Kopi sudah dihidangkan di atas meja, tepat saat meeting kelompok mata-mata telah usai. Beberapa orang memilih keluar ruangan untuk merokok dan mengembalikan oksigen di otak mereka setelah meeting panjang tadi, sementara Hendery sedang mengamati Jaehwa yang tengah larut dalam konsentrasi mempelajari rencananya dengan Hendery yang sudah dia simpan di dalam laptop.
Bagi Hendery, Jaehwa pribadi yang baik dan pendiam. Hendery tidak akrab dengan Jaehwa, mereka pertama kali bertemu di meeting sebulan lalu saat Hendery diam-diam bergabung dalam kelompok mata-mata yang dibuat Jaehwa. Dan niat awalnya, Hendery bergabung hanya ingin meminta bantuan pada Jaehwa untuk membantunya membalas dendam pada Hyunseok yang sudah menghancurkan keluarganya.
Banyak yang ingin dipertanyakan, tapi Hendery ragu untuk bertanya di saat seperti ini. Dia tidak ingin mengganggu Jaehwa yang tengah sibuk itu.
Jaehwa berdehem lalu menyeruput sedikit kopi panasnya, kemudian melihat Hendery yang sejak tadi duduk diam di depannya.
"Ada apa?" tanya Hendery bingung menangkap tatapan itu.
"Aku sudah mempelajari berkas yang kau berikan-- tentang email dari Joonwo, bukankah meeting itu besok?"
"Yah, aku akan ikut meeting dengan Hyunseok besok pagi,"
"Oh iya?" tanya Jaehwa santai, dia mulai fokus lagi pada layar laptop.
Hendery menatap Jaehwa lurus-lurus,
"Iya. Apa ada yang harus aku lakukan?"
"Nanti akan kuberitahu setelah aku bertemu Changyi," Jaehwa mendongakan kepalanya, "Kau ada waktu nanti malam?"
"Akan ku usahakan pulang secepatnya dari kantor,"
"Bagus, temui aku di cafe dekat Hydra group nanti malam. Jangan sampai ada yang mengenalimu," titah Jaehwa.
"Baiklah, aku akan ke sana."
"Kalau begitu, aku permisi dulu. Juna menungguku di rumah sakit." ucap Jaehwa setelah menutup laptopnya.
Hendery tersentak, "Tuan Lee di rumah sakit?"
"Yah, sepertinya Hyunseok membayar pembunuh untuk mencelakai Juna. Tapi sayangnya, Lee Juna punya banyak nyawa," Jaehwa terkekeh.
"Hyunseok membayar pembunuh sendirian? Tumben sekali dia tidak menyuruhku mengurusi hal bayar-membayar itu." ucap Hendery menebak-nebak.
"Maksudmu?"
"Biasanya, Hyunseok tidak akan mau mengotori tangannya mengurusi hal seperti itu. Dia pasti akan menyuruhku," wajah Hendery tampak serius.
Jaehwa tersentak. Masalah ini semakin rumit dan membuatnya harus memutar otak berkali-kali lagi. Dia tidak boleh lengah sedikitpun, kalau tidak, nyawa Juna adalah taruhannya. Entah kenapa, dia sangat percaya dengan pernyataan dari Hendery.
Hendery menghela napas melihat Jaehwa termenung,
"Aku akan memberimu informasi lagi, kalau Hyunseok membuat rencana lain,"
Jaehwa hanya mengangguk pelan dan beranjak dari sofa, kemudian bibirnya mengukir garis tipis.
"Sampai bertemu nanti malam." ucapnya dan berlalu dari hadapan Hendery.
Sedangkan Hendery masih duduk di sofa seraya menyesap kopinya, matanya terus menatap punggung Jaehwa yang hampir menghilang di balik pintu ruangan.
••••
Ketika pintu kamarnya dibuka dari luar, Youra perlahan mengerjapkan mata menatap langit-langit putih di atasnya. Sedangkan Renji yang baru masuk, berjalan gontai menghampiri sofa, tanpa sadar bahwa Youra sudah bangun dari tidurnya.
Tidak seperti biasanya, laki-laki itu tampak lebih pendiam dan lesu. Youra berusaha melirik kearah Renji, kenapa laki-laki itu seperti sedang memikirkan sesuatu? Apa ada sesuatu yang sedang terjadi tanpa sepengetahuan Youra? Biasanya dia akan langsung mengajak Youra berbicara, walaupun gadis itu sedang tertidur dan tidak mendengarkannya.
"Renji,"
Suara serak Youra membuat Renji nyaris terlompat kaget dari sofa. laki-laki itu segera membawa langkahnya menghampiri Youra.
"Syukurlah kamu sudah sadar. Apa kepalamu masih sakit?"
"Yah, begitulah. Terasa seperti akan pecah," jawab Youra lemah.
"Sebentar, akan kupanggil dokter."
Youra memegang tangan Renji, dia tidak mau Renji meninggalkannya.
"Tidak perlu. Bisakah kamu di sini saja? Bukankah kau juga seorang dokter? Kalau begitu, kau saja yang merawatku, tidak perlu dokter lain." ucap Youra.
"Tapi bukan aku yang menanganimu sejak awal, Youra. Akan kupanggil dokter, sebentar saja."
"Aku tidak mau, Renji. Kamu di sini saja," balas Youra seraya menutup matanya.
Renji menghela pasrah, dia tarik kursi kecil di sudut ruangan lalu menggesernya ke samping ranjang.
"Baiklah, aku di sini saja." kata Renji sambil menggenggam lembut tangan Youra yang dingin.
"Aku bertemu Ibu dan Ayah di dalam mimpi, mereka sangat bahagia. Ayah bilang, Ayah ingin ikut dengan Ibu dan mereka mengajakku. Bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Bagaimana kalau aku ikut dengan Ayah dan Ibu?"
"Kau ingat? Ayahmu masih hidup, Nona Youra. Itu hanya bunga tidur, jangan terlalu dipikirkan." sanggah Renji pelan.
"Apa Ayahku baik-baik saja?" tanya Youra lirih.
Laki-laki itu termangu. Pertanyaan yang selama ini dia takuti, akhirnya keluar juga dari bibir Youra. Apa boleh kalau dia membohongi gadis ini lagi? karena sudah terlalu banyak kebohongan yang Renji lakukan pada Youra. Bagaimana kalau Youra tahu, bahwa Renji adalah bagian dari keluarga yang membuat keluarganya hancur? Apa gadis itu akan mempercayainya lagi?
"Renji," Youra membuka matanya, menatap Renji yang tengah berperang dengan isi pikiran dan hatinya.
"Ah, maafkan aku. Kamu tanya apa tadi?"
"Kamu sedang banyak pikiran?"
"Tidak, aku hanya kurang konsentrasi saja." Renji tertawa terpaksa.
"Kamu pasti lelah karena menjagaku, ya. Lebih baik, sekarang kamu istirahat." anjur Youra.
"Aku istirahat nanti saja. Kamu yakin tidak mau kupanggilkan dokter? Dokter akan memberimu obat pereda sakit untuk kepalamu," ucap Renji mengalihkan pembicaraan.
"Renji, aku melihat seseorang masuk kerumah sakit ini, dia berniat buruk. Aku takut," ujar Youra yang tidak menjawab pertanyaan Renji beberapa saat lalu.
"Kamu lihat di mana?"
"Di dalam mimpi. Dan setelah aku bangun pun, Aku masih bisa merasakan niat buruknya."
"Aigoo... Nona-- karena sakit makanya kamu bermimpi buruk, jangan dipikirkan. Tidak ada orang jahat disini,"
"Tolonglah kamu jangan kemana-mana. Tidak usah panggil dokter, aku baik-baik saja. Percayalah,"
"Dari kemarin aku sudah percaya padamu, tapi kamu berakhir di rumah sakit, Nona. Sebentar, akan kupanggil dokter. Kamu istirahat saja dulu, jangan membantah. Mengerti?" tanya Renji dengan tegas.
Youra terkekeh, ini pertama kalinya dia mendengar Renji setegas itu padanya. Dan entah kenapa, dia malah gemas melihat tingkah Renji yang seperti itu.
"Nona Youra, kamu dengar apa yang aku katakan?" laki-laki itu mengulangi pertanyaannya.
"Aku dengar, tapi aku tidak mengerti, 𝘥𝘰𝘬𝘵𝘦𝘳." rengek Youra sengaja menekankan kata 𝘥𝘰𝘬𝘵𝘦𝘳.
"Hey! Hey! berhentilah menggodaku, kamu harus istirahat, Youra."
"Kamu jangan kemana-mana, perasaanku tidak enak." Youra memohon.
"Tidak akan ada terjadi apa-apa, percaya padaku," Renji mengelus pelan kepala Youra, menenangkan gadis yang sejak tadi melarangnya pergi itu.
"Aku hanya akan memanggil dokter sebentar saja. Kamu harus diperiksa dulu, biar aku pun tau bagaimana kondisimu sekarang,"
"Tapi tolong jangan lama, perasaanku benar-benar tidak enak. Ini bukan tentangku, tapi tentangmu." Youra menghela napas dalam-dalam.
"Aku akan baik-baik saja, jangan khawatir." ucap Renji membuat sebuah senyuman.
Youra sendiri juga tidak tahu, kenapa tiba-tiba dia diserang rasa cemas yang sangat tinggi seperti ini, dia seolah merasakan adanya ancaman yang menyelimuti rumah sakit tempat dia berada sekarang.
Matanya menatap lurus ke arah pintu tempat Renji keluar tadi, berharap laki-laki itu akan segera kembali bersama dokter.