Waktu begitu cepat berlalu, satu tahun sudah Ahmad telah mengenal Fransiska dan tidak disangkanya kalau wanita angkuh itu bisa meluluhkan hatinya hingga dia pun menikah dengannya.
*
Seorang lelaki dengan gurat lelah memasuki rumah sederhana, ia mendekati sang ibu yang tengah duduk santai di depan televisi.
Saat datang, lelaki bernama Ahmad itu langsung mengedarkan pandangannya, namun tidak mendapati istrinya berada di sekitar ruangan. Padahal biasanya, perempuan itu pasti langsung menyambut hangat, serta mengecup punggung tangannya jika dia datang.
"Bu, mana Siska?"
Fatma, sang ibu mengangkat kedua bahunya.
"Entahlah, istrimu itu sedang hamil tua tapi selalu keluar rumah. Pagi tadi dia sudah tidak ada, sampai sekarang belum pulang," terang Fatma. Kedua matanya masih tertuju pada layar televisi.
Sontak kalimat itu, membuat Ahamad terkejut. Ia yakin, istrinya selalu berada di rumah karena setiap dirinya pulang kerja, Sisma selalu bercerita apa saja kegiatannya.
"ah ini tidak masuk akal."
Ahmad pun beranjak. "Kupikir dia lagi di kamar. Kalau begitu, aku harus mencarinya."
Fatma berdecak kesal. "Dia sudah besar. Nanti juga pulang, lagian ini masih sore. Kamu, sebaiknya mandi dan istirahat, Ahamad."
Ahmad hanya menarik napas panjang, tanpa menggubris ucapan wanita paruh baya itu. Tujuannya hanya ingin ke kamar, mengambil jaket untuk pergi mencari Siska.
Ia membuka pintu kamarnya, dan tanpa sengaja kedua matanya menatap lipatan kertas putih di atas nakas.
Dengan alis bertaut ia meraihnya, serta membuka apa isi lipatan kertas itu.
"Assalamu'alaikum Bang Ahmad. Saat baca suratku, mungkin aku sudah pergi dari kampung ini. Maaf ya, aku belum bisa menjadi istrimu yang baik, juga belum bisa menjadi menantu yang baik bagi ibumu. Jangan cari aku ya."
Deg!
Matanya membulat sempurna.
"apa maksudmu Sis?" gumamnya entah bertanya pada siapa.
Ia melangkah mendekati lemari, dan membuka isinya. Baju-baju milik Siska, ternyata sudah tidak ada.
'Siska benar-benar pergi?'
Ia tidak salah membaca isinya. Berulang kali membaca kata-kata itu, mungkin saja salah. Namun, Ahamd sangat hafal tulisan istrinya, ia pun meremat kertas itu dan melemparkannya sembarang. Sejurus kemudian, lelaki berusia 21 tahun itu, membawa kakinya kembali menuju sang ibu.
Fatma sudah berpindah tempat. Tampak wanita paruh baya itu, tengah menata makanan di meja. Biasanya Siska lah yang melakukannya.
"Oh Ahamd, baru saja ibu mau memanggilmu. Sini, makan dulu keburu magrib," ucap Fatma santai. Seolah tidak khawatir, jika Siska tidak ada di rumah.
Sangat kontras dengan pikiran Ahamad, yang berkecamuk mengkhawatirkan istrinya, terlebih kandungan Risti sudah memasuki bulan ke tujuh.
"Bu, Risti benar-benar pergi!" Ahmad tak menggubris kalimat ibunya.
Fatma tampak menatap lurus ke arahnya.
"Kamu terlalu memanjakannya, Ahmad. Jadinya, dia berlaku seenaknya, sudahlah nanti juga dia pulang."
Tidak biasanya, Ahamad mendengar kalimat acuh tak acuh dari ibunya. Padahal, setahunya Fatma sangat menyayangi menantunya itu.
"Tapi, Siska meninggalkan surat untukku di kamar bu, bahwa ia pergi dari kampung ini. Bahkan, aku dilarang mencarinya. Apakah, saat aku kerja kalian bertengkar?" tanya Ahamad, ia mulai curiga dengan sikap santai yang ditunjukkan ibunya.
Fatma menggeleng, wajahnya sudah berubah.
"Kamu tahu, hubungan ibu dengan Siska selama jni baik-baik saja. Mengapa tanya itu?"
"Maaf, tapi aku bingung kenapa tiba-tiba saja Siska bisa pergi."
Tampak Fatma mendecih. "Mungkin dia lelah hidup menderita. Sudah pernah ibu bilang, gadis kota itu mana mungkin tulus mencintaimu yang orang kampung. Apalagi kamu pemuda miskin. Maaf jika ucapan ibu menamparmu, tapi kau harus bangun dari kenyataan."
Kalimat ibunya, benar-benar menghujam jantung. Tapi, hatinya menolak hal itu. Ahamad masih teguh pada pilihannya dan percaya, jika Siska tulus mencintainya.
Selama menikah, Siska tampak bahagia walau dikelilingi dengan kesederhanaan. Perempuan itu, selalu memberikan seluruh kasih sayangnya, bahkan bangga atas usaha yang dilakukan Ahamad. Maka, kepergian istrinya menimbulkan tanda tanya besar.
Ahamad kembali ke kamar, dia mencari-cari surat dari Siska yang telah diremat dan dilemparnya dengan sembarang. Setelah ditemukan, dia pun meraihnya dan mencoba merapikan kembali kertas yang dirematnya itu, lalu dia peluk dan disimpannya di dalam laci meja yang biasa ia gunakan untuk membaca.
*
Hari berlalu, tak ada tanda-tanda Siska kembali ke rumah. Ahamad, masih saja denial bahwa istrinya pasti akan kembali.
Ia pun, sibuk mencari ke berbagai tempat di kampungnya. Namun, tidak menemukan sosok istrinya di mana pun.
Ahamad merebahkan punggungnya di bahu kursi. Sesekali ia mengusap wajahnya dengan frustasi. Hal itu, disadari oleh Fatma. Wanita paruh baya itu pun duduk di sampingnya.
"Ahamad, kau masih memikirkan istrimu?"
"Tentu saja, aku sangat mencintainya dan juga mengkhawatirkan kehamilannya. Apakah, saat ini dia baik-baik saja? Tidur dan makan dengan bagus?"
Fatma melipat kedua tangan di dadanya.
"Ibu yakin begitu. Siska pasti pulang ke rumah mewah milik kedua orang tuanya. Jadi, sudah pasti dia makan dan tidur dengan baik."
Ahamad langsung menatap wajah ibunya.
"Maksud Ibu?"
"Nak, jangan terlalu menilai sempurna istrimu. Pasti, dia sedang membujuk orang tuanya, untuk meminta pertanggung jawaban atas kehamilannya. Kamu jangan mau dimanfaatkan, Ahamad!" tukas Fatma sinis.
Betapa kagetnya Ahamad saat mendengar jawaban dari mulut ibunya.
"Astagfirullah, istigfar Bu. Kenapa ibu bicara seperti itu? Siska itu istriku, jelas dia hamil anakku, cucu ibu juga."
Fatma mendesah kasar menahan emosi. Ia bangkit dari tempat duduknya.
"Kamu, masih saja tidak menerima kenyataan. Cinta, telah membutakanmu. Sering ibu bilang, jangan mudah tergoda pada paras cantik, dari gadis asing! Begini kan jadinya. Sadarlah, dia hanya memanfaatkanmu, untuk menutupi aibnya. Ibu yakin, istrimu hamil anak orang lain!"
Andai wanita di depannya bukanlah ibunya, Ahamad ingin sekali menampar wajah yang telah menyudutkan istrinya itu. Ia hanya mampu beristigfar, untuk meredam emosinya.
"Satu hal yang Ibu harus tahu. Aku, menikahi Siska karena kami saling mencintai. Kami pun, menikah tanpa paksaan. Jujur, aku tidak tahu apa yang membuat ibu jadi berubah begini, padahal dulu begitu menyayangi Siska. Tapi, ada baiknya Ibu lebih mempercayaiku dibanding orang lain," tegas Ahamad.
Kalimat panjang itu, cukup membungkam Fatma. Walaupun, ia lebih mempercayai kata-kata salah satu tetangganya, tentang siapa Siska yang sebenarnya.
Menghindari konflik yang kian besar dan tidak ingin menjadi anak yang durhaka, Ahamad pun melangkah meninggalkan ibunya ke kamar.
Ahamad sangat hafal sifat ibunya. Wanita yang telah melahirkannya adalah ibu yang baik dan bijaksana. Sikap Fatma yang berubah drastis, ia yakin pasti ada sesuatu atau seseorang yang mempengaruhinya.
'Ibuku sangat polos, siapa yang tega menghasutnya?' batin Ahamad bertanya-tanya.
Kini, ia duduk di ranjang yang dulu ia pakai bersama Siska. Karena tidak memiliki ponsel, dirinya sama sekali tidak bisa mencari tahu, keberadaan perempuan itu. Tiba-tiba saja, ia meratapi nasibnya yang belum bisa menjadi orang yang mampu.
'Ah, tapi rasanya gak bisa berdiam diri terus. Aku harus menyusulnya, pasti Siska pergi ke tempat tinggal orang tuanya, di kota J.'
Ia pun menghela napas panjang.
Mertuanya, adalah seorang pengusaha kaya. Jika hanya membawa badan saja untuk membawa kembali istrinya, baginya tidak mungkin. Karena, ia tidak ingin harga dirinya diinjak-injak, maka Ahamad pun bertekad mengumpulkan uang yang banyak dari pekerjaannya, agar dinilai pantas sebagai suami Siska.
'Sikska Sayang, tunggu aku ya bersabarlah kita pasti akan berkumpul.kembali,' batin Ahamad terus bersenandika.
Bersambung...