Briefing pagi. Selalu menjadi hal yang sangat menyebalkan bagi Abel. Selama 5 tahun dia melakukannya, sampai detik ini pun Abel tidak mengerti apa faedah dari aktifitas tersebut. Kegiatan itu hanya mengurangi jatah waktu kerjanya saja, sedangkan dia diperintah untuk kerja cepat.
Pagi ini Bu Gusti mengevaluasi pekerjaan tim operation tentang pengaduan nasabah yang merasa tidak nyaman atas cara penagihan utang piutang kepada nasabah. Bu Gusti berdiri di tengah-tengah anak buahnya yang membentuk lingkaran. Memberondong tim operation dengan segala macam kata-kata mutiaranya
"Kita ini bukan jasa keuangan ilegal seperti pinjaman online. Kita bernaung di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Kita punya aturan. Oke teman-teman? Sampai sini paham ya?"
"Paham Bu!!" selosor semua tim serentak.
Sebelum membubarkan diri ke meja masing-masing, semua tim berkumpul membentuk lingkaran kecil. Berdempetan satu sama lain dengan sebelah tangan dikumpulkan di tengah-tengah, saling menumpuk.
"Hankook Finance!" teriak Bu Gusti.
"Profit profit profit!" timpal anak buah bu Gusti secara bersamaan. Kemudian mereka semua bubar barisan setelah melantangkan yel yel ala Bu Gusti.
Kenapa yel yel nya harus profit tentang perusahaan. Kenapa tidak dengan 'Sejahtera para karyawan'. Bukannya itu akan lebih menguntungkan. Jika karyawan senang dan bahagia, perusahaan juga pasti akan profit.
Belum juga mulai bekerja, Bu Gusti kembali berdiri memberikan pengumumam kepada semua timnya bahwa sekarang juga, tim operation dan tim marketing di tunggu di ruang rapat.
Abel menghela napas. Kerjaan yang harus dia selesaikan pagi ini sudah terlalu banyak. Waktunya sudah terpotong oleh briefing pagi 30 menit. Lalu akan terpotong lagi oleh rapat dadakan, entah berapa lama.
"Rapat mulu, ntar juga pada rapet lu semua." Celetuk Jems saat melewati Abel dan Annisa yang sedang bergandengan tangan menuju ruang rapat, membuat keduanya tergelak bersamaan.
***
Semua tim operation dan tim marketing sudah berkumpul di ruang rapat tanpa terkecuali. Kevin selaku pemimpin kantor pusat duduk di ujung meja, sedangkan semua tim duduk di sisi kanan dan kiri.
"Selamat pagi." Ucap Kevin penuh wibawa. Abel membasahi bibirnya, mendadak suasana ruangan rapat menjadi horor.
"Pagi Pak!"
Semua berteriak menjawab salam Kevin.
"Saya mohon maaf karena mengumpulkan kalian di sini secara mendadak," kata Kevin, yang di jawab anggukan oleh yang lainnya. "Ada beberapa hal yang harus saya sampaikan kepada kalian, berkaitan dengan prosedural perusahaan. Ada point-point penting yang harus saya ubah, dan maaf kalau ada yang tidak suka."
"Pertama," lanjut Kevin, seraya berdiri dari kursinya menuju white board. "Jam kerja." Kevin mengambil spidol hitam dan menuliskan sesuatu di papan. "Saya minta untuk tim marketing, walau kalian bekerja di lapangan, tapi saya minta kalian datang pagi jam 8 ke kantor, setelah itu baru kalian jalan. Dan jam 5 sore kembali ke kantor, untuk absen pulang. Setelah itu terserah kalian, mau berkunjung ke rumah konsumen atau bagaimana."
Semua tim marketing yang biasanya semena-mena datang ke kantor, saling berpandangan. Merasa aturan yang dibuat Kevin terlalu mengada-ngada, tapi tidak ada yang berani menyela.
"Kedua," lanjut Kevin. "Untuk tim operation, saya mau closing di jadwalkan satu minggu sekali. Kenapa?" pandangan Kevin menyapu seluruh ruang rapat, dan berakhir di Abel. Abel yang merasa dirinya sedang di perhatikan mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Karena banyak banget saya liat, konsumen yang sudah tidak ada kontrak, tidak kembali lagi. Tim marketing yang bagus, membawa konsumen baru, tapi operation yang luar biasa, akan membawa konsumen itu kembali pada perusahaan. Jadi, jangan pernah melepaskan apa yang sudah kita miliki. Usahakan itu kembali pada kita."
Kembali Kevin menaruh pandangannya pada Abel. Sedangkan reaksi wanita itu hanya memilin rambutnya kikuk. Di sebrang Abel, Tristan justru sedang memerhatikannya. Entah kenapa pria itu merasa ada yang tidak beres.
Kevin kembali duduk ke kursinya.
"Satu lagi, buat Niko." Kevin menunjuk Niko. Yang tadinya duduk santai kini langsung menegakan tubuhnya. "Saya minta arsip semua transaski dari tahun 2019 sampai sekarang. Harus ada di meja saya sebelum jam istirahat."
"Baik pak." Jawab Niko sigap.
"Oh iya saya lupa. Ada yang ke tiga." Kevin menyeringai. Dia menautkan jemarinya lalu menaruhnya di dagu. "Saya harap semua karyawan tidak ada affair di kantor ini."
Kalimat terakhir Kevin membuat seluruh karyawan yang ada di ruang rapat menganga tidak percaya. Semuanya berkasak kusuk tak terkecuali Abel. Wanita itu menatap Kevin dengan tajam, napasnya memburu. Bagaimana bisa dia membuat peraturan konyol seperti ini.
Kevin sudah mau tertawa saat bibir Abel bergerak, membentuk kalimat 'Fuck' tanpa suara. Di tempat Abel sudah menggeram, ingin menyudahi segala rapat dadakan yang sungguh tak bermanfaat. Perusahaan macam apa ini.
***
"Bel," panggil Niko saat rapat dibubarkan. "Kamu pergi ke ruang arsip, dan ambilkan semua transaksi dari tahun 2019." Bokongnya saja belum mencapai kursi, tapi lagi-lagi pekerjaannya terganggu.
"Loh, kok saya? Kan yang di suruh pak Niko." Celetuk Abel. Lama-lama wanita itu tak ingin diperlakukan semena-mena oleh Niko.
"Saya banyak kerjaan," jawab Niko. Abel hanya bisa berdecak. Emangnya yang kerja di sini cuma dia doang. "Cepet ya, saya tunggu." Niko nyelonong begitu saja, dengan meninggalkan sentuhan di pundak Abel. Tapi saat itu juga tangan Abel mengusap-ngusap pundknya beberapa kali, seperti ada kotoran yang hinggap di sana.
"Yee.. Udah nyuruh, enggak tahu diri." Tentu saja dumelan itu Abel ucapkan ketika Niko sudah hilang dari pandangan.
Langkah Abel terseret menuju ruang arsip. Dia tak bisa menolak apapun perintah dari Niko. Semua makian dan sumpah serapah untuk pria itu hanya tertelan di tenggorokanya. Abel melangkah menuju lorong kantor, mulai tak sabaran saat melihat sebuah ruangan di ujung lorong. Dia harus segera sampai di ruang arsip dan membawa berkas sialan itu ke Niko.
Begitu wanita itu memasuki ruang arsip yang sempit, dia langsung menuju rak bertuliskan tahun 2019. Aroma kertas lama dan debu menyatu, seolah menempel di hidung Abel. Telunjuknya mengusap hidungnya beberapa kali, kemudian keluar kotoran itu lewat bersinnya. Dia harus cepat. Tapi saat dia akan menggapai sebuah dokumen yang keberadaannya lumayan tinggi, kaki wanita itu berjinjit, dan sebelum mengulurkan tangannya ke atas rak yang penuh dengan berkas-berkas, dia di kejutkan dengan sebuah suara.
"Berkas mana yang mau kamu ambil?"
Abel yang tersentak kaget karena suaranya, langsung mengambil langkah mundur, alhasil punggungnya menabrak perut si pemilik suara itu. Kevin. Dan pria itu mengambil kesempatan ini untuk melingkarkan lengannya pada pinggang Abel.
Kevin mendengar Abel menarik napas sebelum tubuhnya menjadi kaku. Kevin tahu seharusnya dia melepaskannya, tapi justru dia mendapati dirinya menunduk untuk menciup samping kepala Abel. Aroma sampo langsung menyerangnya, membuatnya menarik napas dalam-dalam. Aroma itu...
Samar-samar Kevin mendengar Abel menyebut namanya, tapi dia tidak menghiraukan. Kevin justru mengeratkan pelukannya di pinggang Abel, menariknya mendekat agar lebih bisa menguburkan hidungnya di rambut Abel. Kevin mendengar Abel memekik, sebelum tubuh wanita itu lunglai di pelukannya.
Kevin mengambil kesempatan ini untuk memutar tubuh Abel, menarik rambut wanita itu ke samping, dan menguburkan hidungnya di kulit leher yang mengundang itu. Ketika dia merasakan tangan Abel naik ke pingggangnya, Kevin tidak bisa menahan diri lagi, dia mulai menaburi kulit leher Abel dengan kecupan-kecupan kecil. Dari cara tubuh Abel meleleh di pelukannya, Kevin tahu sejak dulu area sensitifnya tidak berubah.
"Vin, we need to stop," erang Abel sama sekali tidak meyakinkan.
Abel salah besar kalau dia bisa menghentikan Kevin hanya dengan kata-kata.
Abel menggeram dan berkata dengan sedikit terputus-putus. "Vin, stop. Kita... Kita harus bicara."
Kevin tersenyum karena kata-kata Abel jelas-jelas tidak sinkron dengan reaksi tubuhnya. Meskipun abel mangatakan tidak, tapi Abel tidak mencoba melepaskan pelukannya di pinggang Kevin, justru suhu tubuhnya sudah naik beberapa derajat.
"Nanti," bisik Kevin dan melanjutkan aktivitas lidahnya.
Kevin hanya ingin menenggelamkan dirinya di dalam Abel dan tak keluar-keluar lagi. Tapi Kevin tahu itu tidak mungkin. Dia sudah membawa Abel terlalu jauh, ketika Kevin merasakan tubuh wanita itu menjadi kaku di pelukannya dan Abel menggeram.
"Kevin, aku serius!"
Walau enggan, Kevin harus menghormati permintaan Abel dan perlahan-lahan melonggarkan pelukannya, seperti akan melepaskannya.
Ketika tubuh Abel mulai relaks, Kevin membisikan, "Oke, let me just do this."
Dan hanya dengan peringatan itu, yang bukan hanya sekadar peringatan kalau di pikir-pikir, Kevin mengecup dalam leher wanita itu. Ya, Kevin tahu dia tidak cool sama sekali. Tapi Kevin tidak bisa menahan dirinya untuk tidak melakukan itu. Dia sudah kehilangan akal sehatnya, dan tidak ada satu pun yang dapat mencegahnya.