Divisi operation kacau balau. Kursi-kursi dan meja-meja berantakan tak karuan, hasil dari perbuatan preman yang mengacak-ngacak kantor. Berkas-berkas dan map berisi aplikasi nasabah juga berserakan. Dengan jengkel Abel memunguti kertas-kertas di lantai, menyusunnya satu per satu.
"Sial, bikin nambah kerjaan gue aja sih." Dumel Abel. "Mereka mau apa sih Nis?"
"Katanya proposal 'minta dana' buat acara mereka ditolak sama Bu Gusti."
"Pasti acara enggak jelas deh."
"Emang!" Cetus Annisa. "Mintanya enggak tanggung-tanggung lagi. 10juta."
Abel menganga masih dengan membereskan kertas-kertas. Memilah dan mencocokan antara formulir dengan identitas nasabah. Kalau sampai berkas-berkas itu hilang bisa-bisa dia yang di amuk oleh bagian marketing.
"Terus bu Gusti ke mana?"
"Awalnya dia yang maju ngadepin preman-preman itu, terus tiba-tiba Pak Aiden datang, dikeroyok deh sama preman itu."
"Emang yang lain ke mana? Enggak ada yang nolongin?"
"Duh kejadiannya cepet banget Bel. Waktu si preman mau ngehajar Bu Gusti, Pak Aiden langsung nonjok si preman. Karena kalah banyak, jadi pak Aiden dikeroyok sampe bonyok mukanya. Liatnya juga enggak tega."
Abel berhasil merapikan berkas-berkas, memasukannya ke dalam map sesuai dengan data-data. Lalu kembali termenung memikirkan keadaan Kevin. Dia ingin sekali berlari ke rumah sakit untuk melihat Kevin, tapi apa urusannya. Apa kepentingannya dengan Kevin.
Urusan pekerjaannya jauh lebih penting daripada memikirkan keselamatan Kevin saat ini. Map-map yang bertumpuk di meja kerjanya sudah melambai minta cepat diselesaikan. Dia tidak bisa lagi mengambil jeda, kalau dia tak ingin kerjaannya semakin banyak. Ternyata hatinya tak menginginkan untuk menyelesaikan pekerjaan, pikirannya justru sudah tak berada di Hankook lagi.
"Bel, ikut saya ke rumah sakit."
Tangan Abel menggantung di atas keyboard saat bu Gusti datang ke mejanya. Tas besar milik bu Gusti di taruh di atas tumpukan map pekerjaan Abel.
"Ngapain bu?"
"Liat pak Aiden."
Pucuk di cinta ulam pun tiba. Abel berdiri seketika.
"Siap bu." Bu Gusti yang sedang mengenakan kaca mata menatap Abel heran. Reaksi yang berlebihan sampai-sampai dia menggebrak meja segala.
"Pak Anto cuti, saya enggak mau di setirin sama yang lain. Cuma kamu doang supir yang enak bawa mobil."
Pak Anto yang dimaksud Bu Gusti adalah supir perusahaan. Dan seingat Abel, posisinya di Hankook adalah sebagai account officer bukan supir seperti pak Anto. Tapi tidak apa-apa, terserah mau dijadikan apa yang penting dia bisa keluar kantor menuju rumah sakit.
***
Mereka sampai di rumah sakit. Bau etanol langsung menyeruak begitu Abel memasuki UGD yang tak begitu ramai. Bu Gusti bertanya pada resepsionis dan langsung menunjukan keberadaan Kevin. Abel mengekor di belakang bu Gusti dan perawat dengan jantung yang nyaris lompat keluar. Dia seperti anak remaja yang akan kencan pertama dengan kekasihnya.
Bu Gusti membuka gordain ruang rawat, sementara perawat pamit pergi. Kebahagiaan Abel sudah sampai di puncak, tapi dalam sekejap kebahagiaan itu luluh lantak tanpa sisa. Senyum yang mengembang di bibirnya saat itu sirna, seakan kembali tertelan.
Abel masih ingat betul beberapa jam lalu Kevin mengatakan kalau mereka belum putus, tapi apa yang di depan mata Abel saat ini tidak menggambarkan apa yang Kevin katakan. Wanita itu menggigit bibirnya. Kekhawatirannya tentang Kevin menguap begitu saja, saat ada seorang gadis sedang duduk di sisi ranjang Kevin, dengan tangan Kevin mengusap rambut gadis itu.
"Pak Aiden, bagaimana keadaan Bapak?"
Bu Gusti menginterupsi mereka. Kevin menolehkan pandangannya. Dia sempat tersentak saat melihat Abel berdiri di samping bu Gusti, tapi sesaat kemudian Kevin tersenyum. Tanpa menurunkan tangannya di kepala gadis itu. Catat! Tangannya masih mengelus kepala gadis itu.
"Tidak usah bangun dulu Pak, tidak apa-apa." Bu Gusti menahan Kevin saat pria itu mencoba bangkit. Gadis di sebelahnya duduk tegak sambil tersenyum pada bu Gusti dan Abel. Abel menatap gadis itu dan membalas senyumannya kikuk.
Saat ini Abel lebih penasaran dengan siapa gadis itu, dibanding dengan keadaan Kevin.
"Lumayan, Bu," Kevin menjawab. Jelas kalau wajahnya babak belur. Bibirnya bengkak. Pipinya lebam, kulit pelipisnya robek. "Tidak ada luka serius."
"Maafkan saya Pak, ini semua terjadi karena kesalahan saya. Saya menolak proposal mereka." Terang bu Gusti. "Tapi, tidak biasanya ada preman datang hanya karena penolakan proposal."
"Tidak apa-apa." Tukas Kevin. "Saya bertanggung jawab atas keselamatan karyawan saya."
"Ka, aku keluar sebentar ya." Gadis itu berbicara di tengah obrolan bu Gustu dan Kevin.
"Iya, kamu hati-hati. Kalau ada apa-apa, kamu langsung telepon Kakak. Jangan pulang sendiri, tunggu Pak Ridwan."
Abel menyipitkan mata mengawasi gerak-gerik gadis itu sampai dia keluar dari ruang rawat dan menghilang dari pandangan. Sekali lihat Abel tahu gadis itu bukan cuma gadis biasa. Dia pasti memiliki kedekatan khusus dengan Kevin. Kalau tidak, tidak mungkin Kevin seperhatian itu kepadanya.
Tak berselang lama ada yang membuka gordain, Tristan masuk dengan wajah yang cemas. Tristan sempat tersentak melihat Abel ada di sana. Tapi tidak bertanya apa-apa.
"Kenapa bisa begini Pak?" Tristan mendekat, memeriksa Kevin yang wajahnya memar-memar.
"Saya enggak apa-apa. Cuma luka-luka sedikit." Jawab Kevin, dengan mata sipit akibat bengkak.
"Maaf Pak, pada saat kejadian saya enggak ada di kantor, saya ke Cibubur untuk meninjau cabang baru di sana."
Kevin mengangguk maklum pada Tristan. Kemudian meringis memegangi pipinya.
"Permisi," seorang perawat datang. "Saya bisa bicara dengan wali pasien mengenai administrasi? Dan juga hasil rontgen."
"Saya walinya." Tristan berkata.
"Pak, saya selaku kepala Operation di sini, jadi saya juga ikut andil sebagai wali pak Aiden." Bu Gusti menimpali. Merasa sangat bersalah pada Kevin.
"Oke, ibu ikut saya. Bel, tolong di sini sebentar, jaga pak Aiden." Ucap Tristan. Abel mengangguk. Lalu memandang Kevin jengah. Entah kenapa merasa luar biasa jengkel.
Abel tidak bicara apapun. Dia hanya menyilangkan kedua tangannya di balik badan, stilleto nya membentur ubin berkali-kali, mengeluarkan bunyi mengganggu.
"Kamu enggak nanya gimana keadaan aku?" Tanya Kevin pada akhirnya.
"Enggak," jawab Abel. "Kayanya kamu sehat-sehat aja deh."
"Aku bonyok-bonyok Bel, nih liat." Kevin menunjuk wajahnya yang mengerikan. Abel mengakui itu tapi tidak mengatakannya. "Aku mau minum Bel, tolong dong ambilin. Tanganku kebas banget."
Abel berdecak, tapi tetap mengambil botil plastik air minelar di atas nakas. "Nih," Abel membantu Kevin meminumnya menggunakan sedotan.
Tapi tanpa adanya birokrasi, tubuh abel terhuyung ke depan, mendarat di atas dada Kevin yang bidang. Mata wanita itu membulat, lalu mencoba melepaskan diri dengan kedua tangannyan. Tapi sayang tenaga Kevin jauh lebih kuat.
"Vin, kamu apa-apan sih? Lepasin."
"Kalau aku enggak mau gimana?"
"Vin, please. Kamu mau tambah bonyok kalau Tristan liat?"
Bukannya melepaskan Abel, Kevin justru menekan tubuh wanita itu dengan tangan sehingga kini jarak wajah mereka hanya sejengkal. Tentu saja jantung Abel maraton sejak tadi.
"Let see? Dia bakal berani enggak nambahin bonyok di muka aku?" Ucap Kevin. Napasnya berembus menerpa wajah Abel, yang kini pipinya mengeluarkan semburat warna kemerahan yang norak.
Abel menahan napas, tangannya mencengkeram pundak Kevib kuat. "Vin, ayolah. Ini sama sekali enggak lucu."
"Dia Lily." Kata Kevin tiba-tiba. Abel tahu siapa yang di maksud Kevin. Tapi dia sama sekali tidak mempertanyakan itu.
"Aku enggak tanya apa-apa."
"Tapi raut wajahmu mempertanyakan itu. Kamu enggak usah cemburu. Asal kamu tahu, kalau aku enggak bisa sama kamu lagi, mungkin aku bisa jadi homo."
"Apa? Mana bisa begitu."
"Cintaku udah abis buat kamu Bel, sampe-sampe enggak ada sisa buat siapapun."
Abel melarikan matanya kemana-mana. Jelas dia sedang gugup sekarang. Kevin tersenyum menatap Abel, penuh damba dan kesakitan di saat yang bersamaan.
"Iya Pak, sebaiknya kita melapor pada pihak yang berwajib. Karena saya takut mereka kembali lagi ke kantor."
Tubuh Abel menegang saat mendengar suara bu Gusti. Derap langkah itu semakin mendekat. Kaki Abel yang menggantung di goyang-goyangkan, berharap bisa terlepas dari dekapan Kevin. Tapi pria itu seolah sengaja tak ingin melepaskan pelukannya.
Abel melotot, Kevin malah menyeringai, sedangkan suara Tristan dan Bu Gusti sudah semakin jelas. Jantung Abel bertalu cepat bagai drumb. Tangan sialan Kevin semakin kuat melingkar di tubuh Abel, tak ingin menyingkir. Abel harus segera bangun, jangan sampai Tristan melihat posisi tak senonoh ini. Tapi dia tak bisa. Kevin sengaja menguncinya.
"Jesus! Tolong aku."