"Kamu yakin akan sembuh? Lebih baik kamu tetap disini Vin. Aku mohon jangan pergi."
Abel menyentuh tangan Kevin menahannya yang sedang membereskan semua pakaian-pakaiannya. Kevin berbalik menatap Abel tidak suka. Matanya memandang Abel dengan begitu tajam. Kevin menarik lengannya secara paksa.
"Kamu menginginkanku untuk tidak bertemu dengannya hah?! Kamu pikir kamu siapa melarangku pergi dan melarangku untuk sembuh?!" Tanpa di duga Kevin bangkit berdiri dari duduknya. Meneriakkan Abel dengan murka.
Dengan perasaan panik Abel ikut berdiri berusaha menenangkan Kevin. Abel mulai takut. Sepertinya dia sudah salah bicara.
"Bukan begitu maksudku Vin. Aku hanya ingin.."
"Diam kamu!! Pergi!!" Kevin kembali berteriak di depan wajah Abel sambil membentangkan satu tangannya ke atas. Wajahnya sudah memerah. Rahangnya terkatup rapat.
"Tapi.. kevin.." Abel ketakutkan. Mulutnya membuka dan menutup.
"Aarrghh!! Keluar!!" Kevin mengambil semua barang-barang yang tak jauh dari jangkauannya lalu melemparnya ke sembarang arah sambil berteriak-teriak. Abel hanya bisa menangis melihatnya seperti ini.
"Abel ada apa?"
Tiba-tiba tante Rinda masuk ke dalam, lalu mencoba meraih tubuh Kevin agar dia bisa lebih tenang. Abel hanya bisa diam di tempat melihat kejadian ini. kesakitannya semakin menjadi saat tubuh Kevin merosot ke lantai dan tante Rinda memeluknya sambil menangis. Sementara Kevin berusaha memeluk tante Rinda mencari perlindungan. Dia terlihat begitu sangat ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat.
"Ibu usir wanita itu dari sini jangan biarkan dia masuk kedalam rumah kita!!"
Betapa sakitnya Abel mendengar kalimat itu. Abel tahu Kevin tidak mengingatnya. Tapi kenapa Kevin harus sampai mengusirnya juga.
"Abel tolonglah tante mohon pergi dari sini."
Abel yang tidak bisa berbuat apapun hanya mampu menyeret langkahnya yang terseok-seok keluar dari kamar ini, sambil menangis karena prihatin melihat kondisi Kevin yang memburuk. Bahkan laki-laki itu sampai hati mengusir Abel dari rumahnya.
Oke, dia hanya tidak ingat gadis itu.
***
Tebet Raya Street
No. 45
Tante Rinda menatap nanar pada amplop coklat yang tergeletak di atas meja kaca. Tangannya terulur membawa amplop tersebut untuk di buka. Dadanya nyeri begitu dia mencoba melihat satu lembar kertas putih dari dalam amplop tersebut.
Galih Hutapea. Sang pengacara gugatan perceraian serta tindak pidana yang dilakukan mantan suaminya terhadap anak kandungnya, menyerahkan surat cerai itu. Inilah akhir dari segalanya. 20 tahun pernikahannya berakhir tragis. Tapi memang inilah yang dia inginkan sejak dulu. Perpisahan.
Wajahnya yang kelu sudah tak memancarkan cahaya. Terangnya sudah raib di makan waktu. Kini kepiluan lah yang sedang menguasai dirinya. Dia harus segera angkat kaki dari Jakarta bersama Kevin, untuk memulai hidup baru di sana. Malaysia.
Jakarta, sudah sangat cukup melukai hatinya.
"Terima kasih, Pak, atas segala bantuannya selama ini." Ucap tante Rinda, begitu sangat lirih.
"Tidak masalah, saya senang bisa membela Anda di pengadilan, dan memenangkan kasus ini."
Tante Rinda tersenyum getir. Laki-laki yang dia anggap akan menjadi teman hidup di sisa umurnya, ternyata justru menjadi musuh terbesar di hidupnya. Sekarang laki-laki itu telah mendekam di penjara dalam kurun waktu lima tahun. Waktu yang tidak cukup menurutnya. Tapi biarlah, biar dia rasakan akibat dari perbuatannya.
***
Semua telah siap. Pakaian Kevin sudah di masukan ke dalam koper. Pakaian tante Rinda pun sudah. Mereka tidak membawa barang bawaan yang banyak. Menghemat bagasi pesawat, agar tidak menambah biaya. Ya, tante Rinda memang tidak banyak memiliki uang. Tapi cukup untuk mereka berdua tinggal di Malaysia.
Kerabat tante Rinda sudah siap menampung mereka di sana. Paling tidak sampi Kevin sembuh dan tante Rinda dapat pekerjaan. Sulit memang, tapi wanita usia 46 tahun itu masih bersyukur memiliki sahabat yang mau menolong sebegitu jauhnya.
"Kevin, sudah siap?"
Tante Rinda menyembulkan kepalanya di balik pintu kamar Kevin. Dia melihat putranya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang tertutup besi. Tangannya memegang bingkai foto lama keluarganya saat dia masih kecil. Ibunya yang berdiri di belakangnya sambil tersenyum di balik kaca mata hitam. Lalu dia yang berdiri dengan wajah kaget karena leher jerapah yang menjulur ke arahnya. Dan yang terakhir ayahnya. Berdiri sangat gagah. Seakan sedang melindungi dia dan ibunya dari segala macam bahaya. Seorang suami yang memang begitu sepantasnya. Tapi, semua itu tak lagi nyata. Kebahagiaan masa kecil itu telah sirna.
"Ayok, kita sudah terlambat." Ucap tante Rinda yang saat ini berdiri di samping Kevin. "Simpan saja." Tante Rinda mengambil bingkai foto dari tangan Kevin, kemudian menaruhnya di atas nakas dengan posisi terbalik. Seakan potret dirinya dan keluarga tak ingin dia lihat.
Kevin menarik garis tipis pada bibirnya. Lalu melingkarkan lengannya di sekitar bahu ibunya. Mulai berjalan ke luar sambil menyeret koper besar.
Semuanya akan segera dia tinggalkan. Tanpa sisa. Namum, ada sesuatu yang sepertinya sedang tertinggal, tapi Kevin tidak tahu apa itu. Sesuatu itu masih saja mengganjal di benaknya, dan terasa sakit di kepala saat dia berusaha untuk mengingat.
***
Soekarno Hatta Airport
Abel berjalan hampir berlari karena pesawat yang akan membawa Kevin dan tante Rinda ke Malaysia akan berangkat sebentar lagi. Jika bukan karena kebiasaannya yang selalu telat bangun pagi mungkin dia tidak akan sepanik ini.
Hari ini hidup dan matinya. Hari dimana Abel akan menyaksikan kepergian Kevin yang tidak tahu kapan dia akan kembali. Abel masih mencari-cari keberadaan Kevin dan tante Rinda. Begitu sosok Kevin sudah ada di jarak pandangnya, gadis itu segera berlari mendekat.
"Tante." Panggil Abel.
Tante Rinda bangkit berdiri kemudian memeluk Abel. Abel membalas pelukan tante Rinda yang mungkin tidak akan bisa dia rasakan lagi, sedangkan Kevin hanya memandang Abel acuh kemudian membuang muka seakan tidak ingin melihat wajah Abel.
Ya Tuhan ini hari terakhir kalinya Abel bertemu dengan Kevin, tapi kenapa keadaannya malah seperti ini.
"Tante, kapan kalian akan kembali ke Jakarta?"
"Tidak bisa dipastikan kapan kami akan kembali, setelah perceraian tante dengan ayah Kevin, tante memutuskan untuk pergi jauh-jauh dari kehidupannya. Dan juga merawat Kevin agar segera sembuh."
"Tante, aku ngerti. Tapi aku mohon kalau nanti Kevin sembuh tolong sampaikan padanya bahwa aku menunggunya."
"Itu pasti Bel, salah satu alasan Kevin menyetujui kepindahan kami ke Malaysia adalah ingin segera sembuh agar bisa bertemu denganmu. Tapi tante belum bisa memutuskan kapan waktunya."
Abel menghela napas panjang lalu menatap Kevin yang masih tidak melihatnya sama sekali.
"Kevin."
Kevin menoleh sebentar tapi langsung membuang muka lagi.
"Aku tahu kamu marah sama aku, tapi tolong dengarin aku." Kevin masih bergeming. Terserah sajalah. "Mungkin akan memakan waktu yang lama untuk kita bertemu lagi. Aku dan juga kamu tidak akan pernah tahu kapan kita akan bertemu kembali. Aku tidak berharap banyak padamu, tapi semoga Tuhan bisa mempertemukan kita kembali bagaimanapun caranya dan apapun keadaannya. Aku akan selalu berdoa untuk kesembuhanmu. Sekarang kamu boleh lupa siapa aku, tapi aku yakin suatu hari nanti kamu akan ingat aku. Dan disaat itulah kamu akan kembali padaku." Abel berhenti sejenak. Pandangannya jatuh ke sweater hijau lumut yang dikenakan oleh Kevin. Sweater pemberian darinya sebagai kado ulang tahun Kevin.
Abel membasahi tenggorokannya susah payah. Suaranya juga ikut bergetar. Abel merasakan wajahnya memanas dan mungkin sekarang sudah memerah akibat menahan air mata yang mendesak keluar.
Kevin masih tidak menatap Abel. Lalu tante Rinda segera mendekat ke arah Kevin, kemudian menyentuh kedua pundak Kevin dan memerintahkan putranya agar menatap Abel. Akhirnya dengan sedikit paksaan dari tante Rinda, Kevin memandang Abel dengan wajah yang malas. Sepasang mata Kevin menyorot kedua bola mata Abel dengan tajam. Mata itu tidak akan pernah Abel lupakan selamanya.
"Dengar!" Ucap Kevin dengan nada tajam dan penuh penekanan. "Kamu sama sekali tidak penting dalam hidupku. Kamu bukanlah orang pertama yang akan aku cari jika ingatanku kembali. Jangan percaya diri!"
Mata Abel terbelelak sempurna. Ini lebih menyakitkan daripada dia harus menunggunya seumur hidup. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding Kevin tidak ingin bertemu dengannya lagi.
Perlahan Kevin pergi meninggalkan Abel bersama dengan kehancurannya. Abel merasa dirinya begitu sangat berantakan karena Kevin. Hatinya kacau balau begitu punggung Kevin menghilang dari pandangannya.
Mulai hari ini tidak ada Kevin, tidak ada leluconnya dan tidak ada ocehannya yang memekakan telinga. Kali ini Kevin benar-benar akan jauh darinya.
Bandara, yang seharusnya menjadi tempat romantis untuk menyatakan cinta. Justru bagi Abel, bandara telah menjadi tempat mengerikan untuk perpisahan. Kevin pergi dengan membawa kebencian terhadap dirinya.
Abel tidak tahu apa jadinya hidup ini jika tidak ada Kevin di dalamnya. Berapa banyak waktu yang harus dia habiskan untuk bisa melupakan Kevin.