Pagi ini suasana kantor pusat sedikit berbeda. Para karyawan terlihat huru hara dan sibuk membicarakan CEO baru yang akan menggantikan Barata Siregar. Seorang pemimpin yang sampai saat ini masih tidak di percaya bahwa dia telah menggelapkan uang Hankook finance.
Barata Siregar merupakan tipe pemimpin yang cerdas, adil dan bertanggung jawab. Oleh karena itu saat awal dia di tuduh melakukan korupsi sampai dikeluarkan dari Hankook, Abel, termasuk beberapa karyawan lain masih menduga bahwa pasti ada permainan yang sengaja dibuat, tapi masalahnya mereka bukan orang yang pintar mengusut hal-hal seperti itu. Lagipula masalah ini bukan sepenuhnya urusan mereka apalagi urusan Abel.
Urusan Abel sekarang adalah promosi yang belum tercapai. Barata Siregar sudah tidak ada lagi di perusahaan dan itu artinya Abel harus berurusan dengan Niko Siahaan si bujang lapuk yang super menyebalkan. Ya ampun mendengar namanya saja sudah membuat mood Abel turun.
"Jadi, siapa bos baru kita?" Abel melempar kertas yang sudah dia remas tak berbentuk ke dalam tong sampah. Annisa sudah berdiri di depan meja Abel dengan setia menunggu kedatangan bos baru mereka. "Atau, Arsenio juga boleh jadi bos baruku. Dia tidak terlalu buruk 'kan?"
Arsenio adalah orang kepercayaan Barata. Mengingat kinerja dia yang tidak bisa dibilang buruk dengan IQ yang hampir menyamai einstein, Abel pikir dia bisa menggantikan Barata.
"Apa? Arsenio? Pria yang kerjaannya main game itu? yang bener aja. Ngurus dirinya sendiri saja enggak becus apalagi ngurus perusahaan. Apa jadinya perusahaan ini jika dia yang memimpin. Bisa-bisa Hankook akan menjadi game center."
Annisa tiba-tiba berapi-api dan wajahnya merah padam menahan amarah. Wanita yang satu ini memang selalu sensitif jika membicarakan soal Arsenio. Dia juga hampir lupa bernapas saat membicarakan pria itu.
"Pria yang kamu bilang kerjaannya main game itu adalah orang kepercayaan Pak Barata, kamu lupa?"
"Nah itu dia." Annisa menjentikan jarinya dengan semangat membuat Abel harus memundurkan tubuhnya. "Karena Arsenio itu adalah orang kepercayaan Pak Barata, bisa jadi dia ikut terlibat dalam kasus ini."
"Hush, kalau bicara jangan sembarangan." Ucap Abel mengibaskan tangan di depan wajah seperti ibu-ibu arisan saat bergosip. "Kalau emang dia terlibat kenapa dia masih ada disini? Kenapa dia enggak ikut di pecat aja?"
"Mereka belum tahu aja, nanti juga bakal ketahuan." Katanya dengan menggebu-gebu.
"Kamu jangan berburuk sangka."
"Bel, sekarang pikir pake logika. Kalau sebuah mata yang ada di kepala sudah melihat, maka yang akan mengambil dan menyembunyikannya adalah tangan. Sekarang siapa tangan kanan Pak Barata? Arsenio 'kan? Mana mungkin Pak barata bisa melakukan segalanya dengan rapi sendirian. Pasti dia punya antek-antek di belakangnya. Dan antek-anteknya adalah Arsenio, lihat saja nanti."
Abel menghela napas saat mendengar Annisa berfilosofi lagi. Wanita berhijab itu langsung melipat kedua tangannya di depan dada seakan sedang menantang dunia dengan dagu yang di angkat ke atas.
"Iya, liat aja nanti." Timpal Abel. "Tapi kamu itu harus hati-hati."
"Hati-hati apa?"
"Hati-hati pada Arsenio. Jangan terlalu membencinya, nanti kamu malah mencintainya."
"What?!" Annisa menjerit berlebihan. "Kamu gila?! Liat aku sekarang Bel. Aku punya Zafir yang lebih segala-galanya dibanding Arsenio. Arsenio itu enggak ada apa-apanya. Wanita bodoh sekalipun pasti akan milih Zafir di banding Arsenio. Kamu ini ada-ada aja."
Abel menutup mulut oleh tangan menahan tawa saat melihat ekspresi Annisa yang menakutkan. Anak ini memang kelewat membenci Arsenio. Abel jadi kasihan pada pria itu, sebenarnya apa yang terjadi pada mereka di masa lalu sehingga Annisa begitu membenci pria blasteran itu.
"Oke oke. Terus siapa yang bakal gantiin Pak Barata kalau begitu?"
Seketika wajah Annisa berbinar-binar. Mungkin di kantor ini baru Abel saja yang belum tahu menau soal siapa bos barunya. Abel hanya tidak tertarik membicarakan orang baru yang sama sekali tidak dia kenal. Abel hanya sibuk memikirkan bagaimana promosinya sekarang.
"Namanya Aiden Lee, dia berasal dari Hankook yang ada di Malaysia."
"Aiden Lee? Bukan orang Indonesia? " Tanya Abel aneh.
"Yap. Dan yang aku dengar Aiden Lee itu adalah salah satu pemegang saham terbesar di perusahaan ini."
"Hah? Serius kamu?"
"Dua rius malah." Ucap Annisa. "Dan dia bukan hanya memimpin divisi kita, tapi perusahaan ini sudah dikendalikan seutuhnya oleh Aiden Lee. Hebat kan? Dan menurut kabar Aiden Lee itu pintar, tampan, keren dan…" Annisa menggantungkan kalimatnya. "Dan…yang paling terpenting dia tidak sejahat dan selicik Barata Siregar." Lanjutnya dengan penuh sindiran.
"Nis, kamu percaya gitu aja sama tuduhan itu? Pak Barata itu kan bukan satu atau dua tahun memimpin divisi kita. Dia sudah bertahun-tahun menjadi pemimpin, aku enggak yakin kalau Pak Barata melakukan korupsi."
"Abel, semua karyawan disini juga awalnya ennggak percaya, tapi barang bukti sudah mengarah padanya, jadi apalagi yang harus diragukan?"
Abel menghela napas. Beberapa saat Abel dan Annisa saling pandang dalam pemikiran mereka masing-masing. Dan tak sengaja di otak Abel terlintas sosok Aiden Lee, si pemilik saham Hankook finance. Seperti apa rupanya orang itu? Apa setua Pak Barata?
"Aku denger-denger ya Bel, Aiden Lee itu masih muda." Bisik Annisa nakal pada Abel seperti baru saja membaca pikiran wanita itu.
"Cih, muda atau tua apa hubungannya, yang penting itu kualitasnya dalam memimpin. Kita liat aja apa dia bisa memimpin divisi kita seperti Pak Barata." Annisa terkekeh sambil menutup mulutnya.
Kemudian suasana yang ingar-bingar pun tiba-tiba menjadi senyap seperti di telan bumi. Annisa menyenggol pundak Abel lalu wanita itu menegakkan tubuhnya dan merapikan baju. Abel jadi ikut-ikutan Annisa sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar.
Para karyawan di sini sedang berbisik-bisik membicarakan Aiden Lee, dan dari pembicaraan mereka tidak ada yang mengatakan Aiden itu buruk. Semua membicarakan hal-hal yang baik tentang pria tak di kenal itu. Dan hanya Abel saja yang tidak tertarik membicarakan pria dari Malaysia itu.
Lagipula bagaimana mungkin mereka mengetahui tentang pria itu, bertemu saja belum. Cih dasar semuanya penji… Astaga! Apa itu? Abel membatin.
Jantung Abel berdebar kencang, tubuhnya hampir saja limbung jika tangannya tidak memegang pada ujung meja. Niki Siahaan dan Arsenio berjalan beriringan bersama seorang pria dengan setelan jas yang mahal dan wajah yang terlihat begitu sangat tampan. Dan Abel yakin bahwa orang di sebelah Niko itu adalah…
Rasanya Abel mau pingsan saja, saat pria yang menyilaukan mata itu berdiri tepat di depan dirinya, memasang senyum menawan bak Calvin Klein models.