Selatan Jakarta,
Agustus 2020
Abel seorang pluviopile. Dia memang suka melodi hujan. Tapi tidak dengan suara petir. Abel harap dia bisu. Petir itu sombong, mentang-mentang paling bercahaya bisa marah-marah sesukanya, tapi malam ini Abwl harus bernasib sama dengan petir. Ingin marah, meledak, tetapi dia tidak bisa sebebas petir.
Abel menghela napas panjang untuk kesekian kalinya. Pria disampingnya ini membuat Abel tidak bisa marah lagi. Entahlah, dia sudah bosan untuk mengungkapkan segala apa yang dia rasakan tapi pria itu sama sekali tidak ada perubahan.
Abel tahu dia seorang pekerja yang super sibuk. Tapi apa kesibukannya itu masih pantas dijadikan alasan untuk tidak bisa menemaninya mempersiapkan hari pertunangan mereka. Awalnya Abel memaklumi dan menerima tapi semakin hari kenapa Ab merasa dia hanya mencari-cari alasan.
Bukankah jika dia mengatakan 'Aku akan luangkan waktuku untukmu' itu lebih baik daripada 'Maaf hari ini aku sedang sibuk, jadi lain kali saja'.
Dia tidak tahu bahwa Abel sudah mulai bosan mengeluarkan air mata hanya untuk menangisi hal seperti ini. Terakhir, pria itu bilang bahwa dia rindu pada Abel. Percaya atau tidak pengakuannya itu sungguh membuat hati Abel bahagia. Cukup membuat dirinya tersenyum seharian nyaris dikira orang gila. Tapi saat bertemu pengakuan rindunya tidak seperti apa yang Abel bayangkan.
Pria itu masih diam, tidak menatap Abel saat sedang berbicara. Sampai pada akhirnya Abel harus membuang jauh angan-angannya tentang rindunya itu.
Abel menepis tangan pria itu yang ia gunakan untuk menggenggam tangan Abel, menahan Abel agar Abel tidak pergi meninggalkannya. Tapi terlambat Abel sudah muak dengannya. Sampai kapan pria itu akan bertahan seperti ini. Jika ingin diakhiri kenapa tidak katakan saja.
"Bel, tunggu." Dia berhasil meraih tangan Abel kembali membuat Abel harus menghentikan langkahnya. "Aku minta maaf. Kamu ngertiin keadaanku. Aku bukannya enggak peduli sama pertunangan kita, hanya saja pekerjaanku di kantor cabang sedang menumpuk."
"Aku ngerti. Aku enggak apa-apa kalau kamu mau membatalkan pertunangan ini." Tutur Abel masih terlihat tenang walaupun jauh di dalam sana dirinya beringsut marah.
"Sayang, kamu bicara sih?!" Katanya setengah berteriak. "Jangan ngomong yang engga-enggak dong. Aku enggak akan batalin pertunangan kita. Pertunangan kita akan berjalan sesuai dengan apa yang kita rencanakan."
"Rencana kita yang mana?" Abel menyemburkan tawa meremehkan. "Kita enggak pernah membicarakan rencana pertunangan kita bersama. Aku yang merencanakan pertunangan ini." Abel tekankan ujung telunjuknya berkali-kali dengan kuat di atas dada. Menahan segala kesakitan dan lelah di dalam sana. "Jadi ini rencanaku, bukan rencana kita. Dan kamu hanya mengurusi kesibukanmu saja. Aku lelah Tristan."
Benar. Abel memang sudah lelah. Dadanya sudah terlalu sesak bila membahas soal pertunangan. Abel hanya ingin Tristan meluangkan waktunya walau hanya satu jam saja. Ini bukan untuk kepentingannya saja tapi juga untuk kepentingan Tristan.
"Abel, sayang, maafin aku. Aku tahu aku terlalu sibuk. Tapi aku janji aku akan meluangkan waktuku untukmu." Ini terdengar lebih baik. Tapi sudah terlambat. Abel sudah lelah.
"Kalau gitu, aku minta 24 jam waktumu mulai besok."
Tristan tercengang. Abel tahu ini mustahil walau besok hari libur.
"Kenapa? Terlalu banyak? 12 jam?"
Tristan menggosok kening dengan punggung tangan.
"Bagaimana setelah jam makan siang? Aku akan menemanimu seharian." Tawarnya seakan mereka sedang berada di dalam pasar swalayan.
"Bukan seharian namanya jika setelah jam makan siang. Sudahlah lupakan. Aku hanya bercanda. Aku meminta waktumu satu menit saja itu sangat sulit, kan? Jadi ya sudah, lebih baik kamu urusi aja kesibukanmu setelah itu –Jika-kamu-ingat-aku- baru kamu datang temui aku."
Embusan angin yang menyecap kulit, membuat bulu kuduk Abel meremang. Dia bisa memastikan kalau angin malam ini akan membawa air hujan. Dia menengadah ke atas menatap langit gelap sekilas. Suara petir itu terus masih memekakan telinga. Tapi wanita itu sama sekali tidak peduli. Dia terus berjalan menjauh dari Tristan, tanpa memikirkan di mana dia meletakan payungnya saat rintik hujan itu mulai berjatuhan.
***
Walau semuanya sudah terlihat begitu jelas bahwa seorang Tristan Adiguna yang super sibuk tidak akan mampu meluangkan waktunya untuk Abel, tapi tetap saja disini Abel masih berharap pria itu akan datang padanya dan menemuinya dengan kata rindu yang ia umbar-umbar saat malam.
Sepuluh menit lagi jam makan siang. Hati ini masih harap-harap cemas bahwa Tristan akan datang sesuai janjinya kemarin malam. Jika dia datang berarti kata rindunya waktu itu benar. Tapi jika tidak, kesimpulannya dia tidak ingat Abel. Lalu apa artinya hubungan ini yang akan berujung di Altar. Semu.
Kembali Abel memeriksa jam kecilnya yang sengaja dia taruh di atas nakas. Waktu terasa begitu sangat lambat. Berkali-kali Abel mondar-mandir di dalam kamar menunggu tunangannya seperti orang bodoh. Kakinya yang dia tendang-tendang ringan ke udara, tidak sengaja menendang sebuah kotak yang menyembul keluar di bawah kolong tempat tidurnya.
Abel mengernyit kemudian membungkuk sedikit sehingga tangannya bisa meraih benda tersebut. Abel mendapati sebuah kotak berwarna merah marun yang atasnya tebal oleh debu. Dia meniup debu itu sehingga serpihannya berterbangan ke udara, menyebabkan dia harus sedikit menjauhkan wajahnya agar tidak terkena butiran-butiran debu. Dengan rasa penasaran yang penuh Abel membuka penutup kotak tersebut untuk tahu apa isi di dalamnya. Matanya mendadak memanas. Sekujur tubuhnya tiba-tiba menegang. Kenapa Abel sampai lupa dengan yang satu ini.
Abel terduduk lemas diatas ranjang. Ini semua barang-barang dari Kevin beberapa tahun yang lalu. Kevin yang dia yakini akan sembuh dari amnesianya, lalu begitu ia mengingat kembali memorinya tentang Abel, akan datang menemui Abel. Tapi kenyataannya adalah tidak.
Kevin tidak pernah datang padanya. Dengan begitu Abel dan Kevin selesai. Tamat. Tidak akan ada lagi sosoknya di hidup Abel selamanya. Dan saat itulah hidup Abel seperti tidak berarti apapun. Kosong, hampa dan gamang. Abel persis seperti mayat hidup. Sampai pada akhirnya Tristan hadir seperti sebuah cahaya yang sedikit demi sedikit terus menerangi Abel, sehingga jalan di depannya tidak menjadi gelap.
"Bel, Tristan udah nungguin kamu di bawah. Cepat turun!" Teriak Mama di balik pintu kamar Abel yang terbuka.
Abel segera memasukkan kembali semua barang-barang itu ke dalam tempatnya dengan terburu-buru dan dengan cepat melempar kotaknya ke bawah ranjang.
Pada hakikatnya rindu Tristan bukan bualan. Dia benar-benar merindukan wanita yang telah dia jadikan seorang kekasih sejak satu tahun yang lalu. Wanita yang berhasil mengusik kepalanya, sehingga hari-harinya selalu dipenuhi oleh Abel. Tristan mengklaim keadaan itu dengan "I love you in single day". Artinya tiada hari yang dia lewati tanpa jatuh cinta terus-menerus kepada Abel. Namun, sifat masalahnya dia bukan jenis pria yang bisa secara gamblang memberitahukan perasaannya. Ditambah sifat work a holic atau gila kerjanya masih sangat diragukan untuk menghilang.