Abel tidak meyangka dan baru saja menyadari bahwa dia membiarkan dirinya di peluk Kevin, bahkan pria itu melarikan lidahnya pada lehernya seakan-akan pria itu punya hak melakukan itu di ruang arsip. RUANG ARSIP. Astaga tempat sempit dan pengap. Abel pasti sudah hilang akal.
"You're crazy, " teriak Abel sambil mendorong Kevin dengan kasar, dan mengambil beberapa langkah menjauhinya.
Kevin menyeringai, seolah sedang memenangkan kejuaraan.
"Kita sedang ada di ruang arsip, Vin," cerosos Abel lagi. "Gimana kalau ada orang lewat atau tiba-tiba masuk ke sini?"
Abel bergerak, memutar kembali tubuhnya dan mengulurkan tangannya ke atas rak mengambil berkas transaksi tahun 2019. Setelah dia mendapatkannya, dia melempar berkas tebal itu ke dada Kevin, yang langsung di tangkap oleh pria itu dengan sigap.
"Kamu mengumpulkan kami pagi-pagi begini, cuma mau nyuruh aku sama Tristan putus?"
Tangan Abel menyusuri setiap rak mencari keberadaan berkas tahun 2020. Meneliti setiap jengkalnya takut ada yang terlewatkan. Kemudian memaki dalam hati, berharap Niko menemui ajalnya secepat mungkin, agar dia tidak akan menjajah Abel lagi.
"Kamu keberatan sama peraturan yang ketiga?" tiba-tiba Kevin sudah berdiri di hadapan Abel, memblokir jalannya. Membuat dirinya menghadap pintu ruang arsip yang terdapat jendela kecil di pintu. Jendela kecil itu tembus pandang, jadi Abel bisa melihat keluar ruang arsip lewat jendela tersebut.
"Bos besar kaya kamu, kenapa mesti repot-repot sih ngurusin asmara karyawannya? Hah?"
"Kalau kamu enggak suka sama peraturannya, kamu tinggal putus aja," ucap Kevin dengan entengnya. "atau, aku bakal mutasikan kamu ke Lohkseumawe. Kebetulan kamu mau naik jabatan, kan? Nah, ini kesempatan kamu, Bel."
Kevin tergelak di tempat nyaris menitikan air mata. Sedangkan Abel memiringkan kepalanya, menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Kamu pikir lucu?" Tanya Abel dengan ekspresi wajah datar. "Aku enggak abis pikir kalau otak kamu sepicik ini Vin." Abel berdiri tegak, tanpa pikir panjang berjalan dari tempat, kembali memberikan berkas tahun 2020 kepada Kevin.
"Oh iya, satu lagi." Abel berbalik menghadap Kevin. "Kamu tahu kan aku mau tunangan sama Tristan, dan kamu juga udah bersama dia yang rumit, jadi kenapa sih kamu selalu bikin aku marah sama tingkah kamu yang--tidak terduga ini."
Kedua berkas yang tebal itu seperti enteng di kedua tangan Kevin, disampirkannya ke sisi tubuhnya, lalu satu tangannya yang bebas tenggelam ke dalam kantung celananya.
"Kamu enggak pernah bilang, kalau aku harus berhenti deketin kamu. Jadi, aku pikir kamu suka. Dan asal kamu tahu, aku berencana untuk menggantikan posisi Tristan, dan mengingatkan sekali lagi sama kamu, kalau aku enggak bersama 'dia' yang kamu pikirkan." Kevin menekan kata 'dia' di sana.
Abel tersentak. Dia menggeram di tempatnya dengan tatapan yang seolah akan membunuh Kevin. Pria itu sama sekali tidak menghiraukan wajah kesal Abel. Dia malah melenggang dari hadapan Abel, tapi seketika berbalik saat dirinya sudah mencapai pintu ruang arsip.
"Peraturan keempat buat kamu," ujar Kevin. "Jangan mau di suruh-suruh lagi sama Niko, kalau itu bukan tugas kamu." Kevin mengangkat kedua berkas itu oleh satu tangannya. Memberitahu Abel apa maksud dari perkataannya barusan.
Abel mendengus, sambil memutar bola mata. Menyuruhnya berhenti untuk menarik perhatian Abel? Apa Abel sesanggup itu untuk melakukannya.
***
Tahu-tahu jam makan siang sudah tiba. Tadinya Abel akan melewatkannya saja tapi Tristan sudah berdiri di hadapannya, mengajak dia keluar untuk makan bersama. Kalau di pikir-pikir ini adalah kesempatan langka. Tidak biasa sang kepala pemasaran punya waktu luang seperti ini. Jadi, Abel tidak akan melewatkan kesempatannya, yang mungkin saja akan berlaku satu kali dalam hidupnya.
Memang berlebihan, tapi memang itulah yang terjadi antara hubungan Abel dan Tristan. Si gila kerja dan si santai bekerja. Pasangan yang cocok memang.
Kali ini menu makan siang mereka soto banjar yang dijual di belakang gedung perkantoran. Tempat makan ini terletak di daerah rumah perkampungan, selalu ramai apalagi di jam makan siang kantor. Gedung-gedung bertingkat memang selalu bersinggungan dengan rumah-rumah warga yang berdempetan, terdapat gang-gang kecil dan sempit. Sungguh perpaduan yang begitu signifikan.
"Aku enggak pake sambel ya," pesan Abel pada Tristan yang sedang memesan di gerobak soto banjar.
Tidak lama kemudian Tristan membawa dua mangkung soto banjar ke hadapan Abel. Kalau soal makanan Abel dan Tristan tidak pernah rewel. Mereka bisa makan apa saja dan dimana saja, selama itu masih layak untuk di makan.
"Aku mau tanya sesuatu sama kamu." Ucap Tristan di suapan terakhir. Abel sedang menenggak es teh manisnya saat Tristan berbicara.
"Apa?"
Tristan mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Seketika wanita itu tersedak oleh minumannya saat melihat sebuah kartu ucapan yang tergelatak di atas meja. Dia hapal milik siapa kartu ucapan itu.
"Kevin, siapa?"
Abel tertegun nyaris menelan es batu yang ada di dalam minumannya. Bukannya dia sudah membuang kartu ucapan tersebut. Kenapa sekarang bisa ada di tangan Tristan.
"Itu," Abel menelan ludah, mengelap bibirnya yang basah oleh punggung tangan. "Emm..."
"Bel,"
Abel tersentak saat tangan Tristan menyentuh tangannya.
"Aku mau kamu jujur sama aku. Aku nggak akan marah. Kita akan tunangan, jadi aku nggak mau ada yang kamu sembunyiin dari aku." Abel hanya tidak tahu harus mulai dari mana. "Dia yang ngirim kamu rangkaian bunga mawar besar? Bener?"
Abel tetap membisu, lalu menundukan kepalanya. Dia hanya bingung apa yang mesti dia katakan pada Tristan. Sementara dia sudah berjanji pada Kevin bahwa dia akan merahasiakan identitas Kevin. Walau dia sendiri tidak yakin untuk apa dia melakukannya.
Tapi Abel juga tidak mau ada kesalahpahaman yang berkelanjutan pada hubungan dia dan Tristan. Setidaknya wanita itu harus meyakinkan seyakin-yakinnya bahwa hati dan cintanya bukan untuk Kevin lagi. Dia harus yakin bahwa Tristan adalah laki-laki terakhir yang dia pilih untuk menjadi tema hidup. Kevin hanya masa lalu, hanya sebuah kenangan indah yang harus dia simpan di tempat berbeda. Dan Tristan adalah masa depannya yang sudah seharusnya dia songsong dengan suka cita.
Tapi--kenapa rasanya Abel tidak begitu antusias. Dia merasa Kevin sudah mengacaukan recananya. Rencana pertunangannya, dan juga mengacaukan hatinya yang telah kembali utuh.
"Aku.. Aku nggak tahu harus mulai darimana," Abel menggigit bibir bawahnya. Menatap mangkuk soto banjar yang kosong. Sama seperti otaknya.
"Mulai aja dari, siapa itu Kevin?
Abel menarik napas dalam-dalam. Mencengkeram jemari Tristan, seperti sedang menyerap semua energi dari Tristan. Ya, dia mesti mengumpulkan keberanian terlebih dahulu, sebelum dia mengatakan segalanya.
"Sebelum kamu tahu siapa Kevin, aku harus menanyakan sesuatu sama kamu," ujar Abel pada akhirnya. "Kamu kenal sama cewek namanya Lily?"
Tidak disangka, pertanyaan Abel membuat Tristan tertegun. Pria itu sampai memundurkan tubuhnya. Dan melonggarkan genggaman tangan Abel.
Apa yang telah disangkakan Tristan sepertinya benar. Dugaannya tidak meleset. Abel kekasihnya, ada hubungannya dengan apa yang terjadi pada masa lalu. Dan Kevin yang dimaksud olehnya adalah Kevin yang sama dengan pria yang Abel kenal.
"Kita harus ke ruangan Pak Aiden." Kata Tristan tiba-tiba.
"Mau ngapain?"
"Buat mastiin, kalau kecurigaan aku itu benar."
Tristan sudah beranjak dari kursi sebelum Abel bisa berkata-kata. Wanita itu mendadak gamang.