Acara makan malam tiba-tiba menjadi hening. Lelucon dan gurauan seperti tadi seolah menguap. Sejak dari tadi Kevin hanya bolak-balik meninggalkan Abel untuk menjawab teleponnya. Kevin berubah menjadi berbeda semenjak dia mengangkat ponselnya yang pertama.
"Vin, kamu gapapa?" Tanya Abel memulai pembicaraan karena saking penasarannya.
"Aku gapapa." Jawab Kevin sambil tersenyum kaku.
"Telepon dari siapa?" tanya Abel kembali dengan hati-hati.
"Bukan siapa-siapa."
"Apa itu urusan bisnis… atau urusan pribadi.." Abel merasa bahwa dia seharusnya mengetahui apa yang membuat Kevin menjadi gusar.
"Itu bukan siapa-siapa, Bel! Udah deh.."
Kevin menjawab dengan nada tinggi dan ketus.
Oke, kata 'udah deh'nya itu membuktikan bahwa Abel harus tahu diri dan tutup mulut. Rasa napsu makan Abel jadi hilang. Abel bangkit dari duduknya dan mendorong kursinya. Tentu saja Abel merasa sangat tersinggung dengan apa yang Kevin katakan.
"Bel, kamu enggak berniat buat pergi, 'kan?" Kevin bangkit berdiri.
"Aku emang mau pergi." Ucap Abel jengkel lalu berjalan meninggalkan meja.
"Bel, tunggu." Kevin menarik tangan Abel. Kini semua orang di sini sudah menatap ke arah mereka. "Maafin aku. Aku enggak bermaksud ngebentak kamu. Yuk, duduk lagi."
"Enggak Vin, aku mau pergi."
"Duduk sebentar aja. Kita belum makan dessert-nya. Mereka akan menghidangkan puding cokelat buat kamu." Ujar Kevin, memohon pada Abel.
Abel terdiam saat mendengar puding coklat. Dia akan mempertimbangkan, tapi Abel menariknya lagi. Dia akan tetap ngambek, tidak akan lemah hanya karena sebuah puding.
"Aku enggak mau puding."
"Kalau gitu kita minum kopi."
"Aku enggak suka kopi."
"Bel, kamu enggak mungkin enggak suka kopi. Aku tahu betul kamu suka kopi."
"Kamu enggak tahu apapun tentang aku, Pak Aiden yang terhormat."
Tandas Abel kemudian menarik paksa tangannya hingga terlepas, lalu beranjak dari restoran itu. Entah sejak kapan di luar sudah turun hujan dengan lebat. Tapi Abel tidak peduli. Abel harus pergi dari sini sekarang juga. Wanita itu menarik tudung hoodie nya ke kepala. Menerobos derasnya air hujan yang membentur jalan raya.
Abel berjalan terseok-seok di trotoar di bawah guyuran hujan. Bahkan Abel pun tidak tahu dia sedang berada di mana dan harus ke mana. Abel tidak tahu keberadaan stasiun kereta api dan juga halte Trans Jakarta. Abel terus berjalan hingga dia berhenti di sebuah bangku dengan atap besi dan seng.
"Abel, ayok naik. Aku anter pulang." Sebuah mobil berhenti di depan Abel. Kevin membuka jendela mobilnya.
"Aku enggak mau pulang sama kamu." Jawab Abel dengan sedikit berteriak. Suara hujan yang membentur atap seng tempat duduk mengeluarkan bunyi berisik.
"Kamu enggak bisa di sini terus-menerus. Di sini ujan."
Kata Kevin seiring turun dari dalam mobil dan duduk bersisian dengan Abel.
"Bisa aja. Aku udah biasa." Abel berbalik memunggungi Kevin.
"Bel.." Kevin menepuk pundak Abel. "Ujannya deres banget. Cepet pulang sama aku."
"Aku enggak mau pulang sama kamu. Aku mau pulang naik taksi."
"Astaga Bel, kenapa kamu jadi keras kepala kaya gini?"
"Aku emang keras kepala. Kamu aja yang enggak tahu." Abel menggeser posisi duduk menjauh dari Kevin.
"Aku tahu kamu, Bel. Aku kenal kamu, kaya aku kenal diri aku sendiri."
Akhirnya Abel berbalik ke arah Kevin. Menatapnya dengan geram. Dia ini sok tahu.
"Denger, kamu engga kenal aku, Vin." Abel mengangkat satu telunjuknya yang hampir menempel ke wajah Kevin dengan yakin. "Kalau kamu emang kenal aku kaya kamu kenal diri kamu sendiri, harusnya kamu tahu, di saat kita lagi makan malem, aku enggak mau diacuhkan. Aku enggak suka diabaikan cuma karena kamu mengangkat telepon mu yang enggak jelas. Aku enggak mau makan daging sapi asap dan aku enggak mau minum wine. Aku mau minuman warna-warni dengan irisan buah lemon di atas gelas kaya yang di minum bocah itu. Harusnya kamu tahu itu, Kevin!"
Abel menyemburkan kata-kata itu di depan wajah Kevin. Dan di saat bersamaan Abel langsung menutup mulutnya, dia sadar bahwa semuanya tidak boleh diucapkan.
Kevin terpana menatap Abel dan sesaat kemudian tertawa terbahak-bahak. Abel menundukan kepala merasa begitu sangat malu, sedangkan hujan semakin deras mengguyur atap seng.
Kevin bergerak maju ke arah Abel. "Oke, maafin aku. Tapi bisa enggak kita mulai dari awal? Aku janji enggak bakal mengabaikan kamu dan aku akan menanyakan apa yang kamu mau."
Sesaat kemudian sebuah taksi datang dari kejauhan. Abel dan Kevin sama-sama berdiri. Lalu satu tangan Abel melambai memberhentikan taksi. Begitu taksi berhenti Abel menghampirinya. Abel membuka pintu dan masuk ke dalam.
"Kamu yakin enggak mau pulang sama aku?" tanya Kevin yang melongokan kepalanya ke jendeka taksi.
"Enggak, aku naik taksi saja."
"Oke, tapi kamu belum jawab pertanyaan aku. Apa kamu mau ngulang kencan kita?"
"Iya."
Kevin tersenyum lebar. "Oke. Besok malam jam delapan."
"Ya, jam delapan."
Kencan malam ini gagal. Padahal Abel menginginkan malam yang menyenangkan. Tertawa bersama, melucu bersama. Mengenal satu sama lain lagi lebih dekat. Seperti dulu. Bukan malah bertengkar seperti ini.
***
Kevin menginjak pedal gas sekencang yang dia bisa. Membelah jalan raya yang di guyur hujan menuju sebuah rumah. Setelah mendapat telepon dari seseorang, hatinya sudah tidak tenang. Mulai berkecamuk dengan pikiran yang bercabang. Maka dari itu dia harus menemuinya sekarang juga.
Kevin memarkirkan mobilnya di depan pagar rumah ber cat putih dengan gragas. Lalu mendorong pagar besi itu dan berjalan tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah tanpa perlu mengetuk.
Seorang pria ke luar dari dalam kamar. Baru saja dia akan berbicara pada Kevin, tapi Kevin langsung masuk ke dalam kamar tersebut.
Dia langsung tertegun melihat seorang gadis yang terbaring di atas kasur. Wajahnya pucat, tubuhnya begitu kurus dan ringkih.
"Gimana Lily, Mas?"
"Tadi sempat kambuh, dia manggil-manggil kamu terus. Kami semua bingung. Kamu ke mana aja sih?"
Di tatapnya wajah pucat pasi itu. Rasa bersalah langsung menyambar dirinya. Harusnya Kevin ada di sisi Lily saat gadis itu membutuhkannya. Bukan pergi saat Lily kesakitan.
"Tadi ada janji sama temen, Mas."
Kevin meneguk ludahnya, lalu berdiri mengampiri laki-laki yang berdiri di belakangnya. Laki-laki itu menepuk pundak Kevin beberapa kali demi menenangkan Kevin. Laki-laki itu tahu bahwa Kevin bukan bermaksud menelantarkannya.
"Apa sebaiknya Lily pindah lagi ke Malaysia, bersama Tante Rinda dan juga Mbak Melisa?"
Kevin menggeleng cepat. Dia tidak ingin ambil risiko. Cukup kejadian satu minggu yang lalu menjadi kejadian terkahir bagi Lily. Dia tidak ingin membuat Lily lebih bersedih. Setidaknya itu yang dia janjikan pada Barata.
"Ibu dan juga tante Melisa enggak bisa terus deket sama Lily Mas." Ujar Kevin. Dia menarik napas dan memijat keningnnya. "Lily lebih aman ada di sini bersama keluarga Mas Tristan."
"Oke," jawab Tristan. Nama laki-laki itu. "Kamu nginep aja di sini. Mas takut Lily nyari-nyari kamu kalau dia nanti bangun."
Kevin mengangguk kecil menyetujui ide pria itu. Mungkin dia sebaiknya bermalam di sini menemani Lily.
"Mas Tristan," Kevin membersihkan hidungnya. Pria yang dipanggil Tristan itu menoleh.
"Ya?"
Kevin diam sejenak, sebelum akhirnya dia berkata. "Enggak apa-apa, Mas."