Abel harus melakukan sesuatu agar Tristan tidak melihatnya. Dengan panik, Abel merampas buku menu yang ada di atas meja. Kemudian membentangkannya di depan wajah.
"Bel, are you okay?" Tanya Kevin. Pria itu menurunkan buku menu yang menutupi wajah Abel. Tapi Abel dengan cekatan menaikan kembali ke wajah.
"Ya, i'm okay Vin." Tapi suaranya tidak terdengar baik-baik saja.
Abel beranjak dari kursi berniat untuk pergi dari sini. Urusan Kevin nanti saja dia urus setelah ini, yang penting sekarang dia harus melarikan diri sebelum Tristan sampai. Dan memergokinya ada di sini bersama Kevin. Tapi--
"Aaaww!"
Abel menabrak pelayan yang sedang membawa nampan berisi makanan dan minuman diatasnya.
"Aduh gimana sih? Enggak punya mata ya?!" bentak Abel pada si pelayan. Pelayan tersebut hanya bisa bengong. Padahal jelas-jelas Abel yang tidak melihat sekitar.
Nampan, piring dan gelasnya jatuh kebawah sementara isinya tumpah ke baju Abel sepenuhnya. Pelayan itu langsung pucat pasi dan membersihkan noda bekas makanan dan minuman di baju Abel menggunakan serbet.
"Maafkan saya Mbak. Saya enggak sengaja."
"Aduuh. Jadi kotor semua kan?"
"Kamu enggak apa-apa?"
Kevin beranjak dari duduknya dan menghampiri Abel yang sedang panik membersihkan noda di bajunya. Sedangkan pelayan itu masih sibuk dengan serbetnya dan terlihat tak karuan.
Semua pelayan yang ada di restoran ini seketika mengumpul pada mereka. Ada yang membantu membersihkan pecahan piring dan gelas yang berserakan di lantai dan ada yang sibuk meminta maaf penyesalan pada Abel. Sementara Abel, dia harus keluar dari kerumunan ini sekarang juga. Tapi sial, tidak ada jalan. Semua pelayan menghalngi langkahnya.
"Bel, Kamu enggak apa-apa?"
"Mbak maafkan kami. Kami akan mengganti kerugian Mbak." Satu pelayan lagi datang untuk menenangkan.
"Iya Mbak, maafkan kelalaian saya."
Semuanya justru membuat Abel semakin tidak karuan. Abel tidak ingin uang ganti rugi. Dia hanya ingin pergi dari sini. Abel hanya ingin menghilang dari tempat ini. Abel hanya ingin-
"Sayang kamu kenapa?"
Waktu seakan berhenti seketika saat sosok Tristan berdiri diantara kerumunan dan memanggil Abel dengan sebutan 'Sayang'. Abel berharap bisa langsung lari dari sini dan semua orang mengira bahwa yang dipanggil sayang oleh Tristan bukan dia.
Tapi tidak bisa. Tristan sudah menghampiri Abel dan memeriksa tubuhnya. Oh tidak. Ya Tuhan. Abel menelan ludah susah payah. Sedangkan pelayan brengsek ini masih membersihkan noda di baju Abel.
"Sudah enggak apa-apa. Mbak ini pacar saya. Kalian enggak perlu bayar ganti rugi." Ucap Tristan pada para pelayan dengan sopan.
"Baik Mas."
Kemudian semua pelayan yang mengerubungi Abel langsung bubar dari tempat menyisakan Abel, Tristan dan juga Kevin. Ya Kevin. Pria itu sudah berdiri terpaku di tempat sambil menatap Abel penuh tanya.
Abel memejamkam mata. Sudah tidak ada kesempatan lagi baginya untuk melarikan diri. Rasanya dia mau pingsan saja.
"Sayang, kamu enggak apa-apa?" Abel menatap Tristan yang masih bertanya-tanya.
"Aku ke toliet dulu."
***
Abel sangat berharap Tuhan menghapus segala kejadian tadi. Dan saat Abel kembali tidak ada sosok Tristan disana. Dan Abel bisa pergi dengan tenang. Tapi rasanya tidak mungkin.
Semuanya sudah terjadi diluar kekuasaannya. Tristan memanggilnya dengan sebutan 'Sayang' dan Tristan mengatakan bahwa Abel adalah pacarnya. Jadi apalagi yang kurang jelas dari kejadian tadi. Kevin sudah tahu semuanya. Dia sudah mengerti.
"Abel."
Ada yang mencekal tangan Abel saat wanita itu keluar dari toilet. Abel berbalik. Dan dia mendapati Kevin sedang menatapnya dengan tajam.
"Bisa kamu jelaskan sama aku?"
"Apa?" Tanya Abel lirih.
"Pacar kamu, Pak Tristan? benar?"
Abel menundukan kepala. Apalagi yang harus dia tutupi sekarang, toh Kevin juga sudah tahu. Lagipula apa alasannya untuk tidak berkata jujur pada Kevin.
"Bener. Dia emang pacarku."
"Kok bisa?" Tanya Kevin mulai terlihat tidak tenang.
"Bisa saja." Ucap Abel. Entah dapat keberanian dari mana.
"Tapi kamu enggak pernah bilang apa-apa sama aku soal ini."
"Kamu sendiri yang enggak pernah nanya."
Kevin menarik napas kemudian mondar mandir seperti orang bingung. Dia memijat keningnya kemudian berhenti menatap Abel, lalu bergerak lagi kesana-kemari.
"Vin." Panggil Abel menghentikan gerak-geriknya.
"Enggak mungkin Pak Tristan itu pacar kamu."
"Mungkin aja. Tristan emang pacar aku. Dan sebentar lagi kita akan tunangan."
Abel berkata dengan setenang mungkin.
"Vin, Kita berpisah selama 10 tahun. Kita enggak pernah ketemu. Kita udah punya hidup masing-masing. Sekarang inilah hidupku bersama dengan Tristan, tunanganku."
Kevin terpaku menatap Abel. Ada kilatan kesedihan dan kekecewaan di matanya dan entah kenapa Abel mencemaskan hal itu. Tapi tidak ada jalan lain. Kevin memang harus tahu semuanya. Abel tidak bisa lagi bersembunyi pada kenyataan ini. Kenyataan bahwa Abel memang bukan milik Kevin lagi melainkan milik Tristan.
"Maafin aku. Sebaiknya kita kembali ke meja."
Abel tidak ingin lagi lebih lama menatap mata Kevin. Tatapan yang begitu tidak ingin Abel lihat.
"Abel." Panggil Kevin.
Abel berhenti dan menarik napas menahan tangis yang mendesak keluar.
"Aku enggak percaya. Aku kenal kamu dengan sangat baik. Aku kira kamu bakal nunggu aku, tapi ternyata setelah aku kembali untukmu, kamu udah bersama orang lain. Abel yang aku kenal enggak mungkin mengkhianatiku."
Abel berbalik menghadap Kevin dengan penuh keberanian.
"Denger Vin. Kamu enggak tahu apa-apa soal aku selama 10 tahun ini. Keadaan bisa aja berubah. Dan aku bukan Abel yang kamu kenal dulu. Bukan Abel yang mau kencan di restoran mewah, bukan Abel yang suka makan daging sapi asap. Dan aku bukan lagi Abel milikmu, tapi aku Abel milik Tristan. Tunanganku." Abel mempertegas kata 'tunangan' disana.
Abel kembali bicara ketika Kevin membuka mulut. "Aku nunggu kamu selama bertahun-tahun tanpa kepastian apa-apa dari kamu. Kamu pikir selama aku nunggu kamu, hidup aku baik-baik aja? Kamu pikir aku akan sekuat itu nunggu kamu sampai akhir? Aku tahu kamu pergi bukan tanpa alasan, tapi liat kamu sekarang, dengan kondisi kamu yang kaya gini, apa sulit buat kamu untuk ngasih aku kabar? Ngasih aku sesuatu." Perkataan Abel terhenti karena tenggorokannya tercekat. "Sesuatu semacam yang bisa bikin aku tahu, apa aku harus nunggu kamu atau enggak." Abel menarik napas, memberi kekuatan pada dirinya sendiri.
"Maaf, karena aku udah ngambil keputusan sendiri untuk enggak nunggu kamu sampai akhir. Aku emang wanita yang enggak baik dan enggak setia. Tapi asal kamu tahu aku juga ingin bahagia Kevin."
Air mata yang sejak tadi mengembang akhirnya jatuh juga. Abel menyecap rasa ludah yang berubah pahit. Sementara Kevin menatap Abel penuh keterpanaan. Selama ini dirinya pun sudah menderita karena rasa rindu yang seolah menyayat-nyayat hatinya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dan itu hal yang paling menyakitkan bagi Kevin. Rindu setengah mati, tapi hanya bisa diam tak bisa berbuat apa-apa.