Siang ini Kevin dan Abel berada di coffee shop. Berdua, berpegangan tangan seakan hanya ada mereka saja di dunia ini. Rindu mereka seakan menguap setelah bertahun-tahun tidak saling melihat. Terlalu banyak yang berubah sehingga Abel merasa begitu asing di dekat Kevin
"Kamu banyak berubah."
Kevin mengangkat cangkir kopi ke depan bibirnya. Menyesap sedikit kopinya dan tersenyum pada Abel
"Kamu juga," jawab Abel kemudian tertunduk. Mendadak kecanggungan menyergap tubuh Abel. "Kamu..gimana.. maksud aku, aku enggak tahu kenapa tiba-tiba kamu muncul di sini sekarang?"
Kevin menghela napas, menolehkan kepalanya, matanya menerawang menembus kaca cafe. "Keajaiban mungkin?" Kevin menoleh ke arah Abel kembali. "Sesuatu yang sama sekali tidak pernah aku pikirkan sebelumnya bahwa aku bisa sembuh. Ibuu bilang, aku punya begitu banyak kekuatan untuk sembuh. Banyak yang tercengang dengan kesembuhanku. Aku sembuh lebih cepat dari yang diperkirakan." Kevin menjatuhkan kedua tangannya di atas meja.
"Tiba-tiba seluruh ingatan datang padaku, semua memori yang hilang kembali utuh, dan aku mengingatnya. Semuanya, segalanya. Dan tentu ingat kamu." Kevin meremas tangan Abel. Abel merasakan sentuhan di setiap jemarinya masih sama. Hangat. "Aku memiliki satu dorongan yang kuat sehingga aku bisa mengingat segalanya. Dan tanpa aku sadari dorongan itu berasal dari kamu. Kamu alasan satu-satunya yang bikin aku sembuh."
Abel menatap Kevin. Hatinya mencelos. Tubuhnya menegang. Selama ini Abel tidak pernah berhubungan ataupun bertemu dengan Kevin, bagaimana mungkin Abel menjadi alasan untuknya bisa sembuh. Bahkan Abel tidak melakukan apapun padanya. Sedikit pun tidak.
"Aku.. kamu tahu kam kita enggak pernah ketemu sejak kepergianmu ke Malaysia. Dan kita enggak pernah… jadi. Gimana mungkin aku.. aku enggak ngelakuin apapun sama kamu. Aku rasa aku engga terlibat apa-apa sama kesembuhan kamu."
"Bel," Saat Kevin menyebut namanya, ada desir hangat di hatinya. Lalu pria itu mengeratkan genggamannya di tangan Abel saat Abel mulai kalut. "Kamu inget enggak tentang seseorang yang kamu ceritain sama aku waktu itu?"
Mendadak otak Abel berputar mengingat-ngingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Sial, ingatannya memang tidak bagus.
"Tentang aku yang punya seseorang yang sayang sama aku, mencintaiku dan menungguku sembuh. Aku pernah bilang sama kamu, aku ingin segera sembuh agar aku bisa bertemu dengannya. Maka, aku berusaha kuat untuk sembuh. Dan aku tahu, seseorang yang kamu ceritakan itu adalah kamu. Kamu seseorang yang menyayangiku, mencintaiku dan kamu adalah seseorang yang sedang menunggu kesembuhanku. Jadi, kamulah alasan terkuat untuk aku sembuh."
Tatapan Abel kosong. Dia ingat. Dia pernah menceritakan tentang dirinya pada Kevin. Ya Tuhan Abel tidak percaya Kevin memiliki keinginan besar untuk sembuh demi bertemu dengan Abel. Abel memang menunggunya sembuh. Tapi sekarang rasanya semuanya telah terlambat. Abel sudah memiliki Tristan dan Abel sudah tidak menunggu Kevin lagi.
"Terima kasih Kevin."
"Enggak," sergah Kevin cepat. "Bukan kamu yang berterima kasih. Tapi aku, aku yang seharusnya berterima kasih sama kamu." Kevin tersenyum hangat. "Kamu bahagia? Aku udah kembali lagi sama kamu?"
Ada banyak harapan dari sorotan mata Kevin yang teduh. Abel memang bahagia. Tapi ini terlalu mendadak dan rasanya begitu lama setelah penantian Abel untuk laki-laki itu.
Andai saja Abel belum bertemu Tristan. Andai saja Abel belum menjalin hubungan dengan Tristan. Andai saja Abel belum memutuskan bertunangan dengannya. Andai saja… ah, sudahlah.
Sekarang, Abel memang bahagia tapi sebagian dari dirinya juga takut. Abel takut, dia masih memiliki cinta untukn Kevin Dan semakin lama Abel melihatnya, cinta itu akan tumbuh kembali.
Jika seperti itu bagaimana hubunganku dengan Tristan? Bagaimana dengan perasaan Tristan? Tidak.
Abel harus yakin dan tegas pada dirinya sendiri. Kevin boleh kembali tapi Abel harus tetap mencintai Tristan. Abel harus bertahan bersama Tristan. Harus.
"Aku bahagia Kevin. Aku… bahagia." Balas Abel pelan, berbeda dari apa kata hatinya. Abel tersenyum kecut.
Abel tidak tahu harus bagaimana. Abel tdak tega untuk mengatakan semuanya pada Kevin.
"Terima kasih karena udah menungguku."
"Tapi aku engga nung," kalimat Abel terhenti di udara begitu mata Kevin menatap kedua bola mata Abel.
Brengsek, kenapa Abel begitu lemah hanya karena tatapan matanya saja. Apa ini artinya Abel.. Ya Tuhan. Abel sadar perasaannya pada Kevin itu karena selama ini Kevin tidak ada disampingnya, tapi kali ini dia kembali. "Aku enggk…enggak sabar nunggu semua ini terjadu. Aku tahu kamu akan sembuh dan kembali sama aku."
Secara bersamaan wanita itu bimbanh, apa perasaannya pada Kevin telah kembali lagi. Tapi Abel tahu ini pasti tidak adil untuk Tristan.
Kenapa Kevin harus kembali di saat Abel telah bersama Tristan.
"Tapi.. Gimana bisa kamu ada di sini? Di perusahaan ini dan namamu berubah menjadi Aiden?"
Kevin menatap Abel kemudian menggenggam tangan Abel dengan erat yang mulai mendingin. Kevin menghela napasnya seakan berat untuk mengatakan sesuatu.
"Aku enggak bisa cerita ini sama kamu sekarang. Ini bukan saatnya aku mengatakan semuanya sama kamu. Maaf Bel, aku bener-bener enggak bisa." Abel mengangkat alisnya merasa heran. Tiba-tiba saja perasaan Abel jadi tidak enak dan ada prasangka negatif pada Kevin. Abel menatap Kevin penuh curiga.
"Bel," panggil Kevin sambil menyentuh tangan wanita itu, membuat Abel tersentak.
"Ya? Ya, ceritakan kapan aja kamu mau." Ucap Abel terbata, sebisa mungkin tetap memperlihatkan senyumnya di depan Kevin.
"Satu lagi." Ucap Kevin dengan mengacungkan telunjuknya ke atas. "Aku mau kamu seterusnya panggil Aiden. Paling enggak selama kita ada di kantor."
Kevin menatap Abel. Tatapannya itu seperti sebuah perintah dan Abel tidak boleh menolaknya sama sekali. Sebelum ini Kevin tidak pernah memiliki sifat mengintimidasi atau memerintah Abel sesukanya. Pria di hadapannya ini sudah banyak berubah, dan membuat Abel merasa asing di dekatnya.
Kevin yang dulu bukanlah Kevin yang sekarang. Mereka nampak sama, tapi rasanya berbeda.
Perlahan Abel mengangguk sambil berbalik melihat mata Kevin. Pria itu tersenyum lega pada Abel.
Kecuali senyumannya. Senyuman yang paling Abel rindukan selama ini. Senyum yang sama, yang selalu membuat Abel merasa hangat.
"Thanks, sayang. Aku menyayangimu."
Seketika hati Abel berdesir saat Kevin memanggilnya 'sayang'. Kevin mengangkat tangan Abel ke bibirnya lalu mengecup punggung tangan Abel dengan lembut.
Abel tersenyum kaku membiarkan kulit tangannya menyatu dengan bibir Kevin yang terasa dingin.
Tiba-tiba dering ponsel Abel berbunyi, kesempatan itu dia gunakan untuk menarik tangannya dari genggaman Kevin. Abel melirik ponselnya memeriksa nama penelepon. Tristan. Jantungnya berdenyut. Dia segera mengusap layar ponselnya, menekan tombol hijau, dan berbicara dengan Tristan diam-diam.
"Ya, kenapa?"
[Sayang, kamu di mana? Aku lagi on the way ke kantor pusat. Kita makan siang bareng, ya.]
Seketika Abel gelagapan. Melirik Kevin yang sedang menyedot minumannya.
"Jangan," sergah Abel cepat. "Maksud aku, aku lagi sama Nisa, terus udah mau balik ke kantor soalnya ada nasabah yang lagi nunggu aku di sana."
Abel memejamkan matanya. Merasa begitu menyesal telah mengatakan omong kosong seperti ini. Dan dia juga tidak mengerti kenapa dia harus melakukan ini.
[Oh, gitu. Oke deh. Pulangnya aku jemput ya.]
"Iya, iya sayang. Aku tunggu."
Sambungan telepon pun berakhir. Abel membasahi bibirnya yang terasa kering. Lalu berjalan dan duduk kembali bersama Kevin yang saat ini sedang tersenyum padanya. Dan tidak ada lagi yang bisa Abel lakukan selain membalas senyuman Kevin. Dia sudah benar-benar terjebak nostalgia.
Abel bingung sekarang. Dia galau, gamang dan merana. Apa yang harus dia lakukan saat ini? Membiarkan perasaannya kembali pada Kevin? Atau menjaga hubungannya bersama Tristan?