Hari yang melelahkan bagi Abel. Baru kali ini kantor terasa seperti neraka bagi wanita itu. Menghadapi Kevin setiap hari rasanya seperti akan menjemput maut. Abel harus mengontrol detak jantungnya setiap saat. Harus menahan untuk tidak terlalu bahagia setiap Abel berpapasan dengan Kevin. Apalagi saat tanpa sengaja pandangan mereka bertemu.
Abel berharap kalau Tristan akan selamanya di tempatkan di kantor cabang, jangan kembali lagi ke kantor pusat. Menghadapi Kevin saja sudah jantungan, apalagi kalau di tambah ada Tristan. Bisa-bisa dia mati muda.
Sejauh ini, sebisa mungkin Abel harus mengendalikan perasaannya agar tidak terlalu berlebihan pada Kevin. Walau bagaimanapun Abel harus mempertahankan Tristan, karena dia calon suaminya. Ingat! Calon suami. Astaga, kenapa Abel tidak senang mengetahui kenyataan bahwa Abel akan segera menjadi istrinya. Bukannya ini yang dia tunggu-tunggu. Tapi kenapa rasanya justru biasa-biasa saja. Pasti ada yang tidak beres dengan diri Abel.
Tentu saja ada. Tapi Abel kembali menapik bahwa tidak ada apa-apa pada diri Abel. Ini hanya perasaannya saja.
Abel mencintai Tristan. Abel bahagia menjadi calon isteri Tristan. Abel tidak sabar untuk segera menikah dengan Tristan. Jadi tidak ada masalah apapun dengan diri Abel. Semuanya baik-baik saja.
Dia terus saja melapalkan kalimat itu bagai mantra.
Semuanya-
Abel tersentak saat intercom di atas mejanya berdering.
[Abel, tolong keruanganku sebentar.]
Abel memejamkan mata saat perintah itu di sebut oleh Kevin di sebrang sana. Abel menutup intercom lalu menatap nanar ke arah ruangan Kevin.
Ternyata semuanya sedang tidak baik-baik saja.
***
Abel berjalan lunglai menuju ruangan Kevin. Kembali lelah ketika wanita itu harus mengetahui bahwa saat Abel mulai menatap wajah Kevin, Abel harus mempertahankan dirinya untuk tidak melampaui batas.
"Ada apa Kev- em Pak Aiden?" Suara Abel tercekat hampir keceplosan. Rasanya aneh memanggil nama Kevin dengan sebutan Aiden.
Kevin tersenyum maklum. "Tolong tutup pintunya." Pria itu memerintahkan kemudian berjalan ke arah meja kerjanya. Menyandarkan tubuhnya di sana dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada sedangkan Abel menutup pintu.
"Emm begini," Kevin menggosok telapak tangan. "Aku ingin mengajakmu keluar malam ini. Apa kamu enggak keberatan?"
"A-aku.." Abel memutar bola mata. Ini terlalu cepat. Pikir Abel.
"Bel," Kevin berjalan mendekat kemudian memegang pundak Abel, lalu menyusuri lengan kemudian berakhir dengan menggenggam kedua tangan Abel. Sesaat itu juga tubuh Abel menegang seperti patung. "Aku tahu, selama 10 tahun kita enggak ketemu pasti kamu merasa canggung sama aku. Maka dari itu untuk memperbaiki hubungan kita, kita perlu memiliki waktu berdua. Membiasakan kembali antara kita."
"Emm tapi," Abel bergerak mundur dan melepaskan genggaman Kevin mulai merasa tidak nyaman. Kemudian berjalan mondar-mandir menghilangkan rasa gugup.
"Kenapa ? Kamu sibuk?"
"Enggak."
"Ada masalah?"
"Enggak."
"Kamu.. sakit?"
"Enggak."
"Kamu baik-baik aja?"
"Eng- maksudku, aku baik-baik aja." Abel membangun dirinya kembali agar terlihat biasa-biasa saja.
"Kalau gitu enggak ada masalah kan?"
Tentu saja ada!! Masalahnya adalah aku sudah bersama Tristan! Dan aku tidak bisa pergi bersamamu. Itu sama saja aku mengkhianati Tristan.
Kalimat itu yang ingin Abel semburkan di depan Kevin. Tapi lidahnya seolah terkunci rapat.
Tapi sebelum semuanya menjadi kacau, Abel harus mengatakan itu pada Kevin sebelum semuanya terlambat. Abel harus bilang pada pria itu bahwa dia tidak bisa pergi dengannya karena Abel harus bertemu Tristan. Calon suaminya. Ingat! Calon suami.
"Sebenarnya aku.." Dan ternyata Abel tidak bisa. Sulit sekali. "Aku.."
Kalimat Abel terputus oleh kedua tangan Kevin yang melingkari pinggang Abel, merengkuh seluruh tubuh wanita itu ke dalam pelukannya, lalu Kevin menyandarkan kepalanya di antara leher dan bahu Abel. Seperti dengan sengaja mengembuskan napasnya di sana. Membuat seluruh tubuh Abel menegang dan bulu kuduknya meremang sempurna.
Jesus! ini malah semakin berat.
"Sebenarnya kamu kenapa?" Suaranya Kevin terdengar mendayu dayu di telinga Abel.
"Aku-sebenarnya…aku udah punya.." tinggal sedikit lagi. Tapi lututnya sudah lemas sejak tadi. "Aku sudah punya-" Kevin memutar tubuh Abel seketika. Sehingga pandangan mata mereka bisa sejajar. Tepat di manik matan pria itu, Abel melihat bayangannya di sana.
Lama Abel dan Kevin saling menatap, yang Abel lakukan hanya memandangi Kevin terus-terusan tanpa ada niat untuk mengalihkan pandangan ke mana-mana. Kevin seperti objek yang paling disayangkan untuk dilewatkan begitu saja. Ah tidak. Tidak. Jelas-jelas Tristan lebih keren dibanding Kevin. Batin Abel sudah berkecamuk.
"Punya apa?" Tanya Kevin. Lagi-lagi dengan suara yang terdengar begitu merdu.
"Punya.. " Ayo katakan Abel, jangan jadi pengecut seperti ini. "Punya…rencana untuk kita berdua." Oh shit! Kenapa justru kata-kata ini yang keluar dari mulut Abel. Kevin tersenyum lebar. Kemudian menarik tangan Abel dan memeluk tubuhnya.
"Jadi, kamu udah punya rencana buat kita berdua?" Kevin terkekeh dan Abel mengangguk lemah di dalam pelukan Kevin. "Aku tidak sabar menunggu rencanamu. Jadi, kapan itu? malam ini?"
"Ya," Abel mengangguk pasrah. "Malam ini. Berdua. Bersamamu." Sambung Abel lemah, tenaganya sudah terkuras habis. Tapi jauh di dalam sana Abel merasa sangat begitu bahagia. Oh, Abel memang sedang tidak baik-baik saja.
***
Sore harinya sebelum Abel pulang dari kantor dan mematikan layar komputernya, terlihat di pojok kanan bawah monitor ada pemberitahuan email masuk. Abel membukanya, dan seketika tercengang mendapati kotak masuk dari email Kevin.
Kevin mengiriminya sebuah pesan yang mengatakan nanti malam pria itu akan menemui Abel di sebuah taman yang dulu adalah tempat kencan pertama Abel dan dia.
Ini bagus Abel, dia sudah melangkah jauh, bahkan Abel sudah bertukar nomor ponsel dengan Kevin.
Jika dipikir-pikir Kevin masih saja ke kekanakan. Memangnya dia pikir Abel seorang anak remaja yang baru jatuh cinta sehingga harus berkencan di sebuah taman. Tapi, baiklah, Abel juga tidak mau Kevin menjemputnya di rumah. Karena ini adalah kencan sembunyi-sembunyi, jadi harus di sembunyikan dari siapapun.
Jadi, di sinilah Abel berada, duduk di sebuah bangku taman sendiri, memakai hoodie biru dongker dengan tudungnya menutupi kepalanya. Celingukan mengawasi sekitar. Seperti orang yang sedang bersembunyi.
Abel duduk dengan gugup dan tidak sabaran. Masalahnya Abel harus tetap waspada, takut tiba-tiba ada Tristan lewat di taman ini dan menemukannya sedang menunggu Kevin.
Sebuah BMW hitam mewah berhenti tepat di tepi jalan taman ini. Begitu pengemudinya keluar Abel langsung bisa mengenalinya. Itu Kevin. Wanita itu segera beranjak dari bangku lalu menghampiri Kevin.
Tidak. Abel tidak agresif, dia hanya menghindari kemungkinan terburuk bahwa akan tertangkap basah. Begitu Abel sampai di depan Kevin, Abel langsung menyambar tangannya dan mengajak Kevin cepat-cepat pergi dari sini.
"Kamu keliatannya enggak sabar, Bel." Kevin justru terkekeh melihat gerak-gerik Abel.
"Oh ya. Pasti. Bukannya ini yang kita tunggu-tunggu? Waktu berdua?" Abel menoleh saat dia dan Kevin sudah berada di dalam mobil.
"Ya, tentu aja." Balas Kevin kemudian melajukan mobilnya.
"Emm, gimana kalau rencanamu yang kamu bilang tadi di batalkan aja?" Abel menolehkan kepalanya cepat-cepat ke arah Kevin dengan kening berkerut. "Maksudku, biar malam ini aku yang atur."
"Oh, ya, enggak apa-apa. Santai aja." Ucap Abel tersenyum kaku.
Dia langsung bernapas lega setidaknya malam ini Abel aman karena memang dia tidak merencanakan apa-apa untuk kencan sembunyi-sembunyinya dengan Kevin.
Saat mobil itu mulai masuk jalanan Jakarta yang ramai, Abel membuka tudung hoodie yang dia pakai, dan alunan lagu berjudul Terjebak Nostalgia yang di nyanyikan Raisa seolah sedang menyindirnya terang-terangan, menemani perjalanan Abel dan Kevin di malam minggu.