Elina masih menatap Bryan dengan penuh keheranan, tak biasanya sikap lelaki itu seketika menjadi diam dan bungkam setelah melihat ponsel.
"Aku balik ya," ucap Bryan, dengan sikap yang gugup.
"Kamu kenapa? Siapa yang nelvon?" tanya Elina, menahan tangan Byan agar tak pergi dahulu.
"Siapa yang nelvon tadi? Papa kamu ya?" tanya lagi Elina, dengan kalimat yang sama.
"Udahlah aku buru-buru, kamu enggak perlu tahu," celetuk Bryan. Melespakan tangan Elina, lalu langsung mengambil jaketnya dan berjalan keluar.
"Hati-hati di jalan," ucap wanita tersebut, dengan perasaan yang tulus. Akan tetapi, Bryan sama sekali tak peduli dengan apa yang dirinya katakan.
Lelaki itu tetap berjalan begitu saja, tanpa merespon ucapan Elina. Sudah menjadi hal yang lumrah bagi Elina, di abaikan oleh Bryan dan itu termasuk salah satu kebiasaan yang terkadang mampu membuat dadanya terasa sesak.
Melihat lelaki yang dirinya pedulikan sudah tak ada lagi di depan matanya, senyuman tipis pun terukir. Ia sadar bila dirinya hanyalah sebatas wanita simpanan oleh para pria dan tak layak mendapatkan perasaan yang tulus dari para lelaki.
Lelaki mana pun yang sudah tau pekerjaannya dan masa lalunya, pasti akan beranggapan dirinya adalah wanita yang murah, dan mampu di bayar seberapa pun asalkan mau menemani.
Berada di posisi seperti ini bukanlah hal yang mudah bagi Elina, berbagai macam cemooh sering kali ia dapatkan namun, sebisa mungkin hatinya harus kuat seperti baja.
"Lu engga perlu sedih Elina, lu harus sadar diri!!" batinya, sambil melepaskan hembusan yang amat berat.
Baginya tak ada hal yang perlu di masukan ke dalam hati, semua terjadi sesuai dengan jalannnya. Dan mungkin memang sudah takdir hidupnya harus menjadi seperti ini.
Kakinya melangkah, menuju tempat semula di mana para lelaki hidung belang yang selalu ingin di temani.
"Lu dari mana aja sih? Pelanggan lu noh nyariin," dengus Elsa, teman kerja Elina yang berprofesi sebagai wanita malam juga.
"Eee-eee, gua tadi ada urusan sih sebentar," gugup Elina, ketika menjawab pertanyaan yang di ajukan oleh Elsa.
"Lu ada masalah? Kok muka lu kelihatan beda banget," gumam Elsa, sedikit heran ketika melihat raut wajah temannya yang tampak tak seperti biasanya.
"Enggak gua baik-baik aja kok, perasaaan lu aja kali," sela Elina, sambil tersenyum lebar.
"Gua balik kerja dulu yaaa," lanjutnya, dengan nada yang terburu-buru lalu bergegas meninggalkan Elsa yang masih bertanya-tanya.
***
Kerja seharian full sangatlah melelahkan sekali dan belum lagi ketika pagi hari tiba tak ada sarapan apa pun yang tersaji di atas meja.
Terlalu berat beban yang ada di pundak dari gadis broken home tersebut, terkadang membuat dirinya merasa tak kuat untuk menjalani hidup hanya sebatang diri.
Kenangan terkdang masih sangat melekat pada benak Elina, segalanya masih dirinya rasakan utuh dan nyata namun, pada dasarnya semua telah bercerai-berai tinggal puing yang tersisa.
Kabar kedua orang tuanya masih sering simpang siur di telinga Elina tetapi, tak membuat hatinya penasaran akan keberadaan mereka. Akan tetapi, ia begitu yakin bila keduanya sudah bahagia dengan pilihan masing-masing.
Walaupun hal tersebut, sama sekali tak berlaku pada dirinya dan kehidupannya.
"Aku lapar," ucap Elina, berjalan menuju dapur.
Telihat di kulkas hanya ada 2 butir telur, dan 1 bungkus roti, beberapa hari ini memang dirinya sedang menyibukan diri dengan pekerjaan hingga sampai lupa harus belanja keperluan sehari hari.
"Hmmm, cuma ada 2 ini, mana aku harus ngirim makanan ke Sindy," dengus Elina, menatapai kedua telur yang dirinya letakan di atas meja.
*Tittttt Tittt*
Suara ponsel yang berdering begitu keras membuat Elina langsung gerak cepat untuk mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubungi dirinya.
"Sindy," ucap Elina, dengan kening mengkerut.
Elina: Iya, haloo...
Sindy: Kakak, hari ini besuk aku, kan? Semua keperluan aku udah habis kak.
Elina: Iya nanti kakak, kesana.
Sindy: Ya aku tunggu, jangan lama-lama.
Setelah selsai mengatakan, adik dari Elina itu pun langsung mematikan ponselnya begitu saja.
Hati Elina, begitu sedih sekali setiap mendengar adik kandungnya berbicara. Karena, sudah 1 tahun Sindy tak pernah pulang ke rumah, hal itu bukanlah keinginan Sindy sendiri namun, kehendak dirinya yang tidak ingin adiknya tau bila kedua orangtuanya sudah tak lagi bersama.
Jika, sampai hal tersebut di ketahui, maka Sindy tak akan tinggal diam da kesedihan yang sangat mendalam akan amat terasa.
Dirinya juga tak habis pikir, kenapa kedua orangtuanya setega itu hingga 1 tahun tak menjenguk Sindy yang berada di sekolah asrama, dan kini semua biaya di alihkan kepada dirinya.
"Kakakkk!!!" seru dari kejauhan.
Ketika Elina baru saja melangkah ke dalam gerbang, ia sudah melihat sosok yang berlari ke arah dirinya.
"Kakak!!" seru lagi, kini suara tersebut semakin dekat.
Elina melambaikan tangannya dan senyuman lebar, sebagai responan bila semua baik-baik saja dan dirinya dalam fase bahagia. Meskipun hidupnya sedang tak baik.
"Kakak!! Aku rindu, kenapa belakangan ini Kak Elin jarang banget jenguk aku?" tanya Sindy, dengan wajah yang memelas dan tatapan teduh.
"Kakak lagi banyak kerjaan, maaf yaa. Kamu jangan sedih, ini kakak bawain semua kebutuhan kamu," jawab Elina, sambil mengelus kepala sang adik.
"Udah, jangan sedih. Kakak juga udah datang," gumamnya lagi, menatap wajah sang adik yang tampak murung.
"Aku enggak butuh semua ini kak, aku mau pulang ketemu papa sama mama," ringik Sindy, dengan mata yang berkaca-kaca.
"Kak, aku mau pulang. Aku pengen ketemu mama sama papa, kenapa mereka enggak pernah jenguk aku, Sindy kangen sama mereka kak, hiks hiks hiks," tangis Sindy, hatinya sudah tak bisa lagi menahan rasa rindu pada kedua orangtuanya.
Terasa begitu pilu, ketika melihat adik semata wayangnya sangat merindukan kedua orangtua yang tak pernah datang menjeguk.
Elina bingung harus mengatakan apa pada Sindy, keadaan selalu menyudutkan dirinya untuk selalu siap siaga membuat pikirannya tak mampu berjalan normal.
"Kak, mama sama papa kemana sih? Apa mereka enggak sayang sama aku?" tanya Sindy, dengan penuh linangan air mata. Dan terus saja menatap Elina yang berada di depan mata.
"Kamu jangan sedih ya, papa sama mama akan segera datang kesini. Kamu yang sabar," tutur Elina, perlahan menghapus air mata sang adik. Lalu mengajak Sindy untuk duduk sambil menenangkan pikiran adik semata wayangnya.
Melihat usia sang adik yang masih berumur 14 tahun menimbulkan banyak pikiran dalam otak Elina, biaya yang akan dirinya keluarkan pun akan semakin banyak seiring berjalannya waktu.
Masih ada beberapa jenjang pendidikan yang harus di tempuh oleh Sindy, ia tak ingin bila sang adik sampai putus sekolah atau pun kesulitan dalam pembiayaan sekolah.
"Kakak, bawaiin banyak jajaan untuk kamu. Dan ada baju-baju baru juga, jangan sedih ya nanti, kakak sampaikan ke papa sama mama kalau Sindy rindu," ucap Elina, mencoba menenangkan adiknya agar tak ada pikiran yang macam-macam.
"Iya kak," jawab Sindy singkat, sambil tersenyum tipis. Lalu melihat-lihat apa saja barang-barang yang di bawa oleh kakaknya.
Saat kepalanya terangkat dan menatap ke arah gerbang, matanya di kejutkan dengan seseorang yang tengah berjalan.
"Ehhh, kak itu papa yaa?" tunjuk Sindy ke arah gerbang, dengan mata yang melotot.
"Iya kak, itu papa. Sindy yakin banget itu papa," serunya penuh nada semangat.
Sponatan Elina langsung memalingkan pandannya dan melihat apakah benar yang dikatakan oleh sang adik.
"Yeyyy, papa datang. Tapi, papa sama siapa kak? Kok perempuan itu, kelihatannya bukan mama ya?" bingung Sindy, dengan pandangan yang tak lepas.