"Apa kau sudah tidur Cal?" Ellice menatap sendu wajah itu.
Mengingat surat cinta yang Calvin ucapkan untuknya tadi. Isinya begitu menyayat hati. Sesak di dada memikitkan cintanya yang terbagi.
Kenapa cintanya pada Channing selemah ini? Apakah Ellice benar-benar mencintai Channing? Tapi kenapa dia justru hanyut dalam lautan cinta yang Calvin berikan padanya?
Tatapannya, senyumnya, perhatian kecil yang Ellice terima serta sentuhan lembut dari Calvin ketika mereka bercinta mampu membuat Ellice terbuai dan merasakan cinta yang lain. Udara dengan begitu baik mentransfer cinta keduanya.
Orang bilang cinta akan tumbuh ketika kita sering bersama-sama. Sering melakukan interaksi bersama. Sedangkan Calvin dan Ellice sudah melakukan penyatuan tiga kali berturut-turut dalam waktu yang singkat.
Hanya dalam waktu semalam mungkinkah cintanya tumbuh begitu saja? Ia paham jika yang ia rasakan pada Calvin tak lain adalah cinta. Bukan lagi rasa sayang.
Tapi rasa yang ia rasakan pada Channing itu apa? Bisakah cinta datang secara bersamaan dalam waktu yang sama dengan orang yang berbeda? Perasaannya kini sudah seperti sebuah misteri yang tak mungkin menemukan jalan pulang.
'Kenapa denganku? Apakah aku memang belum benar-benar mencintai Channing selama ini? Kenapa Calvin dengan mudah masuk ke dalam hatiku jika aku memang mencintai suamiku?'
Ia menatap Calvin yang sudah terlelap di hadapannnya. "Apa yang aku rasakan padamu ini salah Calvin. Aku sudah punya Channing. Aku tak boleh memiliki perasaan yang lebih dalam padamu." Ellice bermonolog sendiri, mengutuk dan menyalahkan dirinya karena perasaan yang tak menentu.
Hatinya gelisah. Melihat kondisi Calvin yang tak berdaya seperti tadi. Hatinya bisa merasakan ketakutan itu. Ingin rasa di hati memeluk lelaki itu ketika sedang lemah. Memberikan semangat dan ketenangan ketika sedang terpuruk. Tapi itu bukanlah tugasnya. Tugasnya adalah membahagiakan Channing dan menjadi istri yang baik untuk suaminya.
Ellice keluar dari kamar Calvin, dan melanjutkan tidurnya dalam kamar bersama sang suami.
2 bulan berlalu...
Kondisi sudah kembali tenang. Tak ada tanda-tanda dari paman Rohas melakukan penyerangan. Entah apa mereka sudah mendapatkan pelajaran atau sedang membuat rencana penyerangan tak ada yang tau.
Tangan Calvin yang terluka sudah pulih sepenuhnya. Ellice begitu pintar membuat Calvin cepat kembali sembuh.
Hubungan Calvin dan Ellice juga mulai kembali normal seperti sedia kala. Meski keduanya masih saling menyembunyikan perasaan satu sama lain.
Calvin dan Ellice sangat menutup rapat kejadian lalu. Calvin tak ingin sampai berlarut-larut hubungan dirinya dengan Ellice menjadi canggung. Jadi dia berusaha mungkin bersikap normal.
Namun semua itu bukan berarti Calvin tidak lagi mencintai Ellice, bukan. Rasa cintanya justru kian besar seiring jalannya waktu. Sejak Calvin mengungkapkan cintanya dalam surat cinta di malam itu, Ellice tak lupa selalu memberikan senyum padanya.
Senyuman itulah yang memberanikan diri Calvin untuk menjalankan hidupnya dengan baik. Seolah Ellice selalu memberikan semangatnya pada Calvin. Sebuah kehidupan remang yang ia jalani. Dan itu sudah cukup untuknya.
Ia akan mengembalikan semuanya seperti sedia kala. Tak ingin lagi membuat masalah dan keresahan di hati sang wanita pujaan hati.
"Sayang sepertinya nafsu makanmu belakangan ini semakin besar saja. Aku suka jika melihatmu seperti ini." Mereka sedang makan saat ini. Berkumpul bertiga seperti tak pernah terjadi apapun sebelum ini.
"Hmm, aku lapar." Ellice bicara dengan mulut yang penuh makanan dan itu sungguh menggemaskan kedua lelaki yang sedang mengamatinya. Channing mengusap lembut puncak kepala sang istri.
Calvin bahagia. Sangat bahagia melihat kondisi seperti ini. "Aku sudah selesai. Aku akan berangkat ke kantor sekarang."
"Hmm, aku juga akan sekalian berangkat. Kita akan berangkat bersama. Aku berangkat kerja dulu sayang. Kau makanlah yang banyak. Semakin gendut aku semakin suka." Channing mencubit pelan pipi Ellice dengan melempar senyum padanya.
"Hati-hati ya. Semangat berkerja untuk kalian berdua."
"Hati-hati di rumah. Daa Ellice..." Calvin ikut mengacak rambut Ellice pelan dan Ellice mengulas senyum padanya.
Setelah keduanya pergi Ellice masih sibuk menikmati makanannya yang tersisa di piring. Betul kata Channing. Nafsu makannya benar-benar membludak. Melihat makanan dan mencium aromanya saja membuat Ellice bernafsu sangat tinggi.
"Nyonya seperti saya dulu, hanya saja ketika itu saya sedang hamil Mac. Nafsu makan saya sangat besar ketika itu. Rasanya setiap saat selalu lapar." ucap bibi yang membuat Ellice terbatuk-batuk.
"Hati-hati nyonya. Ini di minum dulu airnya." bibi mengambilkan minum untuknya. Ia juga memukul pelan punggung Ellice agar tak lagi tersedak.
"Bi-bi mengagetkan aku aja." ucap Ellice ketika selesai minum. "Tapi maksud bibi tadi apa?" tanya Ellice polos.
Bibi Merry adalah pelayan rumah sekaligus orang yang paling lama tinggal bersama keluarga Alcantara. Ia tau semua cerita di masa lalu. Dia adalah ibunya Mac. Sejak usianya 20 tahun sudah belerja di rumah ini hingga menikah dengan pelayan rumah sebelumnya. Dan sekarang suaminya telah meninggal.
"Ia maaf nyonya saya muncul tiba-tiba. Dulu waktu bibi hamil Mac, bibi suka sekali makan. Melihat makanan selalu membuat bibi kelaparan. Hanya saja bibi tak suka bau bawang. Jadi bibi mau makan jika makanan itu langsung jadi, kalau bibi melihat prosesnya maka bibi tak bisa makan itu. Bau bawangnya membuat bibi mual."
Ellice tertegun dengan penjelasan bibi. Dia baru ingat jika sudah lama belum menstruasi. Apa ada yang salah dengan dirinya? Tapi, tidak-tidak. Tak boleh ada pikiran seperti itu. Batinnya bergejolak. Kenapa Ellice sampai melupakan hal itu.
Dia hanya diam tanpa menjawab lagi ucapan bibi. Nafsu makannya juga sudah hilang. Sehingga dia memilih untuk menyudahi makanannya dan memilih masuk ke dalam kamar.
"Ini tidak benar bukan? Ini hanya perasaanku saja. Selama ini tidak ada yang aneh. Kau pasti baik-baik saja. Iya benar." Ellice sedang di landa kebingungan. Ia tak henti berputar-putar di dalam kamar. Memikirkan hal yang belum pasti, tapi seperti benar adanya.
"Apa aku perlu membelinya?" menggigit jemarinya dengan gugup. Perasaannya kian tak menentu. Rasa takut memenuhi relung hatinya. Kecemasan dan rasa takut akan kebenaran yang mungkin benar membuat Ellice semakin berkeringat.
Tak ingin mati penasaran, dengan berani Ellice keluar rumah. Ia meminta pengawal yang biasa menjaga Ellice untuk mengantarnya keluar. Tak butuh lama hingga hampir satu jam berlalu Ellice kembali ke rumah.
Ia menjejer semua yang ia beli di depan meja rias. Dengan kegugupan yang hakiki masih dengan memejamkan matanya Ellice berusaha kuat.
"Aku yakin ini hanya pikiranku saja." perlahan matanya menelisik dari sela-sela jemari lentiknya.
Brukk...
Derai air mata seketika memenuhi pipi. Perasaan hancur sekaligus senang datang secara bersamaan. Meremat dadanya dengan begitu kuat. Rasa bahagia yang harusnya datang malah membuat rasa nyilu mendalam.
Ellice terduduk kaku di lantai. Menangis tanpa henti. Melihat dua strip merah jelas tercoret di alat tes kehamilan yang ia beli. Kejadian yang ia kira telah usai, kini menyisakan rasa sesak di dada.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Oh God. Please.. help me." jerit dalam lisan percuma saja. Jika semua sudah terjadi di depan mata. Ia hapus berkali-kali air matanya. Hingga raut merah nampak jelas.
Sejenak Ellice terdiam. Memikirkan sesuatu apa yang harus ia lakukan. Tak ingin membuang waktunya lagi, Ellice segera bangum dan mencuci wajahnya berulang kali agar kembali segar.
***
"Selamat nyonya. Anda hamil. Usia kandungan anda sudah berjalan 8 minggu." Bak di sambar petir di langit cerah, Ellice terkejut bukan main. Sudah ada janin di dalam perutnya selama ini. Begitu bodoh dirinya sampai tak memikirkan hal ini sampai sejauh ini.
"Dimana suaminya nyonya? Kenapa sendirian? Apa beliau sedang bekerja? Pasti suami anda bahagia mendengar kabar ini. Ini resep untuk anda. Hanya beberapa vitamin untuk ibu hamil." Ellice hanya tersenyum kecut mendengar ucapan dokter.
"Terima kasih dok. Saya permisi." menarik nafasnya dapam. Ellice berjalan keluar tanpa arah. Pikirannya di paksa berpikir keras. Melihat masa depan di depan mata yang tak nampak.
Terduduk di lorong rumah sakit. Berhadapan dengan jendela besar di lantai 3, memperlihatkan jelas suasana bahagia di kota besar. Yang berbanding terbalik dengan perasaan Ellice. Hatinya sedang di landa kebimbangan.
Kebahagian memiliki seorang anak tentu saja di rasakan jelas olehnya. Dan itu sungguh membahagiakan. Menjadi seorang ibu dan membayangkan peri kecil menangis dalam pelukannya. Itu suatu kebahagiaan yang luar biasa.
Namun di sisi lain, rasa bersalah yang menyebar dalam hati datang secara bersamaan. Ia masih memiliki suami. Suami yang begitu mencintai dan menghormatinya.
Bagaimana jika suaminya tau ini adalah anak adiknya? Sementara suaminya tak mampu memberikan nafkah batin padanya. Wajarkan jika nantinya Channing membenci Ellice?
Dalam derai air mata Ellice terus berpikir. "Apa yang harus aku lakukan Tuhan? Apa... aku harus menggugurkan anak ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tangisnya kembali memecahkan keheningan.
Karena tak kunjung menemukan solusi Ellice memilih pulang. Dengan langkah gontai ia memasuki rumah. Pandangannya menerawang jauh ke depan. Sampai tak fokus melihat orang di depannya sedang berjalan ke arahnya.
"Ellice kau kenapa?" tanya Calvin. Ia pulang lebih cepat setelah meeting dari luar. Dan tak sengaja menabrak Ellice ketika sibuk dengan ponselnya. Calvin segera memegang Ellice agar ia tak sampai terjatuh.
"Ah, aku..." Ellice yang bingung langsung berlari menuju kamarnya. Akan tetapi Calvin sudah melihat raut wajah Ellice yang sedih serta matanya yang memerah dengan wajah sembabnya.
"Ada apa dengan Ellice?"
Follow Ig Author yah @frayanzstar