Berat rasanya berpisah dengan Farhan walau waktu istirahat mereka memang hampir habis. Karena bagi Binar, waktu-waktu yang dia habiskan bersama sang kekasih adalah sebuah obat yang mampu mengobati rasa sakit atas seluruh penat yang tidak selalu ditunjukkan. Jadi, untuk waktu istirahat yang rasanya teramat singkat, wanita itu terus saja tersenyum sambil memandangi pintu lift yang semakin rapat tertutup. Melekatkan erat senyum Farhan yang kian tersembunyi dalam perpisahan mereka. Senyum itu adalah sumber kekuatan yang selalu bisa membuatnya bertahan.
Ruangan tempat Binar bekerja sebenarnya tidak begitu luas. Untuk mencapainya, dia harus berjalan melewati koridor dan beberapa ruang lain yang ukurannya sama, atau bahkan lebih besar. Ruangan-ruangan lain itu kini juga sudah mulai dipenuhi oleh para karyawan yang telah selesai beristirahat. Sebagian masih asyik bersenda gurau dengan teman-temannya. Sebagian kecil yang lain sudah mulai kembali duduk di meja kerja masing-masing.
Tidak lama, Binar pun dapat melihat ruang kerja yang dikhususkan untuk ditempati divisi kerjanya. Secara total, ruangan tersebut rutin dihuni oleh karyawan berjumlah dua puluh orang. Di dalamnya terdapat dua puluh meja kerja yang diatur rapat setiap empat meja, juga satu ruang kecil yang dikhususkan untuk Dita. Setelah masuk, Binar langsung menuju meja kerjanya. Anehnya, ketika itu suasana selepas istirahat terlihat lebih murung dari biasanya.
"Lin, tumben sepi banget?" tanya Binar penasaran.
"Nah! Ini dia bintang tamu akhirnya datang juga."
Mengerutkan dahi. "Bintang tamu?"
Belinda menempelkan telunjuknya ke bibir, mengisyaratkan lawan bicara untuk merendahkan suara. Kemudian, dia juga berbicara dalam suara yang sama rendahnya. "Sekitar lima menit lalu kamu dicariin sama Bu Dita. Suaranya menggelegar banget, Bin! Sampai orang-orang di ruangan lain pada lihat ke sini!"
"Bu Dita nyariin aku?" Wanita bersetelan blus biru langit itu melihat jam tangannya. "Ini aja waktu istirahat masih belum habis, kan?"
"Iya. Aku tahu. Justru di situ masalahnya!"
"Memang aku ada salah apa lagi, sih?"
Belinda mengangkat pundak untuk menjawab pertanyaan tersebut. "Yang jelas, kayaknya dia tadi kesal banget. Apa mungkin tadi dia salah makan?"
"Mana aku tahu …. Aku, kan, engga makan sama—"
Sebelum kalimat tersebut sempat tuntas, terdengar pintu ruangan Dita yang berderik. Belinda yang mulanya melihat ke arah Binar langsung memalingkan wajah ke depan layar komputer. Beberapa perbincangan kecil yang mengisi ruangan tersebut juga serentak berubah menjadi tengah malam. Gelap, hening, sepi, dan mencekam.
"Binar!" Laksana petir yang menggelegar di tengah malam hening, suara Dita membuat ciut semua orang di dalam ruangan. "Dari mana aja kamu jam segini baru kelihatan? Kamu pikir kantor ini punya kakekmu?! Cepat ke ruangan saya sekarang!"
Wanita yang namanya diteriakkan itu bahkan belum sempat menjawab, namun Dita sudah kembali membalikkan badan dan berjalan ke kursi kerjanya. Binar merasa bahwa dia perlu beberapa degup jantung untuk mempersiapkan keberanian. Namun, dia juga tahu bahwa semakin lama menunda hanya akan membuat letupan merapi kian tak terkendali.
Setelah menghela satu embusan napas yang rasanya begitu panjang, wanita itu sejenak menoleh ke arah Belinda. Berusaha mencari dukungan yang mungkin saja akan bisa sedikit membantu.
"Good luck, Bin," ucap sang rekan kerja dalam suara yang seolah terbawa angin.
Langkah kakinya terasa berat dan tidak berdaya. Apalagi ketika sudah berada tepat di depan pintu masuk ke ruangan Dita. Ragu, Binar memaksakan diri untuk mengetuk pintu dua kali, sebelum akhirnya memberanikan diri dan melompat ke jurang yang ujungnya tidak terlihat.
Dari luar ruangan, semua orang bisa melihat gerak mulut Dita yang penuh emosi. Suaranya lantang dan tidak menyenangkan. Sedikit banyak, karyawan yang ada di sana dapat mendengar alasan untuk seluruh luapan amarah yang Dita alirkan bagai jeram. Terus meluncur laksana mobil di turunan yang tidak memiliki rem untuk menghentikan lajunya.
Lima menit. Kemudian sepuluh menit. Belinda secara tidak sadar terus melihat waktu yang tertera pada layar komputer. Membayangkan, jika dia berada dalam posisi yang sekarang Binar rasakan, apakah dia akan bisa bertahan?
Tepat empat belas menit berlalu. Binar terlihat membalikkan badan dan menuju ke arah pintu. Tentunya dengan raut wajah yang sangat-sangat tidak enak dilihat. Bahkan setelah wanita itu kembali duduk, Belinda yang berada tepat di sampingnya pun tidak berani untuk langsung buka suara. Berpura-pura sibuk mengerjakan tugas, agar tidak memancing keributan baru.
Melirik ke kanan-kiri. Memastikan suasana sudah cukup aman untuk kembali berbisik. "Jadi … gimana tadi …?"
Binar tidak langsung menyahut. Kedua tangannya masih terus menari di atas tuts keyboard. Meski tidak mendapat respon, Belinda tidak merasa kecil hati. Ini jelas bukan kali pertama Binar dipanggil ke ruangan Dita. Bahkan tadi pagi hal yang sama baru saja terjadi. Hanya saja bedanya, tadi pagi tidak semua orang bisa mendengar apa yang wanita itu sampaikan.
Tidak berapa lama, dari ujung mata Belinda bisa melihat Binar menuliskan sesuatu di atas kertas dan menggeser potongan tersebut untuk bisa dibacanya.
Pura-pura engga tahu, deh!
Melihat tulisan itu, hampir saja Belinda membalasnya dengan suara berbisik. Akan tetapi, ketika menoleh, dia menemukan Binar dalam keadaan yang tidak seperti biasanya. Sosok yang selalu dikenal tangguh itu merautkan wajah yang sedikit menunjukkan kesedihan. Selama bertahun-tahun bekerja, rasanya itu adalah kali pertama Belinda melihat Binar seperti itu ketika keluar dari ruangan Dita. Dan untuk alasan tersebut, dia memutuskan untuk tidak lanjut membahasnya.
***
"Binar, ayo pulang," ajak Belinda sambil bersiap pulang. Namun, wanita yang diajak bicara justru sibuk melanjutkan pekerjaan. "Hey! Kamu engga mau pulang?"
Jam yang tertera di layar komputer sudah menunjukkan pukul 17:10 sore. Namun, dari kesibukannya, Binar seolah belum ada sedikit pun niat untuk segera menjauh dari layar komputer yang menatapnya terang. Sibuk memeriksa beberapa berkas dokumen fisik dan laporan yang sedang dia buat.
Satu sentuhan lembut menyentuh pundak wanita bersetelan blus biru langit itu. Menyadarkannya dari pekerjaan yang tidak lagi terlihat menyenangkan untuk dilanjutkan. "Kamu mau ke mana, Lin?"
"Ya pulang dong, Binar. Udah jam berapa coba sekarang?"
Mulanya, Belinda mengira bahwa Binar akan terkejut ketika menyadari jam yang dilihatnya pada layar komputer. Namun, kenyataannya jauh berbeda dari itu. Jangankan terkejut, bahkan Binar hanya diam bergeming, seolah seluruh fokus hidupnya sedang hancur bagai kepingan kaca.
"Binar?"
"Ya?"
"Kamu … baik-baik aja, kan?"
Wanita itu menghela napas dalam suara yang terdengar jelas. "Aku akan baik-baik aja, kok."
Belinda yang sudah hampir mengangkat badannya dari kursi segera mengurungkan niat itu. Merapatkan lagi pantatnya ke tengah panasnya kursi yang sudah mulai terasa keras. "Kamu yakin?"
Tanpa disangka, Binar menoleh dengan secarik senyum. Sebuah senyum yang jika saja Belinda tidak tahu apa yang sudah terjadi, dia akan mengira bahwa Binar memang sedang baik-baik saja. "Iya. Yakin, kok. Kamu pulang duluan aja. Udah ditungguin pacar, kan, di bawah?"
Sejenak ragu dan memikirkan kembali tawarannya. Pun tetap berada di sini menemani Binar, apa yang akan Belinda lakukan? Apalagi di bawah sana sudah ada seorang pria yang menanti. "Benar engga apa-apa aku pulang?"
"Lagian di sini kamu mau ngapain?" jawab Binar dengan pertanyaan lainnya.
"Iya, sih. Tapi, kamu, kan, lagi sibuk banget gitu. Kali aja ada yang bisa aku bantu?"
"Engga sibuk banget, kok. Aku cuma lagi cari pengalih perhatian aja." Lalu Binar tertawa kecil, mengiringi senyumnya yang menyembunyikan kepedihan.
Setelah memastikan bahwa memang dia dapat meninggalkan Binar, maka Belinda mengambil langkah untuk meninggalkan ruang kerja. Menyusul tujuh orang lain yang sudah lebih dulu keluar tanpa benar-benar memedulikan kejadian tadi siang. Semakin lama, karyawan lain pun mulai ikut meninggalkan ruangan tersebut. Menyisakan hanya tiga orang, termasuk Binar sendiri.
Suara pintu yang dibuka kembali terdengar. Namun, kali ini justru ada satu orang pria yang masuk ke dalam. Berjalan dengan langkah ringan dan tanpa beban. Menjatuhkan tubuhnya di kursi yang sebelumnya Belinda tempati, seraya berkata dalam suara yang begitu lembut, "Kamu, kok, masih kerja aja, sih, Sayang?"
"Kamu sendiri juga belum pulang."
Dari nada suaranya, Farhan lekas menyadari bahwa pasti sudah terjadi sesuatu. "Aku, kan, nungguin kamu. Kita jadi pergi makan sama nonton, kan?"
Makan malam dan menonton bersama sang kekasih. Ajakan tersebut terdengar begitu menyenangkan untuk menjadi pelarian Binar dari amukan Dita tadi siang. Rasanya ingin sekali wanita itu langsung merapikan meja kerja dan pergi bersama Farhan. Sejenak meninggalkan seluruh hal menyakitkan yang dia alami hari ini. Namun, tidak sepatah kata pun terucap dari mulut wanita cantik tersebut. Dia hanya diam termenung memandangi kekosongan.
"Ada kejadian buruk lagi, ya?" suara Farhan makin merendah. Wajahnya yang ceria mulai mengerucut.
Entah untuk berapa lama hening menjadi sahabat karib mereka. Membiarkan dua karyawan lain yang sebelumnya bertahan, akhirnya ikut pulang dan meninggalkan ruangan. Meninggalkan Binar yang memang terkenal workaholic, dan kekasihnya yang duduk tanpa bicara. Meski dalam sunyi, Farhan tidak memaksa wanita di hadapannya untuk lekas menjawab. Namun, dengan sentuhan yang terasa hangat, pria itu menggenggam erat tangan sang kekasih.
"Han," ucap Binar dalam suara yang keluar laksana malam gelap, "aku salah, ya?"
Pertanyaan itu sangat tidak bisa dimengerti, bahkan oleh Farhan sekalipun. "Salah?"
Lagi, Binar menjawabnya dalam diam. Wanita itu menoleh, memandangi wajah kekasihnya yang penuh kasih sayang. Merasakan betapa erat genggaman tangan Farhan yang berusaha membuatnya tetap kuat. Memperhatikan bagaimana dada pria itu terlihat begitu menarik untuk menjadi tempatnya menangis. Membayangkan, seandainya saja mereka berada di tempat yang hanya ada mereka berdua, dia pasti sudah mendekati pria itu dan menangis dalam pelukannya. Melampiaskan kesedihan yang dia tidak tahu, entah pada siapa lagi harus diceritakan.
Dalam satu gerakan yang lembut, Farhan menarik kursi tempat dia duduk, mendekatkan dirinya pada sang kekasih. Mengeratkan genggamannya. Membagi sedikit saja kehangatan yang mungkin akan membuat keadaan lebih baik.
Namun, sayangnya Binar justru menarik diri dari kelembutan itu. Melepaskan genggaman tangan yang begitu melekat. Menjauhkan dirinya dari kasih sayang yang memancar dengan begitu tulus. Melawan keinginan kuatnya untuk jatuh dalam pelukan kekasih.
"Han, boleh, engga, kalau acaranya kita cancel dulu?"