"Sayang? Kau sudah pulang? Ba-gaimana keadaan Calvin?" tanya Ellice yang baru keluar dari kamar mandi. Pertanyaan pertama langsung tertuju pada lelaki yang bukan miliknya.
Ia melihat sang suami tiduran dengan kaki menggantung. Raut wajah lelah tergambar di garis wajahnya. Lelaki itu tersenyum penuh kasih pada Ellice.
"Kau lelah sayang? Istirahatlah yang benar. Kemarilah. Tidur yang baik. Biar lebih nyenyak." Ellice menepuk ranjang atas dan membantu Channing tidur dengan benar. Ia membantu melepas sepatu dan menyelimutinya.
"Hmm aku mengantuk sekali." ucapnya sembari mengelus wajah cantik Ellice. "Calvin sudah pulang. Dia memang tak suka lama-lama di rumah sakit. Begitu sadar langsung ingin pulang. Operasinya berjalan lancar. Hanya untuk beberapa hari ke depan lengannya tak bisa di gunakan. Karena ada beberapa saraf yang terluka. Apa aku bisa minta tolong padamu untuk membantu menjaga Calvin sayang?"
Ada senyum bahagia mendengar Calvin sudah pulang dan kondisinya membaik. Entah apa karena Ellice menginginkan hal itu juga, wanita itu segera mengangguk. Ia mau menjaga Calvin.
"Aku akan membantu menjaga Calvin. Kau jangan banyak pikiran. Semuanya pasti akan baik-baik saja. Tidurlah sayang. Kau sudah sangat lelah. Nanti saat makan siang, aku akan membangunkanmu. Tidurlah." Ellice memberikan ciuman hangat di bibir sang suami. Dan membiarkan lelaki itu memejamkan mata.
Selesai menemani suaminya tertidur, kakinya melangkah dengan sendirinya keluar dari kamar. Menuju tempat yang memang ingin ia kunjungi. Berhenti sejenak di sana. Membiarkan nafasnya tenang, dan menguatkan diri.
'Ingat! Kau hanya ingin tau kondisinya saat ini, dan membantu suamimu menjaga adiknya. Todak lebih dari itu Ellice.' ucapnya dalam hati sebelum akhirnya Ellice membuka pintu kamar itu.
Klek...
"Ellice?" Calvin terkejut saat melihat Ellice yang berkunjung ke kamarnya. Senyum manis yang selalu menjadi ciri khasnya terpampang nyata memberikan semangat untuk Calvin.
"Ehmm.. boleh aku masuk?" tanya Ellice ragu. Setitik senyum Ellice lepaskan pada pria yang tidur di ranjang besarnya. Melihat kondisinya sudah baik-baik saja, seolah ada rasa lega menyelimuti.
Perban yang terbalut di lengan kanan Calvin, membuat sedikit raut kesedihan, karena takut hal seperti ini terjadi lagi.
Mengingat suara tembakan dan ledakan malam kemarin yang menggetarkan ketakutan di dalam dirinya mampu mengoyak ke khawatirannya. Tapi setidaknya sekarang sedikit ke khawatiran itu mulai menghilang.
"Hmm... Kemari, masuklah." Calvin berusaha untuk duduk namun tak sanggup. Tangannya terlalu nyeri. Sobekan yang di lakukan ketika operasi cukup besar. Karena serpihan yang menyebar harus di buang hingga tak tersisa.
"Pelan-pelan. Tak perlu bangun. Kata Channing kau tak boleh banyak bergerak." Ellice berlari mendekat, menyuruh Calvin agar tetap dalam posisi tiduran. "Bagaimana kondisimu?"
"Aku sudah jauh lebih baik. Ini hanya luka kecil saja. Kau sendiri, tidak apa-apa?" Ellice mengangguk masih dalam posisi berdiri. Menatap nanar ranjang kosong di samping Calvin. Mengamati wajah Calvin yang selalu tampan, serta ranjang yang pernah menjadi saksi bisu panas mereka ketika bercinta membuat Ellice terdiam.
"Mmm.. Ellice?" Ellice kembali fokus dan melihat Calvin. Ia mengangguk pelan.
"Iya, aku tidak apa-apa. Aku berharap kejadian seperti ini tak akan terjadi lagi. Itu-itu sangat menakutkan Cal. A-aku tak ingin sampai melihatmu terluka lagi." lirih suaranya tapi masih terdengar oleh Calvin.
Calvin tersenyum bahagia dan senyum kecut dalam waktu bersamaan. Bahagia saat Ellice berkata jika dia tak ingin jika Calvin memgalami hal yang sama untuk yang kedua kalinya.
Tapi permintaan Ellice sepertinya mustahil. Mungkin saja ini bukan yang terakhir. Karena masih ada paman Rohas yang pastinya akan membalas apa yang sudah terjadi pada Fernandes. Anak lelaki bungsu penerus keluarga mereka, di mana telah mati di tangan Calvin.
Keduanya terdiam kembali. Obrolan ini terasa canggung. Andai saja Elice bisa kembali menjadi Ellice yang ceria dan cerewet seperti dulu, pasti suasana kurang nyaman seperti ini tak akan terjadi.
"Kau istirahatlah. Nanti saat makan siang aku akan membawakan makanan ke sini. Kau harus banyak istirahat, agar cepat sembuh. Jika membutuhkan sesuatu kau bisa panggil bibi atau aku."
"Ellice.." Tangan kiri Calvin memegang tangan Ellice sebelum Ellice hendak pergi dari kamarnya. Pandangan mereka saling beradu, menyiratkan arti yang hanya keduanya saja yang memahaminya. "Terima kasih."
"Aku belum melakukan apapun padamu. Tidak perlu berterima kasih. Cepatlah sembuh. Channing pasti menginginkan kau cepat sehat kembali." mendengar kata kakaknya di sebut, Calvin sedikit kecewa. Karena bukan Ellice yang mengharapkannya cepat sembuh.
Ia lepas tangannya dan membiarkan Ellice pergi keluar. "Aku masih merindukanmu Ellice." Calvin tidur terlentang, lengan kirinya sedikit miring ke kanan, mengusap lembut sprei penuh jejak cinta mereka. Menikmati bayangan wajah Ellice yang tidur dalam pelukannya malam itu.
Tak terasa sudah dua hari berjalan. Ellice masih tetap menjaga Calvin. Dengan segala rasa yang tertahan, Ellice berusaha senormal mungkin. Melakukan tugasnnya sebagai seorang ipar.
Malam ini tiba-tiba Calvin gelisah dalam tidurnya. Bayangan ketika kedua orang tuanya meninggal dalam pengeboman masuk dalam mimpi. Dirinya yang ikut dalam reruntuhan juga terasa nyata dalam mimpi itu.
Kakinya yang terjepit serta sesak nafas karena kekurangan oksigen membuatnya kian ketakutan dalam mimpinya. Wajahnya pucat dan keringat dingin sebesar biji jagung terlihat dari keningnya.
Bibi kebetulan membawakan air minum ke kamar Calvin. "Tuan? Tuan Calvin, tuan muda.. Anda kenapa tuan? Bangun tuan. Apa anda bermimpi buruk lagi tuan? Oh Tuhan, badan tuan terasa panas sekali." bibi menyentuhkan telapak tangannya di kening Calvin.
Suara bibi terdengar dari luar oleh Ellice. Ia segera masuk dan melihat apa yang sedang terjadi. "Ada apa bi?"
"Tuan nyonya. Badannya panas, sepertinya mimpi buruknya datang lagi. Saya akan ambilkan ice bag dulu di bawah nyonya. Titip tuan ya nyonya." bibi sedikit berlari menuju lantai bawah.
Terlihat Calvin yang sangat ketakutan dalam mimpinya. Sampai menetes air matanya di ujung mata. "Calvin tenanglah. Aku di sini." Ellice duduk di pinggir ranjang, tangannya ia usap lembut di lengan Calvin. Menepuk-nepuk perlahan. Hingga mampu mengurangi kegelisahan dalam tidur Calvin.
Ia juga menghapus air mata Calvin. Mimpi seperti apa yang mampu membuat Calvin ketakutan seperti ini?
Di ambilnya tisue untuk menghapus keringat dingin yang keluar. 'Penderitaan seperti apa yang kau rasakan dulu Cal? Apa begitu menyakitkan? Channing tak pernah mau menceritakannya padaku.' ucap Ellice dalam hati yang mengamati wajah sendu Calvin.
Tak menyangka seorang Calvin yang gagah berani menjadi pemimpin serangan baku tembak, ketakutan karena sebuah mimpi buruk di masa silam.
"Nyonya, ini ice bag.nya." bibi memberikan ice bag.nya pada Ellice dan meletakkannya di kening Calvin.
"Bibi istirahat aja. Biar aku yang akan menjaga Calvin. Tapi ini sudah malam nyonya. Tidak masalah jika saya harus menjaga tuan, nyonya. Tuan sudah seperti anak saya sendiri."
"Tak apa bi. Aku akan menjaga Calvin. Bibi istirahat saja. Ini juga sudah malam. Bibi jangan khawatir." Bibi pun menurut, ia keluar dan menutup pintu kamar membiarkan Ellice di dalam berdua dengan Calvin.
Ellice berdiri dan mengambil kursi untuk duduknya di pinggir ranjang Calvin. Ketika sentuhan Ellice terlepas, kegelisahan itu muncul lagi. Hingga terpaksa Ellice sepanjang malam menenangkan Calvin. Dengan sabar Ellice melakukannya.
Kadang Ellice sedikit bersenandung ketika Calvin mulai merasa tidak nyaman lagi dalam tidur. Layaknya anak kecil, Memberikan ketenangan dan menemani dengan alunan lagu dalam tidurnya.
Sampai tak terasa rasa kantuk mulai datang menyapa. Di sisa-sisa kesadarannya Ellice masih bernyanyi hingga tak ada lagi suara itu. Akhirnya Ellice terlelap di kursi dengan satu tangan yang menopang kepalanya di pinggir ranjang Calvin.
Menjelang pagi, Calvin terbangun. Perlahan membuka matanya dan merasa ada benda di atas dada bidangnya. Sedikit mengangkatkan kepalanya melihat Ellice tidur di sampingnya dengan satu tangan bertengger di dadanya.
Ice bag pun meluncur ke bawah ketika Calvin terbangun. "Apa aku sakit?" Ia memegang keningnya merasakan suhu tubuh saat melihat ice bag terjatuh dari kening.
Senyum mengembang di bibirnya. Bolehkah jika Calvin memilih selalu sakit seperti ini? Beberapa hari ini di temani Ellice membuatnya pulih begitu cepat. Meski tak bisa menyentuhnya lagi tak apa. Melihat senyum manis di wajah itu Calvin sudah sangat bahagia.
Ia perhatikan wanita cantik di sebelahknya yang tidur sangat nyenyak. Mendekatkan wajahnya, mencium rambutnya dan aroma cologne bayi yang masuk bersamaan dengan tarikan nafasnya membuat ketenangan dalam diri.
Garis wajah yang terbentuk sempurna bak bidadari dari langit membuat Calvin tak kuasa ingin menyentuhkan sedikit bibirnya pada kening wanita itu. Perlahan tapi pasti, pendaratan bibir lancar Calvin lakukan di keningnya.
"Kau selalu membuat hatiku bahagia Ellice. Meski aku tak mampu menggapaimu. Tapi untuk saat ini, itu sudah lebih dari cukup. Kau tau Ellice, senyummu selalu membuat pagiku bersemangat. Suaramu yang terdengar begitu indah, mampu menghilangkan rasa was-was setiap hari yang selalu mengusikku selama beberapa tahun belakangan. Terima kasih Ellice. Terima kasih sudah hadir di sini."
Calvin menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah cantik bidadarinya. "Aku tak meminta lebih darimu. Karena,.. kakak berhak untuk memilikimu. Aku hanya meminta satu darimu Ellice. Tersenyumlah setiap hari untukku. Karena senyummu berarti besar dalam hidupku."
"Aku harap, ucapanku terkirim lewat udara dan masuk dalam mimpi indahmu. I love you Ellice." ucap Calvin di akhir surat cintanya.
Ia mendekatkan wajahnya kembali dengan tubuh yang sedikit kedepan sambil menahan rasa sakit di tangan. Ingin menyentuh bibir indah Ellice yang ia rindukan. Cup...
Tak ada permainan, hanya menempel lembut menikmati aroma liptint beraroma strawberry. Kesegarannya masuk sempurna di hidung Calvin. Hembusan nafas yang saling menghangatkan sungguh membahagiakan. Sampai terlihat mata Ellice terbuka.
Calvin melepas tautan bibirnya. Keduanya langsung duduk. Ellice tak mampu melihat wajah Calvin. Tetapi Calvin, selalu menikmati setiap gestur Ellice. Karena bagi Calvin, terlihat lucu dan menggemaskan.
"Maaf Ellice, aku... aku hanya merindukanmu." Suaranya lirih tapi mampu memporak porandakan hati Ellice. Ada senyum samar dari hatinya yang bahagia mendengar ucapan itu. Tapi tak bisa Ellice ungkapkan.
"A-apa demammu sudah turun?" Ellice ragu-ragu menyentuhkan telapak tangannya di kening Calvin.
Ellice akui jantungnya sudah berdetak cepat sejaj tadi. Asal tau saja, Ellice mendengar semua isi surat yang di kirim Calvin padanya. Dan itu sangat membuat hatinya melompat gembira. Bagai mengarui sungai nan indah di dekat pegunungan Alpen. Seperti angin segar yang menyejukkan hati.
Merasakan ucapan tulus dari seorang Calvin sungguh mutakhir untuknya. Alangkah senangnya jika ucapan seperti itu setiap hari bersenandung di pagi hari untuknya.
"Panasmu sudah tak terlalu tinggi. Apa kau membutuhkan sesuatu? Sekarang masih dini hari. Kau istirahatlah. Aku akan kembali ke kamarku. Besok pagi aku akan membawakanmu bubur dan obat untukmu."
"Bisakah kau di sini dulu Ellice? Setidaknya sampai aku tertidur?" permintaan sederhana dari Calvin, ia harap Ellice memenuhinya.
Dengan sedikit keraguan Ellice berpikir, sampai akhirnya ia menganggukkan kepala. Ia akan menemani Calvin sampai tertidur. "Tidurlah. Aku akan menemanimu."
"Selamat tidur Ellice."
Follow IG Author @frayanzstar untuk melihat visualnya yah...