Juna terbangun saat merasakan perih di lengan tangannya. Ketika membuka mata, dia mendapati dokter Kai tengah menyuntikkan obat padanya.
"Maaf saya membangunkan Anda, Tuan Lee. Saya sudah berusaha sangat hati-hati agar Anda tidak terbangun,"
"Tidak apa-apa, aku hanya terkejut saja." Juna membenarkan posisi tidurnya, yang padahal tidak salah sama sekali.
"Bagaimana perasaan Anda sekarang?" tanya dokter Kai setelah selesai dengan tugasnya.
"Kepalaku sakit dan perutku sangat mual," jawab Juna menjelaskan apa yang dia rasakan.
"Itu karena benturan keras di kepala Anda. Tapi, tidak apa-apa, obat yang tadi saya suntikan bisa mengurangi yang Anda rasakan."
"Bagaimana keadaannya, dokter?" suara berat Chen muncul dari ambang pintu.
Dua orang itu melihat ke arah Chen yang baru saja datang. Wajah laki-laki itu terlihat sangat khawatir melihat putranya.
Dokter Kai, yang merupakan dokter pribadi keluarga Lee, berusaha menjelaskan sebaik mungkin. Dia sangat tahu, bagaimana Chen sangat menyayangi Juna.
"Tuan Juna termasuk orang yang cukup kuat, kondisinya cepat membaik. Tapi, memang harus istirahat lebih untuk beberapa hari. Saya belum bisa menyarankan Tuan Juna istirahat di rumah, saya harus memeriksa kesehatan kepalanya pasca operasi. Apalagi Tuan Juna masih merasakan denyut dan mual."
"Tidak bisakah dirawat di rumah saja? Cukup berbahaya jika dia dirawat di area publik begini," tanya Chen khawatir.
Ekspresi dokter Kai berubah serius, namun masih tersenyum ramah.
"Lebih berbahaya lagi jika dalam keadaan seperti ini dan tidak ada yang memantau Tuan Juna. Kepalanya cedera parah dan segala guncangan kecil sekalipun akan memberi rasa sakit dan mual untuk Tuan Juna, itu sebabnya saya lebih menyarankan untuk dirawat di rumah sakit saja, Tuan." dokter Kai memberi penjelasan sebaik mungkin.
"Berapa lama, dokter?"
"Tergantung seberapa baik tubuh Tuan Juna dalam menyerap obat yang saya berikan. Kemungkinan paling lama sekitar dua minggu,"
"Dua minggu terlalu lama, tidak bisakah kalian usahakan dia cepat membaik?"
Juna menghela napas panjang. Kepalanya kembali pusing mendengar perdebatan itu.
"Aku baik-baik saja, Ayah. Tidak ada yang akan menyakitiku, jangan khawatir." ucap Juna berusaha membujuk.
Dokter Kai menyimpan jarum suntiknya dan tersenyum pada kedua laki-laki itu.
"Baiklah Tuan, saya permisi dulu. Istirahat yang cukup akan cepat memulihkan kondisi Anda." ucap dokter Kai lalu beranjak keluar.
Chen menatap Juna sembari duduk di kursi yang dia tarik dari sudut ruangan.
"Ibumu sangat cemas. Dia bilang akan menyusul setelah menyuapi Minhyuk." ujar Chen membuka lagi pembicaraan.
"Bagaimana keadaan Minhyuk hyung? Dia baik-baik saja?"
"Dia sudah bisa duduk dan membuat Ibumu berteriak senang," Chen tertawa kecil mengingat apa yang dia lihat saat di ruangan Minhyuk tadi.
"Syukurlah, setidaknya itu mengurangi dosaku satu lagi karena tidak becus menjaga Kakakku sendiri."
Garis kening Chen berkerut membentuk kernyitan, "Apa maksudmu?"
"Aku yang membuat Minhyuk Hyung dan Jiyoung celaka," Juna menghela napas kasar, "Dan aku sangat bersyukur kalau mereka baik-baik saja sekarang."
"Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri, Nak. Tidak ada yang tau mereka akan diserang, dan kau juga sudah membalasnya, kan?"
Juna benar-benar merasa bersalah, direktur baru Cerberus itu benar-benar perpaduan dari semua yang ingin dia habisi saat ini juga. Mungkin, inilah alasan Tuhan masih memberinya hidup, agar bisa membunuh direktur itu dengan tangannya sendiri.
Chen mendekatkan sedikit kursinya ke ranjang Juna,
"Aku tau kau yang datang sendiri ke perusahaan itu dengan bantuan dari Changyi untuk menerobos keamanan mereka meledakan mobil-mobil perusahaan itu, kan?"
Juna terbahak, dia benar-benar tidak bisa membohongi ayahnya yang sudah lebih dulu terjun di dalam dunia Mafia.
Pintu ruangan terbuka, membuat kedua orang itu menoleh serentak dan melihat Mirae yang tengah menangis masuk pelan-pelan.
"Kenapa kau ikut celaka, Lee Juna?" tanya Mirae dengan nada tinggi. Namun, nadanya terdengar sangat khawatir.
"Seharusnya kau lebih hati-hati lagi. Aku selalu percaya kau akan baik-baik saja di luar sana, tapi hari ini aku melihatmu di sini dengan luka di kepala seperti ini,"
Juna jadi makin lebih merasa bersalah lagi. Dia menatap ayahnya meminta bantuan dan Chen hanya bisa menggeleng, bingung harus memberi bantuan apa kalau untuk kasus yang satu ini.
"Sudahlah, Bu, aku baik-baik saja. Lihat, aku bahkan sudah sangat sehat." ucap Juna menyunggingkan senyuman.
Mirae melayangkan tatapan tajam pada Chen, membuat laki-laki itu terperanjat.
"Apa?" tanya Chen dengan air muka bingung.
"Ini semua salahmu! Kau terlalu sibuk bekerja sampai tidak tau anak-anakmu dicelakai orang seperti ini!" Mirae mengomel setengah merengek.
"Kenapa kau menyalahkanku? Kau yang hanya di rumah saja, apa kau tidak bisa memantau anak-anakmu?" balas Chen tidak kalah hebohnya.
Mirae tersenyum miring lalu berdecih,
"Enak sekali kau bilang aku hanya di rumah saja! Menurutmu aku dirumah tidak mengerjakan apa-apa, huh? Apa laporan-laporan yang kau kirimkan itu bisa mengerjakan diri mereka sendiri kalau tidak kukerjakan dengan tanganku?" sengit Mirae sambil menunjukkan jari-jemarinya.
"Kau kan bisa membagi waktumu sebagai Ibu dan sebagai pembisnis, masa begitu---"
"Hentikan!!" Juna mendengus jengkel mendengar saling salah-menyalahkan kedua orangtuanya. Dia tak tahan dengan perdebatan yang bahkan sudah sering dia dengar sejak dulu.
Ekspresi Juna langsung berubah. Laki-laki itu mengusap-usap dadanya mencoba sabar, sementara kepalanya terasa berdenyut.
"Juna? Apa ada yang sakit, sayang?" tanya Mirae dan Chen hampir bersamaan.
"Tidak-- aku tidak apa-apa, maafkan aku. Aku hanya sedikit pusing."
"Ayo istirahat dulu." Mirae merapikan selimut yang membungkus tubuh Juna dan mengusap kepalanya.
Juna memejamkan matanya, merasakan denyutan demi denyutan yang merajalela di kepalanya kemudian mulai mereda.
"Sudah lebih baik?"
Juna mengangguk. Seketika terdengar helaan napas lega dari kedua orangtuanya.
"Tolong jangan bertengkar lagi. Kami sudah dewasa, jadi jangan khawatir apa yang terjadi pada kami."
"Maafkan kami. Kami sangat khawatir, apalagi kalian masuk rumah sakit secara berturut-turut," ucap Mirae dengan nada bersalah.
"Itu sudah resiko pekerjaan kami, Bu. Tenang saja, akan kubalas mereka semua," Juna memegang lembut tangan Mirae, "Dimana Vano, Bu? Ibu membawanya ke rumah sakit?" tanya Juna mengingat putranya.
"Dia sedang pergi dengan Haejin, katanya mau beli cokelat."
"Tolong jaga Vano selama aku di rumah sakit ya, Bu. Aku khawatir dia menjadi sasaran Cerberus Group." ucap Juna serius.
"Tenang saja, biar Vano tinggal bersama kami sampai kau sembuh. Soal pekerjaanmu, sementara akan dihandle oleh Tuan Chen ini," Mirae melirik ke arah Chen yang berdiri di sampingnya, "Iya kan?" tanya Mirae dengan gigi rapat.
Chen langsung mengangguk mengiyakan, lagipula dulu dia juga pernah menghandle perusahaan milik Juna saat putranya itu tengah liburan bersama Vano.
"Kau tidak perlu khawatir." jawab Chen kemudian.
Hening sejenak, kemudian Juna menghela napas.
"Istirahatlah. Kalau perlu apa-apa, kau bisa tekan tombol ini." ucap Chen seraya menunjuk sebuah tombol disamping ranjang.
Setelah Juna mengangguk paham, kedua orang tuanya itu pergi keluar ruangan sembari menutup pintu dengan hati-hati.