Laki-laki itu terlihat begitu sangat damai, sama sekali tidak terlihat bahwa laki-laki ini adalah laki-laki yang nakal, usil, aneh dan menyebalkan. Tak terasa senyum Abel terbentuk di wajah. Tangannya terulur mengusap tangan Kevin menggenggam erat pergelangan tangannya. Oh tidak, sentuhan Abel membuat Kevin tersadar. Kevin membuka mata dan langsung terlonjak begitu dia melihat Abel.
"Kamu." Kevin terlonjak di tempat tidurnya. Nada bicaranya terdengar ketakutan.
"Hai, Vin." Abel mengangkat tangan berusaha mencairkan suasana. "Aku Abel." Lanjutnya, dan mengulurkan tangan pada Kevin.
Laki-laki itu hanya memandang Abel dalam diam. Kevin hanya merasa begitu asing saat melihat wajah Abel. Melihat Kevin tidak berbuat apa-apa, Abel memutuskan menarik tangannya kemudian menjabat tangan Kevin dengan paksa.
"Ke-kevin. " Ucapnya gugup.
"Kevin, aku kesini untuk menjalankan tugasku." Ujar Abel. Sementara Kevin mengerutkan keningnya.
"Tugas? Tugas apa?" Tanya Kevin. Tapi justru dia malah terlihat bodoh dan seperti orang linglung.
"Membantumu agar kamu cepat keluar dari ruangan ini. Aku tahu, kamu pasti sangat bosan setiap hari hanya terbaring di tempat tidur."
"Kamu mau membawaku kabur dari sini?"
"Apa? hahaha!!! tentu saja tidak. Kamu jangan bodoh, aku bukan pelaku kriminal. Aku akan
membantu merawatmu agar kamu cepat sembuh. Memgerti?"
"Enggak perlu!" Tolak Kevin mentah-mentah. "Aku sudah punya perawat." Lanjutnya.
"Perawat saja tidak cukup. Kamu membutuhkanku disini, dan kamu jangan banyak membantah." Kecin terdiam seperti anak kecil yang mendapat teguran dari orang tuanya. Wajahnya tertekuk seakan terpaksa mematuhi ucapan Abel.
*
Sesuai dengan rencana Abel setiap hari gadis itu datang ke rumah sakit untuk memastikan keadaan Kevin dan diam-diam membantu Kevin mengembalikan ingatannya tentang dirinya. Mulai dari menceritakan masa lalu mereka dan moment-moment indah yang pernah mereka alami, dan juga semua barang-barang yang pernah Kevin berikan pada Abel, tapi tidak ada satupun yang membantu ingatan Kevin kembali.
Abel hampir putus asa jika tante Rinda tidak terus memberi dia semangat. Beliau bilang semuanya akan kembali seperti semula. Iya, Abel berharap seperti itu.
"Apa kamu pernah punya seseorang yang kamu sayangi?"
Tanya Abel pada suati hari, sambil memandangi Kevin yang sedang menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Seketika Kevin berhenti mengunyah. Tatapannya menerawang ke depan. Kevin balik memandangi Abel lama sekali, seakan sedang mencari sesuatu dari dalam diri Abel.
"Aku tidak tahu." Jawabnya setelah lama terdiam. "Semenjak aku sadarkan diri, aku merasa ada sesuatu yang kosong dalam diriku. Aku merasa ada sesuatu yang aku lewatkan. Tapi, aku tidak tahu itu." Kevin kembali terdiam. Kemudian melanjutkan kalimatnya.
"Bagaimana menurutmu? Apa aku mempunyai seseorang yang aku sayang?" Abel memandangnya beberapa detik. "Kamu bilang kamu temanku, jadi kamu pasti tahu sesuatu tentangku." Lanjut Kevin membuyarkan lamunn Abel.
"Sampai sekarang kamu masih memilikinya. Bahkan kamu sangat mencintainya. Kamu pernah mengatakan hal itu padaku."
"Benarkah?" Wajahnya begitu berbinar-binar. "Jadi, siapa dia? Dimana dia sekarang?" Tanya Kevin antusian.
Abel tersenyum kecut. "Nanti kamu juga akan bertemu dengannya kalau kamu sudah sembuh. Dia tidak kemana-mana."
Betapa sakitnya saat Abel mengatakan hal ini. Sesungguhnya orang yang Kevin cintai ada di depan matanya. Tapi Kevin sama sekali tidak menyadari itu. Kevin merasa seperti memiliki sesuati yang penting dalam hidupnya, tapi dia tidak apa itu. Otaknya kosong melompong, sama sekali tidak ada bayangan yang menerangkah hal itu.
Entah Abel harus marah atau bagaimana padanya.
***
Ini sudah hari ke tiga puluh tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa Kevin mulai membaik. Justru baru kemarin sore Abel mendapat kabar bahwa kondisi Kevin semakin memburuk diakibatkan ayahnya dengan tiba-tiba mendatangi Kevin di rumah sakit.
Kondisi Kevin yang belum stabil di tambah trauma atas kehadiran ayahnya menyebabkan keadaan Kevin semakin memburuk. Bahkan Kevin sempat melempar barang-barang yang ada disekitarnya dan mengamuk. Abel pun tidak diijinkan untuk melihat Kevin.
Dokter mengatakan Kevin tidak diijinkan untuk bertemu dengan siapapun karena takut emosinya akan meledak-ledak kembali.
Sore ini Kevin di perbolehkan pulang ke rumahnya. Tante Rinda bilang Kevin lebih baik di rawat di rumah saja. Hari ini Abel mencoba datang ke rumah Kevin walau tante Rinda mengatakan bahwa Kevin bisa kapan saja mengamuk mengingat bahwa kondisinya masih belum stabil.
"Tante, gimana keadaan Kevin?" Abel duduk di samping tante Rinda, sementara tante Rinda sedang membereskan sesuatu.
"Masih belum ada perubahan." Tante Rinda menghela napas kemudian menata Abel dengan nanar. Abel memasang senyum untuk menguatkan tante Rinda.
"Boleh aku melihatnya?"
"Tapi jika Kevin mengamuk padamu mohon dimaklumi."
"Tante tenang aja aku bisa ngerti."
***
Begitu Abel membuka pintu kamar Kevin, suasana tenang dan nyaman langsung menyambutnya. Gadis itu melihat Kevin sedang terduduk di tepi ranjang sambil mengepak semua pakainnya. Abel mengernyit bingung dan perlahan dia mendekat.
"Kevin." Panggil Abel hati-hati. Mencoba untuk tidak terlalu mengganggunya.
Kevin menoleh ke arah Abel, menatal gadis itu kemudian tersenyum. Abel sudah was-was saja, dia sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Kevin langsing mengusirnya. Beruntung suasana hati Kevin sedang baik-baik saja.
"Hai, kemana saja kamu? Sudah lama aku enggak lihat kamu." Jawab Kevin dengan riang.
Melihatnya seperti ini tidak akan ada yang menyangka bahwa dia sedang sakit. Abel tidak tahu apa yang menyebabkan Kevin bisa sebahagia ini, padahal tante Rinda mengabarkan bahwa kondisi Kevin belum membaik dan emosinya masih labil.
"Aku.. kemarin sibuk karena tugas kuliahku. Bagaimana keadaanmu?" Abel berjalan mendekat ke arah Kevin dan duduk di sampingya.
"Aku baik-baik saja." Kevin menyahut, tapi seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikan. Kevin kembali sibuk mengepak-ngepak pakainnya. Abel menjadi terus memperhatikan Kevin sambil bertanya-tanya dalam hati.
"Kamu mau ke mana?"
"Aku mau pergi."
Apa dia bilang? Mau pergi? kemana?
"Maksud kamu?" Abel sedikit menggeser tubuhnya mendekat ke arah Kevin. Laki-laki itu memandang Abel sambil tersenyum.
"Ibu mengajakku untuk pindah ke Malaysia. Ibu bilang aku akan menjalani pengobatan di sana. Aku senang saat Ibu mengatakan akan pindah dari Jakarta. Setidaknya aku akan hidup lebih tenang di sana."
Tutur Kevin dengan senyum yang terus mengembang di bibir, sedangkan Abel hanya bisa terdiam dan menahan nyeri yang tiba-tiba menusuk hati. Wajahnya mendadak memanas. Bagaimana bisa Kevin pergi meninggalkannya sendiri di sini. Kevin tidak boleh pergi. Kevin belum mengingatnya sama sekali.
"Tapi kenapa harus ke Malaysia? Bukannya di Indonesia masih ada rumah sakit yang bagus?"
"Dokter sendiri yang memberi rujukan untuk ke rumah sakit yang ada di Malaysia. Aku ingin cepat sembuh..." Kevin menyipitkan matanya seakan-akan sedang mengingat-ngingat sesuatu. "Siapa namamu?" Kevin memiringkan kepalanya.
"Abel. Arabella." Jawab Abel pelan. Kevin memang sering melupakan namanya akhir-akhir ini. Ah tidak, Kevin memang selalu lupa siapa nama Abel.
"Ah iya. Aku ingin cepat sembuh Bel." Ucap Kevin. Saat laki-laki itu menyebut nama pendeknya, seketika hati Abel terenyuh mengingat kebersamaan mereka dahulu. "Aku ingin segera mengingat semuanya. Aku ingin segera bertemu dengan seeorang yang kamu ceritakan waktu itu. Aku tahu, dia pasti menungguku. Jika aku menjalani pengobatan ke Malaysia, aku akan segera sembuh dan bertemu dengannya. Aahh, aku sungguh tidak sabar menanti hal itu."
Hati Abel kembali mencelos mendengar penuturan Kevin. Seseorang yang ingin Kevin temui ada di depan matanya sebenarnya. Abel ingin sekali menyemburkan kalimat itu, tapi dia urungkan karena takut membuat Kevin emosinya jadi tak terkendali.