Chereads / Dendam Terindah / Chapter 7 - Bertemu di Tempat Tak Terduga

Chapter 7 - Bertemu di Tempat Tak Terduga

"Kamu kenapa, Nes? Tumben, ga dihabisin sarapannya?" tanya Papa melirik ke arah Agnes yang sedari tadi hanya memutar sendoknya.

"Ga apa-apa, Pa." Sahut Agnes menundukkan kepalanya, menyembunyikan kesalnya.

George memiringkan kepalanya, melihat lebih detail sang putri. Pria dengan ekspresi wajah dingin itu kemudian meletakkan sendoknya, menyudahi sarapannya dan berkata pada Agnes, "Mami akan kembali besok. Kita akan menjemputnya di bandara, setelah itu makan malam dengan beberapa kolega musik mami, termasuk para investor yang menjadi sponsor mami selama konser di luar negeri." Jelas George menikmati kopi hitamnya.

Rasanya Agnes ingin segera pergi ke sekolah dan tak ingin mendengar apa pun tentang maminya! Wanita yang telah membohonginya mentah-mentah itu kini akan segera kembali. 'Hidupku pasti akan berantakan setelah ini!' Gerutu Agnes menggeretakkan gigi-giginya.

"Jam berapa kita akan menjemput mami, Pi?" tanya Agnes datar.

"Sekitar pukul lima sore. Kenapa?" LIrik George sembari memotong roti isinya.

"Enggak. Ga apa-apa." Senyum Agnes, meski sebenarnya ia agak bingung karena waktunya berbarengan dengan les musiknya. "A-anu, Pi …." Agnes mengatupkan kedua tangannya ke depan piringnya dan berkata dengan nada ragu, "Besok kan Agnes ada les, jadi …."

"Kamu lebih mementingkan les kamu daripada mami kamu?" George mulai memberatkan suaranya.

"Bukan begitu, Pi. Tapi-"

"Agnes! Papi ga mau debat sama kamu di pagi buta! Kepala Papi sedang pusing, tahu kamu! Tugas kamu sekarang hanya BELAJAR! Tak ada yang lain!" George mendorong kursinya sedikit kencang dan meninggalkan ruang makan.

Agnes mengepalkan tangannya. Menahan air mata yang hampir terjatuh di pipi mulusnya. Ia mengambil surat beasiswa Conservatoire Music, melihatnya dengan saksama dan bergumam, 'Jika mereka tak mendukungku, maka aku akan cari jalan dan dukungan dengan caraku!' Agnes kemudian membuka ponsel pintarnya dan menelepon Clarissa, sang sahabat.

"Halo, aku butuh bantuanmu! Kita bertemu di sekolah, nanti akan aku ceritakan semua! Sekarang ya, kamu berangkat." Agnes tak lama meninggalkan ruang makan dan pergi ke tempatnya menimba ilmu.

***

Di tempat lain, Dio yang masih berbaring di ranjangnya segera dibangunkan oleh Donna, sang mama. Tak biasa-biasanya mama membangunkannya sehingga Dio sedikit terkejut ketika sang mama telah berdiri di depan ranjangnya.

"M-Mama?" Dio membuka matanya pelan sambil mengucek dan mengembalikan kesadarannya.

"Selamat pagi, Dio." Senyum Mama menyambut putranya.

"Kenapa Mama di sini? Mana Paman Jhon?"

"Paman Jhon sedang menyiapkan sarapan. Ada sesuatu yang ingin Mama katakan padamu, Dio." Donna duduk di ujung kasur milik Dio.

"Mama mau bicara apa? Sepertinya serius betul." Dio semakin penasaran.

"Ini … mengenai pendidikanmu,Sayang." Donna bicara sepelan mungkin agar Dio tak terkejut dan mau mengerti ucapannya.

"Kenapa perasaan Dio tak enak Mama mengatakan hal itu, ya? Jam berapa sekarang, Ma?" tanya Dio melihat jam weker dengan gambar Spider-man di nakas sisi sebelah kanannya. "Pukul 7.00, biasanya Dio sudah masuk kelas jam segini."

Donna semakin merasa bersalah dan tak sanggup untuk bercerita! Hatinya terenyuh dan rasanya ingin menangis melihat ekspresi sang putra yang sangat percaya padanya. "Ada apa, Ma? Kenapa diam?" Dio semakin penasaran.

"Tidak … tidak ada. Kamu segera bergegas dan sarapan. Gurumu akan segera datang." Donna bangun dari kasur Dio dan berjalan menuju pintu kamar sang putra.

"Mama tak bisakah membantu Dio agar Dio bisa kembali ke sekolah?"

Donna segera memutar balik badannya, berkata, "Oh, Sayang. Mama juga ingin seperti itu. Mama juga tak ingin kamu seperti ini, tapi …." Mama menatap Dio lirih.

"Dio paham, Ma. Tak apa, Dio bisa menerimanya."

Donna benar-benar tak bisa mengucap apa yang ingin ia katakan! Mulutnya serasa terkunci rapat oleh sebuah gembok besar. Dengan perasaan campur aduk, Donna keluar dari kamar Dio dan ternyata sang papa tengah berada di luar kamar Dio sambil menyandarkan punggungnya dan menyilangkan kedua tangannya.

"Jadi, kau tak bisa katakan padanya?" tanya Sebastian ketika Donna keluar dari kamar Dio.

"Tolonglah, Sebastian … berikan Dio kebebasan untuk memilih. Dia itu putra kita satu-satunya. Kenapa kau sangat bersikukuh dia harus masuk MIT seperti putra Adi Waksana, hah? Sebenarnya apa tujuanmu menyuruh Claudio masuk ke universitas itu? Apa ada sesuatu yang tak aku ketahui?" cecar Sebastian.

"Bukankah sudah jelas? Meneruskan perusahaanku, apa lagi?" santai Sebastian menjawab pertanyaan Donna dan berlalu dari hadapannya.

Donna hanya terdiam, wanita itu memandangi pintu warna putih pucat dengan tatapan sendu sambil menghela napas panjangnya beberapa kali. 'Kasihan sekali, Dio. Aku harus memikirkan cara agar ia terlepas dari kekangan Sebastian.' Segera, Donna menuruni anak tangga dan diam-diam menemui Jhon Berry, sang kepala pelayan dan pengasuh Dio sejak kecil. Tanpa sepengetahuan Sebastian, ia meminta agar Jhon berpura-pura meminta izin pada sang suami untuk keluar mengunjungi sanak saudaranya.

"A-apa maksud Nyonya? Apa nanti Tuan tak akan curiga?" kejut Jhon saat mengetahui permintaan Donna.

"Tidak, Paman! Tolonglah aku untuk kali ini. Aku merasa Dio tak akan bisa keluar dengan bebas, tidak setelah apa yang ia lakukan kemarin." Donna meyakinkan Jhon dengan argumennya.

Berpikir sejenak, "Oh, ayolah Paman, Sebastian telah memutus 'hidup' Claudio dengan teman-temannya, Sebastian juga tak memberikan akses komunikasi pada Claudio. Hidupnya benar-benar seperti di Alcatraz, Paman."

Jhon berulang kali menarik panjang napasnya dan kemudian berkata, "Baik, Nyonya. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu Tuan Muda."

Donna tersenyum. "Terima kasih, Paman, Aku tahu aku bisa mengandalkanmu, dan tolong jaga Dio baik-baik, jauhkan dia dari masalah. Paman tahu kan maksudku?" Donna membalikkan badannya, melirik sesaat.

"Saya mengerti, Nyonya Besar." Bungkuk Jhon.

***

Agnes yang saat ini berada di sekolah, sedang bersama Clarissa di taman belakang sekolah menceritakan apa yang tengah ia alami, termasuk tantangan Odele padanya. Ia tak dapat tidur setelah menerima tantangan itu, tapi yang lebih utama adalah sang mami yang mengatakan ia tak boleh mengajukan apalagi sampai menerima beasiswa dari universitas yang ingin ia masuki. Raut gugup dan galau tampak menggelayut di wajah cantik Agnes. Dia memang terkenal sebagai gadis yang jarang tersenyum, dan terkesan dingin. Tapi kali ini Clarissa merasakan masalah yang dihadapi oleh Agnes benar-benar menyiksanya, apalagi orang tua Clarissa bekerja di perusahaan milik papa Agnes.

"Jadi, kamu mau gimana sekarang, Nes? Apa tetep mau lakuin yang Nona Odele minta?" Clarissa terus melihat Agnes yang memasang ekspresi cemas.

"Aku … ga tau, Class. Banyak banget hal yang tiba-tiba muncul di luar dugaanku. Tapi yang paling buatku shock adalah ucapan mami-ku yang sepertinya dia setengah hati mendukungku." Agnes meremas jemari panjang lentiknya sembari menggigit bibir bawahnya, pertanda keresahan dan kegalauan.

"Aku ga bisa bantu apa-apa, Nes. Cuma bisa bantu doa, semoga mami kamu ga seperti yang kamu pikirkan …."

"Eh … eh, udah tau belum, si Claudio kan home schooling, lho."

Di saat Agnes dan Clarissa tengah serius mengobrol, mereka mendengar selentingan suara dari dua orang siswa kelas IPA 11, Agnes dan Clarissa saling pandang dan langsung menyambar, "Eh, sorry, nyela. Tadi, kalian bilang siapa? Claudio? Maksud kalian Alfredo Claudio Regazka?" penasaran Clarissa.

Keduanya langsung mengangguk tanpa ragu.

"Kok bisa?" tanya lagi Clarissa.

"Mana kami tau, kalau kamu mau tau lebih banyak, tanya aja sama temen sebangkunya. Tuh!" Salah satu dari mereka menunjuk ke arah Vino yang sedang berjalan menuju kelas.

"VINO!" teriak Clarissa dan langsung dipukul punggung telapak tangan kanannya.

"Pelan dikit, sih! Kayak neriakin maling aja!" keluh Agnes.

"Sengaja, kalo ga gitu, tu lambe turah ga bakal denger." Clarissa menjulurkan lidahnya, menggoda Agnes.

"Apa manggil-manggil? Kangen, ya?" Vino cengengesan.

"Ge er!" Sahut Clarissa memukul sedikit kencang bahu kiri Vino.

"Heh! Kok nabok, sih? Emang aku salah apa? Tau-tau ditabok! Tangan kamu tuh keras kaya batu, tau ga? Mentang-mentang anak taekwondo main asal melayang aja tangannya." Protes Vino mengusap bahu kirinya.

"Iya … iya, maaf. Refleks." Sahut Clarissa sambil bersiul.

Agnes sama sekali tak bereaksi apa pun. Ekspresi datarnya seolah dengan jelas mengatakan "aku tak tertarik dengan obrolan ga penting!"

"Eh, Nes. Mau ke mana?"' tanya Clarissa melihat Agnes berdiri tiba-tiba.

"Kelas sudah mau mulai. Kalian ga mau masuk apa?" Kakinya langsung melangkah menjauhi Clarissa dan Vino.

"Temen kamu emang kaya manusia es, ya? Kok Dio bisa sih seneng ama cewek modelan kaya Agnes?" ucap Vino pelan.

"Apa? Kamu ngomong apa, Vin?"

"Eng-enggak. Ga apa-apa. Kamu mau nanya apa tadi? Manggil-manggil? Bikin penasaran aja."

"Oh, itu. Hampir lupa, emang bener ya si Claudio home schooling?" tanya Clarissa antusias.

"Katanya sih iya. Papanya sendiri yang nelpon pak kepala."

"Wuih, mantep amat papanya Claudio. Eh, bukannya papanya Claudio yang kaya model itu, ya? Yang om-om ganteng?"

"Ho o. Orang tua Claudio emang turunan bule gitu. Papanya Inggris asli apa ya kalo ga salah. Nah, kalo mamanya masih ada turunan Jerman gitu, makanya produknya juga lokal-interlokal, kan?" Vino lagi-lagi cengengesan.

"Hhh, ngomong ama kamu tuh narik urat mulu! Dah, ah! Makasih ya infonya. Bye." Clarissa segera berlari menyusul Agnes yang sudah ada di dalam kelas.

"Ye, gitu doank. Traktir kek, apa kek. Dasar cewek pelit!" oceh Vino.

***

"Tuan Muda, guru Anda sudah tiba." Seorang wanita dengan rambut digelung dan celana panjang bahan warna hitam serta blazer yang berpadu dengan kemeja putih datang bersama. Jhon. Senyum mengembang wanita itu langsung dilayangkan ke hadapan Claudio yang telah memakai seragam serta tas sekolah yang biasa ia pakai dan duduk di ruangan tempat biasa ia bermain musik.

"Selamat pagi, Claudio," sapa wanita itu.

"Selamat pagi, Bu Evi." Balas Dio membungkukkan badan.

"Kita mulai pelajarannya, Dio?"

"Bagaimana kabar teman-teman, Bu?" tanya Dio tiba-tiba saat Bu Evi mengambil buku dan spidolnya.

"Mereka semua merindukanmu, kapan kau akan kembali? Itu pertanyaan yang sering mereka tanyakan."

Dio terdiam. "Itu …"

"Ya? Ada apa Dio? Apa ada yang mau kamu tanyakan lagi?" tanya Bu Evi membetulkan letak kacamatanya.

"Enggak … ga apa-apa,Bu. Silakan lanjutkan saja."

***

Selama jam pelajaran berlangsung, Agnes sama sekali tak dapat berkonsentrasi. Pikirannya terus melayang melihat keluar jendela kelasnya. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Clarissa yang duduk di sebelahnya hanya bisa melihat dengan tatapan yang sedikit khawatir pada temannya. "Nes, kamu ga apa-apa?" tanya Clarissa pelan.

"Enggak. Ga apa-apa." balas Agnes pelan.

"Nanti jadi?" tanya Clarissa lagi.

"Ke mana?" tanya Agnes.

"Taman tengah kota."

Agnes terdiam. Ia telah menitipkan biolanya pada penjaga sekolah yang memang akrab dengannya, namun semakin mendekati waktunya, ia semakin gugup.

"Kenapa? Kamu gugup?" tanya Clarissa dengan tatapan resah.

Agnes mengangguk. "Meski bukan di panggung, tapi aku tetap gugup. Ini … penampilan pertamaku di depan orang banyak, apalagi tempatnya tak biasa. Aku takut, jujur." Agnes meremas jemarinya.

"Tenang saja! Aku akan menemanimu." Senyum Clarissa.

Agnes tersenyum, "Makasih, ya. Clarissa."

"AGNES! CLARISSA! Lagi ngobrol apa kalian!" teriak guru killer di depan mereka.

Agnes dan Clarissa hanya tertawa sambil merendahkan kepala mereka saling beradu menempelkan tangan.

***

"Oke, kalau begitu kita sudahi dulu pelajaran hari ini. Terima kasih atas semangat Claudio yang masih membara meskipun …." Bu Evi terdiam dan kikuk.

"Ga apa-apa, Bu. Katakan saja apa yang mau Ibu katakan. Mungkin, papa saya mengatakan ini untuk kebaikan saya." Senyum Claudio membereskan buku-bukunya.

Bu Evi hanya tersenyum dan menghampiri Claudio sambil berkata, "Bahkan permata putih sekalipun masih kalah dengan permata hitam nilainya. Jika orang yang tak mengetahui, pasti akan berpikir jika itu adalah permata kotor dan tak berharga. Namun, tidak bagi orang yang mengetahuinya. Seperti itulah dirimu, Dio. Taka ada yang mengenal dirimu sebaik orang tuamu." Senyum Bu Evi.

Dio hanya tersenyum mendengar ucapan guru yang selalu ramah pada tiap anak didiknya itu. "Semoga apa yang Ibu katakan benar adanya."

Tak lama, Dio dan Bu Evi keluar dari ruangan. Tampak Jhon telah berdiri menundukkan kepalanya, mengantarkan sang guru keluar rumah kediaman Regazka. Setelah guru sekolah Dio meninggalkan teras kediaman Regazka, Jhon menghilang tiba-tiba dan pergi ke garasi mengambil VW Beetle Convertible Denim yang biasa ia kendarai di waktu senggang.

"P-Paman?" kejut Dio melihat Jhon menghentikan mobil kesayangan sang tuan muda.

"Kita jalan-jalan, Tuan?" Senyum Jhon membuka kaca mobil tersebut.

"Bagaimana bisa?" Dio masih penasaran.

"Sebuah hadiah." Sahut Jhon tersenyum.

Tanpa berlama-lama, Dio segera menaiki mobilnya bersama dengan Jhon. Senyum lebar terpatri dengan jelas di wajah Dio. "Sudah berapa lama aku tak jalan-jalan dengan Paman?"

"Hmmm, mungkin sekitar tiga tahun?" Jhon pura-pura berpikir sambil menyetir.

"Konsentrasi, Paman. Aku tak mau masuk UGD karena Paman melamun saat menyetir," goda Dio. Pandangannya terfokus ketika melewati taman tengah kota dan melihat ramai orang berkumpul di dekat pohon akasia yang letaknya tak jauh dari jalan utama. Penasaran, Dio meminta Jhon menepikan kendaraan mereka dan segera menuju ke keramain.

Disana, ia melihat seorang gadis yang sedang bermain biola dengan terampil. Tubuh yang proporsional serta jari-jari tangan yang luwes memegang bow dan menggesek string pada badan biola membuat Dio terhipnotis sesaat.

"Symphony No.5, Beethoven." Ucap Claudio tiba-tiba melangkah mendekati gadis yang sedang bermain biola itu tanpa ia sadari.

"T-Tuan Muda." Jhon segera mengikuti Claudio.

Suara riuh penonton yang ada di tempat itu membuat Dio tersadar dan melihat dari dekat sang pemain biola yang membuatnya takjub. Keduanya saling bertemu wajah dan pandang, meski banyak orang, namun seolah tiada penghalang di antara mereka. Dio mematung ketika melihat gadis pemetik biola, begitu sebaliknya tanpa sadar keduanya saling tunjuk, "Kamu …."