Oke, jangan gugup santai saja. Semuanya akan baik-baik saja. Abel terus melapalkan mantra itu dalam hati.
Abel tidak pernah menyangka kalau perpindahan Tristan dari kantor cabang ke kantor pusat akan secepat ini. Tidak ada persiapan sama sekali bagi wanita yang sekarang rambutnya diikat ke belakang, saat pagi tadi Tristan tiba-tiba muncul di depan rumahnya. Menjemput wanita itu untuk pergi ke kantor bersama. Dia nyaris saja mematahkan sepatu hak tingginya.
Kenapa akhir-akhir ini hidupnya selalu dipenuhi dengan kejutan.
"Kamu kenapa? Kok pucet? Belum sarapan?"
Abel terkesiap begitu masuk ke dalam mobil.
"Enggak apa-apa."
"Kalau mau sarapan dulu, di kantin kantor aja. Tapi kayanya aku enggak bisa nemenin. Jam 9 ada meeting sama Pak Aiden."
Jantung Abel jatuh ke perut saat mendengar nama Aiden di sebut. Perutnya mendadak terserang mules.
"Kamu kenal sama Pak Aiden?"
"Bel, please deh. Masa aku enggak kenal sama pimpinan baru kita." Tristan memutar bola mata. Lalu menekan kopling, memutar perseneling kemudian menancap gas siap melaju menuju kantor, yang membuat Abel saat ini panas dingin.
Tristan telah memarkirkan mobilnya tapi Abel masih belum juga keluar.
"Bel, udah sampe." Untuk menyadarkan wanita itu, Tristan menyentuh tangan Abel. Abel tersentak di tempat. Melihat gedung yang menjulang tinggi membuat tubuhnya semakin lemas. "Kamu kenapa sih, sayang?" Tristan mulai berpikir ada yang tidak beres dengan kekasihnya.
"Aku baik-baik aja kok. Cuma sakit perut." Jawab Abel sambil memamerkan deretan giginya.
Rasanya Abel sudah tidak sanggup menapaki kakinya di kantor Hankook saat Tristan membukakan pintu mobil untuknya. Apa yang akan terjadi jika Tristan bertemu Kevin. Apa yang akan dia lakukan di dalam sana.
Abel terus memikirkan bagaimana caranya menghindari Kevin. Setidaknya tidak terjadi interaksi antara dia dan Kevin di depan Tristan, atau sebaliknya. Pikirannya sudah melanglang buana sampai dia tidak sadar bahwa sekarang dia sudah ada di lantai kantornya berada.
Beberapa karyawan menyapa Tristan, menyambut kedatangannya kembali ke kantor pusat. Sementara Abel merasa kakinya sudah tidak menapak di lantai kantornya.
Matanya membulat sempurna, jantungnya berdebar-debar, seperti sedang tersengat listrik. Dia gelagapan saat melihat Kevin berjalan dari kejauhan bak model yang sedang berjalan di cat walk. Abel mencari-cari tempat persembunyian. Tapi dia tidak menemukan tempat yang cocok untuk bersembunyi. Tidak mungkin dia sembunyi di belakang pot besar itu.
"Bel, kamu kenapa sih? Aneh banget."
"Hah?" Keringatnya mulai bercucuran saat Kevin semakin dekat. Dan apa-apan itu, Kevin berjalan mendekat sambil tersenyum lebar padanya.
Abel harus cepat pergi sebelum Kevin sampai di sini.
"Bel." Tristan menyentuh Abel yang sejak tadi bergerak gelisah. "Kamu bisa tenang enggak? Kamu kenap--"
Tristan belum menyelesaikam kalimatnya, tapi Abel sudah lebih dulu kabur melesat jauh, memasuki pintu kaca. Ngibrit seperti baru saja melihat hantu.
"Kenapa dia?" Tanya Kevin begitu dia sampai di depan Tristan.
"Sawan kali." Jawab Tristan asal sambil tertawa kecil. Kevin juga ikut tertawa mendengar jawaban Tristan.
"Maaf mas,"
"Jangan panggil aku 'mas' di kantor."
Tristan berbisik di telinga Kevin. Dan Kevin mengangguk paham.
"Jadi meetingnya sudah siap, Pak?" Tanya Tristan formal, Kevin mengangguk canggung dengan perubahan Tristan yang begitu kilat.
"Sudah Pak."
Mereka berjalan bersisian sambil mengobrol masalah kantor yang sepertinya akan provit tahun ini. Kevin melayangkan pujian pada Tristan yang mampu menyelesaikan kekacauan di kantor cabang secepat yang perusahaan perkirakan.
***
Dengan membawa berbagai macam dokumen, Abel berjalan gemetar menuju ruang rapat. Dia mengutuk Arsenio karena sudah memberi tugas padanya untuk ikut meeting bersama mereka. Padahal ada atau tidak adanya Abel di rapat pagi ini tidak akan berpengaruh apapun. Arsenio bilang, Abel harus membuat notulen tentang rapat pagi ini. Jadi tugasnya hanya mendengarkan saja.
Dari kejauhan Abel melihat Annisa sedang berjalan ke arah Abel. Abel berpikir bahwa Annisa bisa membantunya meloloskan diri dari Kevin dan Tristan untuk sementara waktu. Dengan kebahagiaan yang penuh Abel berjalan lebih cepat ke arah Annisa.
"Nis!" Panggil Abel berusaha tetap tenang.
Annisa menghentikan langkahnya. "Ya?"
"Aku bisa minta tolong sama kamu enggak?" Abel berharap bahwa Annisa akan menjawab ya.
"Apa?"
"Kemaren Mamaku bikin seblak yang pedes banget. Terus kamu tahu juga kan kalau akhir-akhir ini perutku lagi bermasalah. Jadi sekarang perutku sakit banget." Kening Annisa berkerut bingung. "Jadi, bisa enggak kamu gantiin aku di rapat pagi ini buat bikin notulen." Baru Annisa membuka mulut, Abel sudah lebih dulu menyambar. "Kamu cuma perlu duduk diem dengerin rapat, abis itu bikin notulennya. Gitu doang kok. Tenang aja inputan kamu, aku yang kerjain."
"Mana bisa gitu sih Bel, aneh aja kamu."
"Bisa aja Nis, asal kamu mau. Paling cuma sampe jam 11. Ya, Nis?"
Ucap Abel dengan nada memohon dan sedikit meringis agar Annisa percaya bahwa perut Abel memang benar-benar bermasalah. Annisa mengembuskan napas dengan malas, kemudian mengambil dokumen di tangan Abel tanpa berucap apapun. Tapi Abel menyimpulkan bahwa dia mau membantunya. Setidaknya untuk hari ini saja Abel tidak bertemu dengan Kevin dan Tristan secara bersamaan.
"Emm makasih Nis." Ucap Abel riang. "Nanti aku traktir makan deh." Bisik Abel pada Annisa. Kemudian Annisa mendelik ke arah Abel dan tersenyum lebar.
"Dengan senang hati aku bakal bantuin kamu Bel." Kata Annisa berubah drastis.
Begitu Annisa pergi menuju ruang rapat, Abel segera melarikan diri. Abel harus menyembunyikan diri di tempat yang tidak diketahui orang. Paling tidak Kevin ataupun Tristan tidak bisa menemukannya.
Tadinya Abel berpikir bahwa dia akan mengurung diri saja seharian sampai jam kantor selesai di toilet, tapi setelah Abel pergi kesana kurasa toilet bukan tempat yang baik. Kalau di kantin, bisa-bisa Abel kena teguran dari Niko si bujang lapuk sok penguasa itu. Dia pasti akan langsung memberinya surat peringatan. Atau lebih buruk lagi, sampai mati pun dia tidak akan pernah mempromosikan Abel.
Ya Tuhan adakah tempat rahasia di kantor ini yang tidak diketahui orang?
Abel menekan nomor 4 saat Abel sudah berada di dalam lift. Sasaran berikutnya adalah ruangan Karina. Jika dia bertanya, Abel akan menjawab bahwa Abel tidak ada pekerjaan. Atau Abel akan bilang bahwa Abel sedang bosan di sana.
Ah begini saja, wanita itu punya ide. Dia akan berpura-pura meminta saran padanya soal promosi. Lebih baik itu saja. Selain Abel akan dapat pencerahaan dia juga tidak akan bertemu Kevin dan Tristan secara bersamaan.
Tiba-tiba suara lift berdenting dan berhenti di lantai 3. Abel melihat ke sekeliling. Ada empat orang pria yang berdiri di depan Abel. Kemudian satu orang pria berjalan maju seperti akan keluar. Pintu lift terbuka, pria itu semakin maju, Abel menggeser tubuhnya ke kiri sambil melihat kearahnya.
Dan begitu pria itu melangkahkan kakinya keluar lift, matanya mengikuti pria tersebut. Dan disanalah Kevin dan juga Tristan sedang berdiri di luar lift sambil berbincang-bincang.
Ya Tuhan tidak. Jangan. Jangan sekarang. Abel memohon. Matanya terbelalak lebar saat Kevin dan Tristan bergerak maju akan memasuki lift ini.
Siapapun tolong aku. Bawa aku menghilang dari sini kemana saja.
Abel berharap doanya akan terkabul.