Chereads / Wanita Club' Malam / Chapter 3 - Sulit Untuk di Terima

Chapter 3 - Sulit Untuk di Terima

"Dia siapa pa?" tanya Sindy, matanya tak lepas menatap wanita yang ada di samping papanya.

Elina hanya terdiam, sambil celingukan bingung harus menjelaskan apa pada adiknya nanti, ia merasa tak habis pikir dengan pikiran papanya, setega ini pada Sindy membawa wanita yang tak lain adalah pacar papanya.

"Kak, siapa dia? Kenapa bukan mama yang datang?" tanya Sindy, beralih menatap Elina.

"Hai! Kenalin, saya Yola, calon istri papa kamu," sapa wanita tersebut, sambil mengulurkan tangan pada Sindy yang sejak tadi tak henti menatap wanita yang ada di depannya.

"Kak! Jawab aku! Apaan sih semua ini!" sentak Sindy, dengan ekspersi yang geram.

Nada bicara yang di gunakan adik Elina sudah tak bisa lagi terkontrol, melihat lelaki paruh baya yang selama ini di anggap sebagai pahlawan, membawa wanita lain di sampingnya dan bukan istri sahnya.

Membuat Sindy tak habis pikir dan terus bertanya pada Elina dan lelaki paruh baya tersebut.

"Pah! Mana mama? Aku enggak butuh wanita ini, yang aku butuhin cuma mama!" jelas Sindy, nada yang tinggi dan tatapan yang tajam sangat melekat pada wajah adik Elina.

"Jawab dong! Kenapa diam aja sih? Aku enggak butuh wanita ini, siapa dia aku enggak kenal," cicit Sindy, sambil mendorong Yola dengan keras hingga membuat wanita tersebut tersungkur ke tanah.

"Sindy!! Kamu apa-apa sih, jangan kasar dong!" sentak lelaki paruh baya yang tak lain adalah papa kandung Sindy.

Melihat calon istrinya tersungkur ke tanah akibat ulah anaknya, membuat hati Aris geram akan tingkah putrinya yang tak sopan.

"Kamu enggak papa?" tanya Aris, sambil membantu Yola berdiri.

"Enggak mas, aku enggak apa-apa," senyum Yola, sembari bangkit dan menatap Sindy.

"Apaan lu lihatin gua, dasar wanita centil suka banget godain suami orang!" celetuk Sindy dengan mata yang sinis.

Elina menyaksikan kejadian ini hanya bisa terdiam dan membiarkan adiknya mengatakan apa saja yang ada di dalam hati dan pikirannya karena, apa yang keluar dari mulut Sindy ialah termasuk salah satu uneg-uneg yang selama ini ia tahan atas sikap papa dan mamanya.

Dan dirinya juga tak bisa menyembunyikan semua ini dari sang adik, cepat atau lambat Sindy pasti akan segera tau kenyataanya. Hal ini bukanlah perihal yang sepele dan sudah seharusnya adiknya tau.

Apa yang selama ini terjadi pada mama dan papa, dan hal ini ialah pemicu kenapa mereka tak pernah datang untuk menjenguk Sindy.

"Sindy!! Jaga mulut kamu ya, yang sopan kalau bicara!" sentak Aris, dengan nada yang tinggi.

"Kok papa malah bela dia sih, aku ini anak papa, anak kandung papa. Sedangkan dia wanita lain kenapa di bela sih! Aku enggal sudi lihat muka dia!" tunjuk Sindy, mata melotot dan hati penuh kegeraman.

"Cuihhh," ludah Sindy pada Yola, yang tepat ada di depan matanya.

Spontan mata Elina terkejut melihat tingkah sang adik yang benar-benar di luar nalarnya.

"Sindy," ucap Elina, matanya terbuka lebar dan jantung berdetak tak beraturan.

"Jangan begitu Sin, enggak sopan," tutur Elina, mengelus-elus pundak Sindy, yang penuh dengan amarah.

"Diam kak! Aku enggak suka sama dia, yang ngaku-ngaku calon istri papa, sampai kapan pun mama aku cuma Mama Raya, dan bukan dia!!" tegaskan Sindy dengan nada yang semakin tinggi.

"Sindy! Bisa sopan enggak sih, selama ini papa selalu ngajarin kamu sopan santun untuk bicara ke orang yang lebih tua," sahut lelaki paruh baya, yang sudah tak tahan akan sikap anaknya semakin menjadi-jadi.

"Nyesel papa datang kesini, udalah ayo kita pulang aja," tarik tangan Yola.

Namun, mata Aris masih menatap anak bungusnya dengan wajah yang kesal.

"Dia bukan anak saya! Karena, dia sama sekali tak punya sopan santun saat berbicara pada orang yang lebih tua dari dirinya. Ayo kita pergi," ucap Aris, langsung memanglingkan tubuhnya dan berjalan beriringan dengan Yola.

Tepat lelaki paruh baya itu bersama wanita yang berada di sampingnya memalingkan tubuh, air mata Sindy yang sejak tadi di tahannya sekatika langusng terlepas begitu saja.

Hatinya begitu pilu serasa di tusuk ribuan jarum, saat papanya mengatakan bahwa dirinya bukanlah anak dia.

Tak tau apa kesalahan yang pernah dirinya berbuat selama hidupnya, hingga membuat papanya setega ini mengatakan hal yang sangat menyakiti hatinya sekali.

"Dek, jangan di pikirkan ya, apa yang dikatakan papa. Mungkin tadi papa lagi emosi, kakak yakin kalau papa sayang sekali sama kita," jelas Elina, sambil mengusapi air mata sang adik yang tak henti-hentinya turun.

"Kamu pikir positif aja ya, itu bukan siapa-siapa papa," tutur Elina, suara yang paruh dan gugup membukatikan bahwa dirinya juga sedang tak baik.

"Apaan sih kak! Jangan ngaco deh kalo ngomong, kakak denger sendiri kan, apa yang di ucapain sama papa," sela Sindy, menatap sang kakak yang berada di sampingnya.

"Selama aku enggak pernah pulang ke rumah, udah terjadi apa aja sih kah?" tanya Sindy sambil mengusap air matanya.

Seketika jantung Elina berdetak kian kencang saat sang adik menanyakan hal yang selama ini telah dirinya sembunyikan. Ia belum ingin Sindy tau akan hal ini, yang terpenting saat ini hanyalah pendidikan sang adik, jangan sampai terganggu oleh permasalahan yang akan membuat mental dia donw.

"Jawab kak! Jangan diam aja sih, apa yang selama ini kakak sembunyikan dari aku?" tanya lagi Sindy, dengan mata terus menatap Elina.

"Eee-ee, semua baik-baik aja Sin. Udah jangan mikir yang enggak-enggak, kamu fokus sama pelajaran kamu ya,"

"Terus wanita itu tadi siapa kak? Kenapa dia bilang dengan percaya dirinya sebagai calon istri papa, lalu mama kemana kak. Udah deh jangan bohong aku bukan anak kecil lagi kak," sangkal Sindy, tetap tak percaya atas apa yang di jelaskan oleh Elina.

"Jujur kak sama aku, jangan bohong begini," pintanya, sembari air mata terus membasahi pipi.

Sindy merasa ada hal menjanggal telah terjadi di keluarganya, hatinya benar-benar tak bisa percaya dengan ucapan kakaknya. Ia merasa ada sesuatu yang selama ini di sembunyikan sang kakak.

"Hufttt!!" hembusan nafas yang di keluarkan oleh Elina, terdengar cukup berat.

Namun, ia merasa harus tetap kuat dan tegar di depan adik bungsunya.

Air mata yang akan jatuh segera Elina, usap ia tak ingin jika sampai Sindy melihatnya.

"Kamu, jangan berpikir yang macam-macam ya, saat ini fokus dulu sama pendidikan. Nanti kalau kamu udah ujian, kakak akan kasih tau ke kamu ya, saat ini utamakan pendidikan kamu, apa aja yang kamu butuhin langsung telvon kakak aja. Pasti Kak Elina langsung datang. Papa, masih sama mama kok, mereka juga masih baik-baik aja," terang Elina, penuh senyuman lebar, sembari mengusap air mata sang adik yang tak henti menetes.

Di paksa untuk dewasa oleh keadaan dan di tuntut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bukanlah hal yang mudah untuk Elina, apa lagi saat ini ia baru saja lulus dari sekolah, dan kini terpaksa memilih kerja di Club.

Elina, memilih diam dan tak meminta apa pun dari mereka. Mencoba memenuhi kebutuhan Sindy dan dirinya dengan hasil kerja keras sendiri ialah kebanggannya saat ini.

"Tuhan, aku ingin semuanya lekas membaik. Demi Sindy, dia masih terlalu kecil untuk paham apa yang sedang terjadi pada mama dan papa," batin Elina, sembari memeluk sang adik dengan mata yang berkaca-kaca.