Abel tidak akan merasa begitu malu jika kejadian kemarin bukan Kevin yang melihatnya. Mungkin Abel akan bersikap santai jika semuanya tidak ada sangkut pautnya dengan Kevin. Ayolah, mantan kekasihmu melihatmu saat tangan kekasihmu berada di dalam bramu.
Tapi sikap Kevin seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dia tetap tersenyum jika berpapasan dengan Abel. Bedanya Kevin tidak banyak bicara atau menyuruh Abel ini-itu. Abel lebih baik di pecat saja dari kantor daripada harus bertatap muka terus menerus dengan Kevin.
Sama halnya dengan Tristan, pria itu juga tidak banyak bicara dengan Kevin. Mereka seperti bermusuhan. Mungkin Kevin memang benar-benar tidak ingin mencampuri urusan pribadi Abel, atau justru dia jijik pada Abel karena mengumbar kemesraan di dalam kantor.
Lama-lama bisa gila kalau Abel terus-menerus memikirkan masalah ini. Hari ini pekerjaannya menumpuk ditambah promosinya sama sekali belum ada kemajuan. Niko benar-benar ingin dibunuh rupanya. Pria sombong itu memang tidak bisa melihat orang lain bahagia sedikit saja.
Satu notifikasi muncul di layar ponsel milik Abel. Sebuah direct message instagram dari akun dekorasi pertunangan. Akun itu mengirimi Abel daftar harga untuk penyewaan jasa dekorasi. Seketika Abel berdecak saat melihat daftar harga yang lumayan mahal. Tapi menurutnya sangat sepadan dengan dekorasi yang mereka buat.
Cecilia Hwang. Nama pemilik jasa dekorasi tersebut. Abel mengirim daftar harga ke whatsapp Tristan, dan langsung mendapat panggilan telepon dari kekasihnya.
"Giamana menurut kamu?" Tanya Abel begitu sambungan telepon diangkat oleh Tristan.
[Kalau kamu oke, aku juga oke. Tinggal jadwalin aja sama yang punya.]
"Tapi mahal loh. Sayang enggak sih uangnya cuma buat acara yang enggak sampe seharian?"
[It's okay Bel, ini kan acara sekali dalam seumur hidup. Jadi harus yang terbaik. Apapun yang kamu suka aku ikut. Soal biaya, kamu bilang aja sama aku, biar nanti aku transfer aja ke kamu.]
Abel menghela napas. Sebenarnya bukan hanya uang Tristan yang dia butuhkan. Dia ingin seperti pasangan pada umumnya. Memilih tema pertunangan bersama, diskusi apakah ini bagus atau tidak. Bukan hanya ikut-ikut saja tanpa memberi pendapat apapun.
"Ya, nanti aku kasih tahu kamu."
[Ya udah Bel, aku sibuk banget nih. Nanti aku telepon kamu lagi. Terus aku enggak bisa makan siang bareng kamu, aku mau ke Cibubur. Soalnya... ]
Panggilan telepon berakhir sepihak. Abel menutup panggilan itu, dia tak ingin mendengar lagi ocehan Tristan.
Abel berjalan lunglai menuju pantry, berniat untuk membuat kopi untuk dirinya. Siapa tau kafein bisa membuat kepalanya yang pengar jadi fresh kembali. Saat tangannya memutar gagang pintu pantry, dia dikejutkan oleh Kevin yang berdiri di sana nampak akan keluar. Seperti halnya Abel, Kevin juga terkejut melihat Abel yang persis di depannya.
Abel gelagapan, matanya berlarian ke mana-mana. Seolah tak sanggup menatap Kevin. Sementara Kevin memiringkan tubuhnya memberi ruang pada Abel agar wanita itu bisa masuk ke dalam pantry. Abel menganggukan kepalanya sedikit, lalu berjalan masuk. Lalu mencari kopi instan dalam lemari dapur, tapi tidak dia temukan keberadaan kopi instan tersebut. Ya, dia tidak benar-benar mencari. Dia hanya gugup.
"Kamu nyari ini?" Tiba-tiba Kevin mengacungkan satu sachet kopi instan ke depan wajah Abel. Abel tersentak lalu mengambil kopi itu di tangan Kevin. Buru-buru dia membuka kemasannya tanpa gunting, grasak grusuk mengambil gelas di rak, menuangkan kopi tersebut ke dalam gelas, dan mencairkannya dengan air panas. Tapi--
"Aaaww." Abel menumpahkan air panas ke tangannya. Gelas kopi yang di pegangnya jatuh dan pecah.
Tepat saat Abel mengambil pecahan kaca tersebut tangannya ikut tergores sampai mengeluarkan darah.
"Aawwhh." Lagi-lagi Abel menjerit.
Sebuah tangan yang besar menarik Abel, membawa tangannya yang berdarah akibat pecahan gelas, dan lengannya yang memerah karena air panas. Hari ini memang tidak ada yang bisa dilakukan Abel dengan benar. Semuanya kacau.
Kevin menarik tangan Abel ke wastafel, membersihkan jari wanita itu yang berdarah. Lalu membalutnya dengan plester luka yang Kevin ambil di kotak P3K. Dan mengoleskan lengan Abel yang merah oleh salep luka bakar.
"Semuanya berubah, tapi kecerobohan kamu enggak." Kevin bersuara setelah beberapa saat. Abel menarik tangannya yang masih Kevin genggam. Rasa canggung tiba-tiba menjalar dalam dirinya.
Abel hanya diam tak menjawab perkataan Kevin. Pria itu berjalan mengambil kopi instan dan membuatkannya untuk Abel. Setelah itu dia membereskan pecahan gelas tadi tanpa minta bantuan pada cleaning service.
"Nih," Kevin menyodorkan gelas berisi kopi ke atas meja. Abel mengikuti Kevin duduk di depannya.
"Makasih." Ucap Abel singkat. "Aku.. Minta maaf soal.. Kemarin.. Di ruangan Tristan." Abel memejamkan matanya. Seketika menyesal, dari sekian banyak topik pembicaraan kenapa masalah itu yang dia bicarakan.
"Kenapa minta maaf padaku?"
"Emm, aku pikir kamu berhak ngasih aku sama Tristan teguran."
"Dibanding aku marah dan ngasih kalian teguran sebagai pimpinan kalian, aku lebih marah karena cemburu sebagai pacar kamu."
Abel mendelik ke arah Kevin. Pacar?
"Pacar? Vin, kita kan--"
"Aku baru inget kalau semenjak aku pergi, baik kamu ataupun aku, enggak ada yang bilang putus. Jadi, Abel," Kevin menarik kursi mendekat pada sisi tubuh Abel. Menyisir rambut wanita itu oleh jemari Kevin, membuat seluruh bulu tangannya berdiri tegak. "Kita belum putus, aku masih pacar kamu, dan kamu masih pacar aku. Paham?" Kevin mengatakan itu semua tepat di telinga Abel, dan mengakhirinya dengan mengecup pipi Abel.
Jantungnya semakin tidak karuan saja berdetaknya. Mungkin dia sudah lompat-lompat di dalam rongga dada Abel. Sementara tubuhnya kaku seperti batu. Saat Kevin berdiri dan tersenyum penuh misterius pada Abel, dia tidak bisa menggerakan tubuhnya selain matanya. Sampai Kevin pergi dan menghilang di balik pintu pantry, baru Abel bisa bernapas seperti orang yang diselamatkan dari tenggelam di air.
"Apa? Pacar? Waahh dia udah gila. Enggak waras. Gimana mungkin aku masih jadi pacarnya."
Abel mengusap wajahnya kasar, lalu mengikat rambutnya ke belakang entah kenapa ruangan pantry menjadi lebih panas.
Tiba-tiba pintu pantry terbuka. Annisa berdiri di sana dengan napas yang terengah-engah.
"Gawat Bel, gawat." Annisa berbicara dengan napas yang tersengal-sengal. Wanita berkerudung hijau lumut itu memegang dadanya. Berusaha mengatur napas.
"Gawat apanya?"
"Ada preman dateng ngacak-ngacak kantor." Jelas Annisa. "Terus, terus--"
"Terus kenapa?" Abel berdiri di tempat. "Nis, kenapa sih? Premannya minta duit? Kamu di keroyok?" Annisa hanya menggeleng.
Annisa berusaha berdiri dengan benar. Menegakkan tubuhnya ssbelum akhirnya berkata. "Bukan aku yang di keroyok, tapi Pak Aiden. Duh kasian aku ngeliatnya. Babak belur banget dia."
"Apa?" Lolong Abel.
Abel langsung berlari keluar dari pantry. Tapi Annisa menahan lengan Abel.
"Dia udah dibawa ke ugd rumah sakit sama anak-anak."
Abel tertegun. UGD? Rumah sakit?
"Duh, jangan sampe deh tuh orang amnesia lagi."
Abel menepuk keningnya. Lalu berjalan bersama Annisa pergi dari pantry.