Setelah bertemu klien, siang itu Ricandra menjenguk papanya yang masih berada di rumah sakit. Setiap wanita yang berpapasan dengannya entah itu perawat, dokter, atau anggota keluarga pasien langsung jatuh cinta dengan ketampanan dan kegagahan tubuh Ricandra. Ricandra ke rumah sakit masih menggunakan kemeja navy dengan setelan jas hitam dan dasi melilit di lehernya. Setelah sampai di ruangan papanya Ricandra segera duduk di samping papanya.
"Bagaimana keadaan Papa?" tanya Ricandra dengan lembut dan menggenggam tangan papanya dengan kedua tangannya.
"Semakin lemah, Papa rasanya sudah tidak kuat lagi Ricandra. Oh iya kamu tahu sahabat Papa Pak Ramdy kan?" tanya Pak Bams pada Ricandra.
"Iya, kenapa Pa?" tanya Ricandra.
"Papa berniat menikahkan kamu sama anak Pak Ramdy Ricandra. Papa ingin menjalin hubungan keluarga dengan beliau sebelum Papa meninggal," ucap Pak Bams pada Ricandra.
"Tidak bisa Pa, Papa tahu kan, Ricandra sudah punya Roselia?" tolak Ricandra.
"Iya Papa tahu, tapi Papa sudah meminta Pak Ramdy untuk menikahkan anaknya dan kamu 2 hari lagi di depan Papa Ricandra," jawab Pak Bams.
"Enggak bisa Pa, Ricandra enggak mau. Lagipula mengurus pernikahan itu butuh waktu, tidak bisa hitungan hari," balas Ricandra.
"Lusa, kamu hanya perlu menikah di depan penghulu Ricandra, surat-suratnya bisa kamu urus setelahnya. Ayolah Ricandra, kabulkan permohonan Papa untuk yang terakhir," ucap Pak Bams memohon.
"Ricandra akan memikirkannya lagi Pa, Ricandra harus kembali ke perusahaan sekarang. Beristirahatlah semoga cepat sembuh Pa," ucap Ricandra lalu mencium punggung tangan papanya.
Setelah kepergian Ricandra, Pak Bams segera menelepon Pak Ramdy untuk menanyakan bagaimana kelanjutan dari pernikahan anak mereka.
Pak Bams bertanya, "Bagaimana Pak, apa anak Pak Ramdy setuju dengan rencana kita?"
Pak Ramdy menjawab, "Tentu saja Pak, semuanya beres. Tinggal panggil Pak penghulu saja. Lusa saya akan membawa anak saya ke rumah sakit."
Pak Bams membalas, "Terima kasih Pak, saya sangat bahagia mendengarnya."
Pak Ramdy menanggapi, "Sama-sama Pak, saya juga bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga Pak Bams. Jangan banyak pikiran, semoga cepat sembuh."
Setelah menyelesaikan percakapannya dan menutup sambungan teleponnya, Pak Ramdy segera menelepon sekolah Imelda. Ia meminta izin untuk Imelda tidak masuk sekolah mulai besok selama 3 hari karena ada urusan keluarga. Pihak sekolah pun mengizinkannya tanpa menanyakan lebih detail.
Di perusahaan, Ricandra tidak bisa berkonsentrasi. Ia memikirkan permintaan papanya terus-menerus. Di sisi lain ia juga memikirkan perasaan Roselia kekasihnya.
"Apa yang harus aku lakukan, aku bahkan tidak tahu anak Pak Ramdy seperti apa dan berapa usianya?" gumam Ricandra di dalam ruangannya.
Tidak berapa lama Roselia masuk ke dalam ruangan Ricandra tanpa mengetuk pintu seperti biasanya, karena Ricandra membebaskannya keluar masuk kantornya. Roselia melihat keanehan pada wajah Ricandra.
"Ada apa Sayang?" tanya Roselia sambil berdiri di belakang Ricandra yang duduk di kursi lalu memeluk leher Ricandra dari belakang.
"Sakit papaku semakin parah," jawab Ricandra tanpa memandang ke arah Roselia.
"Mmm maaf, aku belum bisa menjenguknya, akhir-akhir ini aku sangat sibuk," balas Roselia sok prihatin.
Bukankah itu semakin bagus kalau ia cepat mati? Maka tidak ada lagi yang menghalangiku menikah dengan Ricandra, batin Roselia.
Roselia pun tersenyum licik, karena memang selama ini Pak Bams belum menyetujui hubungan Ricandra dengan Roselia. Pak Bams merasa Roselia bukanlah wanita yang cocok untuk Ricandra.
"Tidak apa-apa Sayang, ada apa kamu ke sini?" tanya Ricandra sambil menarik tangan Roselia hingga kini Roselia duduk di pangkuannya.
"Tentu saja merindukanmu, sudah 3 hari kita tidak bertemu. Apa kamu tidak merindukanku?" tanya Roselia dengan manja.
"Tentu saja Sayang, sudah sore ayo pulang," ajak Ricandra sambil menurunkan Roselia dari pangkuannya lalu menggandeng tangannya ke luar kantor.
Keesokan harinya Imelda diajak orang tuanya memilih kebaya untuk persiapan pernikahannya besok. Imelda hanya bisa pasrah, bapaknya orang yang berwatak keras, semua perintahnya tidak bisa dibantah. Kalaupun dibantah, ia akan mengatai Imelda anak durhaka, tidak berbakti pada orang tua dan akan mengusirnya dari rumah. Imelda masih belum siap untuk hidup mandiri di usianya yang masih sekolah.
Setelah pulang ke rumah, Imelda memandangi kebaya putih yang menggantung di sudut kamarnya itu. Ia tersenyum getir lalu menangis dan memejamkan matanya.
"Sebentar lagi aku akan menikah, aku tidak tahu hidupku akan bahagia atau lebih buruk dari sekarang. Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan berakhir seperti ini. Dulu aku membayangkan ketika dewasa aku akan menikah dengan laki-laki yang aku cintai dan mencintaiku. Tapi sekarang semua hanyalah angan-angan semata. Aditya, maafkan aku, penantianmu selama ini sia – sia," gumam Imelda. Tidak lama kemudian Imelda pun tertidur.
Keesokan harinya Bu Romelis mengetuk pintu kamar Imelda, tapi tidak ada sahutan dari Imelda. Bu Romelis pun membuka pintu kamar Imelda yang memang tidak dikunci. Ia mendapati Imelda sedang menangis di meja belajarnya, Bu Romelis pun mendekatinya.
"Sabar Nak," ucap Bu Romelis sambil mengelus rambut Imelda penuh cinta. Imelda pun memandang ibunya lalu memeluknya.
"Bu, Imelda enggak mau menikah Bu, tolong Imelda," Mohon Imelda sambil menangis tersedu-sedu.
"Ibu tidak bisa berbuat apa-apa Nak. Kamu tahu Pak Bams kan? Ia orang yang baik, anaknya juga pasti baik seperti papanya. Ayo cepat mandi dan pakai kebayamu," tukas Bu Romelis lalu keluar dari dalam kamar Imelda.
Imelda pun bergegas mandi dan memakai kebayanya sebelum bapaknya marah.
Imelda dan kedua orang tuanya sudah sampai di ruangan Pak Bams. Imelda menghampiri Pak Bams dan Bu Sofely istri Pak Bams lalu mencium punggung tangan mereka bergantian. Tukang rias sudah menunggu sejak beberapa menit yang lalu sebelum Imelda datang. Setelah Imelda datang, ia pun segera dirias sebelum akad nikah dilakukan.
Saat dirias Imelda berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh, tapi sayangnya air mata itu mengalir tanpa bisa dicegah. Tukang riasnya pun kewalahan menyeka air mata Imelda.
"Dek, jangan menangis terus dong, make up-nya nanti jadi luntur loh," ucap tukang riasnya.
"Maaf Mbak," jawab Imelda sambil terisak.
Imelda pun berusaha menenangkan perasaanya dan berusaha untuk lapang dada menerima pernikahan ini. Ia menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya lewat mulut dengan kasar.
Setelah dirias Imelda pun duduk bersama kedua orang tuanya di dalam ruangan Pak Bams. Pak penghulu sudah datang saat Imelda dirias tadi, namun calon mempelai prianya belum datang juga. Sudah satu jam Pak penghulu menunggu. Pak Bams pun mulai gelisah, ia mencoba menelepon Ricandra, tapi ponselnya tidak bisa dihubungi. Akhirnya ia menelepon Lia sekretaris Ricandra.
Pak Bams bertanya, "Di mana Ricandra?"
Lia menjawab, "Sedang rapat bersama klien Pak."
Pak Bams berkata, "Cepat suruh dia ke rumah sakit sekarang! Kalau tidak, katakan padanya jangan pernah menemuiku lagi."
Lia membalas, "Tapi Pak ..."