilan wanita di sampingnya itu, ketika tidak mengenakan apa-apa.
"Aku udah pesan duluan sambil nunggu kamu. Kamu mau pesan apa?"
Melihat-lihat buku menu yang sudah tersedia, Binar menunjuk pada salah satu makanan yang tampak menarik.
Eri mengangguk kecil. "Minum?"
"Kamu mau aku minum sampai mabuk, supaya kita bisa bercinta lagi? Atau …?"
Seolah ucapan Binar yang dari tadi terdengar kasar sama sekali tidak membuat Eri terpancing. Pria itu malah tertawa tanpa beban. "Kalau memang mau bercinta, aku akan bilang aku mau bercinta saat aku pesan kamu, Clare."
"Jadi, sekarang cuma sekedar ngobrol?"
"Memang apa salahnya kalau aku cuma mau ngajak kamu ngobrol?"
"Hmm," Binar mendekatkan kepalanya pada Eri, lalu berbisik dengan suara yang hanya bisa mereka berdua dengar, "aku udah terbiasa dibayar untuk full service, Tuan Eri. Atau pura-pura jadi pacar, nemenin ke acara donasi, dan semacamnya. Tapi, aku belum pernah dipanggil cuma untuk makan dan ngobrol. Jadi, ya, itu aneh."
"Seperti yang kubilang, ini apresiasi untuk kebersamaan kita tadi malam."
"Oke. Tapi, seengganya, minta aku lakuin sesuatu supaya aku engga benar-benar merasa bersalah dengan uang yang kamu keluarin."
Wajah mereka cukup berdekatan. Sudah cukup untuk sang pria bisa mencium aroma lavender yang mengingatkannya akan perbuatan mereka tadi malam. Wangi yang menurutnya, cukup menarik. "Cium aku, di bibir."
Binar melekatkan tatapan mata cokelatnya pada pria yang juga sedang menatapnya. Dalam keadaan sedekat ini, dia juga bisa mencium aroma musk dari parfum yang Eri pakai. Dia tersenyum. Sekarang menatap ke arah bibir yang tampak basah. Lalu dalam gerakan yang begitu lembut, mulai mendekatkan kepalanya pada sang klien. Membuat bibir keduanya bertemu dalam sentuhan yang hangat. Meski untuk sejenak, yang tidak lebih dari tiga detik, ciuman itu terasa begitu panjang. Ciuman yang tidak dibumbui oleh gerakan yang akan merusak suasana mereka malam ini. Tidak lebih dari sekedar ciuman manis.
Lalu, dengan gerakan yang sama lembutnya, Binar menarik kembali bibirnya yang basah. Menyisakan ciuman berasa alkohol mewah. "Cuma itu?"
"Iya," timpal Eri dengan cepat. "Berarti, sekarang kita udah bisa ngobrol layaknya teman?"
Entah mengapa, Binar sebenarnya masih tidak bisa benar-benar percaya atas apa yang malam itu dia alami. Rasanya terlalu aneh dan tidak mungkin. Namun, entah untuk alasan apa, tatapan mata Eri terlihat begitu lembut dan jujur. Mata hitamnya yang semalam begitu mendominasi, kini terlihat ramah dan berkilau. Memikat. "Kamu udah bayar. Dan aku juga udah lakuin apa yang kamu minta. Jadi, ya, kita bisa lanjut ngobrol."
Eri mengangguk. "Udah tahu kamu mau minum apa?"
"Negroni."
"Kenapa kamu pesan minum yang persis sama kayak aku?"
"Entah. Mungkin kita punya selera minum yang mirip."
"Atau mungkin, karena kamu udah telanjur ngerasain negroni yang kuminum, dari ciuman barusan?"
Kali ini, untuk alasan yang benar-benar tidak dia tahu, Binar tertawa. Membuat wajah cantik yang sebelumnya terlihat tegang, kini mulai sedikit lebih rileks. Mungkin saja, pelarian ini akan benar-benar bisa membantunya melupakan masalah dari siang sampai tadi sore.
"Harus aku akui, rasanya enak."
"Minumannya? Atau ciumannya?" ledek Eri dengan senyum yang semakin memikat.
"Minumannya," ucap Binar tanpa beban. Lalu, wanita itu mengangkat tangan untuk memanggil seorang pelayan.
Pada malam itu, Binar memenuhi kesepakatan klien yang telah membayarnya. Menemani Eri makan malam, juga minum hingga kesadaran mereka berdua sama-sama sedikit bergeser. Namun, sebenarnya akan lebih tepat jika dikatakan bahwa pada malam itu, justru Eri yang sedang menemani Binar melewati harinya yang terasa sulit. Membiarkan wanita itu bercerita tentang hal-hal ringan dan mudah dicerna. Bersenda gurau hingga mereka berdua sama-sama tertawa. Hingga pada akhirnya, Binar sedikit lupa diri dan menceritakan apa yang telah dialaminya siang hari.
Hal yang paling tidak bisa Binar duga adalah bagaimana cara Eri bersikap. Pria itu mendengarkan seluruh celotehan dari wanita yang dia bayar, seolah semua kata, kalimat, dan intonasi yang Binar ucapkan merupakan sebuah keindahan. Sesekali, pria bertopi biru dongker itu akan menanggapi dengan suara dan tutur kata yang lembut. Namun, dia lebih banyak diam dan menjadi pendengar hebat. Buruknya lagi, Binar merasa bahwa dia dapat bercerita tanpa beban di hadapan Eri. Tidak seperti pada Farhan, di mana pasti akan selalu ada yang dia tutup-tutupi. Meskipun dia tahu satu alasan utama mengapa itu terjadi. Karena pada dasarnya, Eri tahu rahasia paling buruk yang tidak Binar tunjukkan pada semua orang.
Tanpa terasa, malam yang rasanya baru saja dimulai itu ternyata berjalan terlalu cepat. Asbak di atas meja sudah terisi empat puntung rokok yang dengan nyamannya Binar kepulkan ke dalam kegelapan. Secara bersamaan, dia dan Eri mengambil mojito yang mereka pesan sebagai minuman penutup, dan menghabiskannya dalam sekali tenggak.
Menandai bahwa malam yang mereka habiskan bersama akan segera berakhir.
Kabar buruknya, Binar merasa tidak rela untuk melepaskan kebersamaan tersebut.
Entah berapa banyak minum yang telah Binar habiskan secara tidak sadar. Wanita itu baru menyadari bahwa dia minum terlalu banyak ketika dia mencoba untuk berdiri. Semuanya tampak berputar dalam gerakan yang tidak teratur. Jangankan berdiri tegap, bahkan wanita berblus biru itu kembali terduduk sebelum kakinya sempat sepenuhnya menanggung bobot tubuh.
"Benar, kan, apa yang aku bilang. Kamu minum kebanyakan."
Eri sudah tidak lagi duduk di kursi seberang meja. Dia berjalan mendekat dan duduk tepat di sebelah kiri wanita yang menemaninya. Menghidu aroma lavender yang sudah bercampur dengan alkohol. Memandangi wajah manis Binar, yang kini merona karena mabuk.
"Harusnya tadi aku nurut, ya." Disengaja atau tidak, Binar menjatuhkan kepalanya di pundak sang klien. Dan kelakuannya itu sama sekali tidak membuat Eri marah. "Sekarang, malah jadi aku yang ngerepotin kamu."
Ucapan itu membuat Eri tertawa. Tidak cukup nyaring, namun Binar dapat mendengarnya dengan cukup jelas. "Udah terlambat kalau kamu baru sadar sekarang, Clare."
Selama tiga menit penuh, kedua sosok itu hanya duduk diam tanpa suara. Binar tampak memejamkan mata sambil mengatur napasnya yang tidak begitu berirama. Dan Eri tidak mempermasalahkan pundaknya yang harus sebentar dipinjam.
"Habis ini kamu aku antar pulang, ya. Daripada kamu naik taksi."
"Engga usah, Ri. Aku malah punya ide yang lebih bagus," balas sang wanita dalam suara yang hampir tidak terdengar. Dia berjuang keras untuk mengangkat kepala, lalu menempelkan bibirnya tepat di telinga Eri. Berbisik, "Gimana kalau kamu bawa aku ke apartemen kamu?"