Chereads / Lost in past / Chapter 18 - Ide Gila

Chapter 18 - Ide Gila

"Bel," Jems memanggil Abel tepat di telinganya. Abel yang sedang menelengkupkan wajahnya ke meja kerja langsung beringsut dari tempat, mengibas-ngibaskan telinganya yang panas akibat dari bisikan Jems.

"Ngapain sih lo? Ngagetin gue aja." Abel misuh-misuh.

"Wah lagi bete lo, ya. Enggak biasa sewot kaya gini."

Abel mendelik ke arah Jems. Lalu mengembuskan napas, dan menopang kepalanya di ke dua tangan.

"Gue lagi galau Jems," curhat Abel. "Emm lo pernah enggak sih ngerasain ilang feeling sama pasangan lo?"

Mendengar curahan hati Abel, Jems langsung semangat. Dia menarik kursi kosong dan duduk di dekat wanita itu.

"Lo lagi berantem ya, sama Pak Tristan?" Tebak Jems. Abel hanya mengedikan bahunya. "Gue punya cara supaya lo sama Pak Tristan bisa kembali di mabuk asmara kaya pertama kali ketemu. Emm.. Semacam jatuh cinta kembali."

Abel menyipitkan matanya. "Teori darimana lagi tuh?" Tanya Abel curiga.

Jems mengusap hidungnya dengan jempol, lalu menyeriangai. "Mau tahu gimana caranya enggak?"

"Gimana?"

"Coba deh lo sama Pak Tristan bercumbu di kantor. Ruangannya Pak Tristan kan aman."

"Gila lo!" Sembur Abel. Menempeleng lengan Jems yang berotot. "Lo mau gue sama Tristan di gerebek?"

"Siapa juga yang mau ngegerebek lo sama Pak Tristan? Emang ada yang berani nyelonong masuk ruangan Pak Tristan selain lo?"

Abel mengusap dagunya. Benar juga kata Jems. Selama ini Tristan dikenal sebagai makhluk yang dingin, tidak banyak bicara dan disegani. Jadi, tidak akan mungkin ada yang berani masuk begitu saja ke ruangan Tristan selain Abel. Itu juga kadang Abel sering di cemberutin karena masuk tanpa mengetuk pintu. Tapi Abel kembali mengawasi Jems, apakah idenya itu bisa digunakan atau tidak.

"Enggak ah, masa di kantor sih Jems. Emang enggak ada tempat lain apa?"

"Dih semua karyawan yang ada affair di kantor, ngelakuin itu kok. Itu cara buat mengembalikan gairah cinta lo yang hilang sama pasangan."

"Masa sih Jems?"

"Coba aja. Pak Tristan mumpung lagi ada di ruangannya. Nih gue di suruh bawain berkas-berkas nasabah tahun lalu. Lo bisa bawain ini ke dia, sekalian... Sekalian lo beraksi."

Mendadak Abel merasakan gairah baru memenuhinya. Ini rencana brilian. Abel akan bercumbu dengan Tristan di kantor, dan itu akan menjadi hal paling menyenangkan yang pernah mereka rasakan, dan percik gairah itu akan kembali, dan mereka akan saling jatuh cinta lagi.

Abel memelesat ke koridor secepat mungkin. Tapi saat Abel berjalan penuh semangat, Niko memanggilnya dan memberi Abel sebuah dokumen padanya dengan angkuh. Jika Abel sedang tidak membutuhkannya dia akan langsung pergi dari sini.

"Kamu anter ini ke ruangan Pak Aiden. Dia harus menandatangani ini secepatnya."

"Emm, Pak Niko." Panggil Abel agu-ragu. Niko menatap Abel dengan tajam. "Promosiku

bagaimana?" Niko mengerutkan keningya.

"Sudah aku bilang berkali-kali kalau kamu mau jabatanmu naik, kamu harus membuat sesuatu yang baru, yang bisa membuat kantor terkesan dengan pekerjaanmu. Kamu enggak bisa naik jabatan tanpa melakukan apapun Arabella. Setidaknya kamu harus membuat sesuatu yang berguna untuk kantor ini. Bukan mengemis-ngemis seperti ini padaku."

Sial! Abel tidak minta di ceramahi. Setidaknya Abel berharap Niko membantunya menemukan bagaimana caranya melakukan apa yang Niko katakan.

"Ba-baiklah. Permisi."

"Hmm."

Abel berjalan kembali dengan lunglai. Tidak. Jangan ada yang merusak moodnya hari ini termasuk Niko. Begitu Abel sampai di depan ruangan Tristan, Abel terserang kegugupan. Abel membenarkan blusnya, menarik napas sambil menegakkan tubuh lalu membuka pintu ruangan Tristan tanpa mengetuknya. Tristan sedang duduk di mejanya dengan serius.

"Sayang." Panggil Abel dengan semringah.

"Bel? ada apa? aku sibuk banget pagi ini." Tanya Tristan langsung menutup laptop cepat-cepat.

"Aku cuma pengen ketemu sama kamu.  Bertemu..dengan..seluruh dirimu." Suara Abel sudah di atur se-menggoda mungkin. Abel menutup pintu dengan perlahan, kemudian mendekat pada Tristan dengan gaya yang menantang. "Kita udah enggak pernah lagi mesra-mesraan."

"Apa?" Tristan menatap Abel.

"Ayolah." Abel mendekat, mulai membuka kancing kemeja Tristan dengan menggoda. "Mari kita lakukan. Di sini. Sekarang." Tristan masih duduk di kursi kerjanya.

"Abel, kamu gila?!" Tristan menyingkirkan tangan Abel. Kemudian dengan terburu-buru

mengancingkan kembali kemejanya. "Bel kita sedang di kantor!"

"Emangnya kenapa? Kita masih muda. Dan kita..jatuh cinta." Tangan Abel mengelana lebih jauh. Mata Tristan terbelalak.

"Stop!" Desis Tristan. "Hentikan sekarang juga! Abel kamu lagi mabuk?"

"Aku enggak mabuk. Aku cuma pengen mesra-mesraan sama kamu."

"Tapi masalahnya, kita lagi di kantor, sayang." Tristan menurunkan kedua tangan Abem perlahan.

Timbul keheningan yang tajam. Abel menatap Tristan dalam diam

"Abel," ucap Tristan kemudian. "Ini bukan waktu maupun tempat yang tepat."

"Bisa aja! dengan seperti ini kita bisa mendapatkan kembali gairah asmara kita. Jems bilang.."

"Kamu membicarakan masalah pribadi kita sama Jems?" Tristan tampak terpana masih dengan posisi Abel di atas pangkuan Tristan.

"Aku enggak bilang 'kita'." Ujar Abel. Lalu mengingat-ngingat. "Aku sama Jems cuma bicara tentang pasangan pada umumnya. Dan Jems bilang mesra-mesraan di kantor boleh juga. Jadi, ayolah Tristan.."

Abel beringsut menarik tangan Tristan dan melingkarkan di pinggangnya, kemudian membabi buta mengecup bibir Tristan tak sabaran. Tristan tampak terkejut tetapi sesaat kemudian dia bisa mengimbangi Abel dengan membalas kecupan-kecupannya. Tangannya menarik pinggang Abel lebih dekat. Ciuman ini berubah menjadi ciuman panas yang menuntut.

"Aku denger bunyi langkah kaki!" Desis Tristan, dan langsung melepas kegiatannya.

Tristan memegang pinggang Abel untuk melepasnya tapi Abel tetap bertahan dengan memegang kedua pundak Tristan. Abel terdiam. Jelas ada langkah kaki yang sedang mendekat. Suaranya tepat dibalik pintu. Tapi beberapa lama kemudian bunyi itu menghilang.

"Aku enggak denger sayang." Abel berkilah. Abel mulai mendekat dan menempelkan bibirnya di pipi Tristan.

"Tap.."

"Sssstt." Abel memotong ucapan Tristan sambil menaruh telunjuknya di bibir Tristan. "Kalau kamu berisik semua orang yang ada di luar akan memergoki kita. Aku janji, ini bakal cepet."

Tristan tampak berpikir tapi Abel tidak bisa menunggu lama, dia langsung menciumnya kembali penuh gairah dan penuh semangat. Walaupun Abel sendiri takut akan semua orang di luar. Tapi ciuman ini lebih menguasai ketakutannya pada orang-orang. Tristan mulai membalas ciuman Abel. Saat Tristan menelusuri tangannya di tubuh Abel, wanita itu mendengar bunyi seseorang di luar sana.

Tepat saat tangan Tristan berada di atas dada Abel. Tiba-tiba saja pintu ruangan Tristan terbuka. Abel membeku seketika dan menolah ke arah pintu. Abel merasa pening saking syok-nya. Kevin berdiri diambang pintu, dengan mata yang terpana. Memandangi mereka, melihat ekspresi Tristan yang marah karena pintu ruangan tiba-tiba terbuka, tangannya dibalik blus Abel, dan wajah Abel yang kesal.

"Bisa aku jelaskan." Ucap Abel gugup.

"Pak Aiden ini tidak.." Ucap Tristan terbata-bata. "Aku.. kami.. akan menjelaskannya."

"Aku rasa seharusnya begitu," ujar Kevin. Ekspresinya hampa dan tak terbaca. "Mungkin

kalian bisa rapikan baju kalian." Kevin kemudian pergi. Pintu tertutup dibelakangnya. Abel dan Tristan berdiri tak bergerak seperti patung lilin.

"Bisa enggak kamu keluarin tangan kamu dari blusku?" Kata Abel luar biasa jengkel.

Seluruh gelora asmara itu sirna. Abel marah pada dirinya sendiri, pada Tristan, dan tentu saja Jems. Yang telah memberinya ide sesat.

Bagaimana bisa dia menghadapi Kevin nanti? sialan!