Keesokan harinya di sebuah tempat di bawah tanah, Juna menepuk kasar kedua tangannya setelah menghajar orang yang dia tembak kemarin pagi. Rahangnya mengeras, meneliti orang yang sedang meringis di depannya.
Bibir Juna perlahan menyeringai lalu terkekeh melihat orang itu kesakitan. Sudah banyak darah di sana-sini, bekas Juna melempar orang itu ke segala arah sebelum akhirnya tumbang di lantai.
"Aku paling tidak suka kalau ada sampah sepertimu yang menyakiti anggotaku!" maki Juna lantas menendang kepala laki-laki itu.
"Apalagi orang yang kau sakiti adalah Adikku!"
Sekali lagi dia melempar laki-laki itu tanpa ampun, hingga jatuh tertelungkup tidak berdaya.
"Mana kehebatanmu tadi? Huh?" tanya Juna seraya membawa langkahnya mendekat.
"Ah iya! tadi kau ingin membunuh Adikku, kan?" ucap Juna seraya menjambak rambut laki-laki di bawah kakinya.
BRUGH!
Suara hantaman keras di lantai membuat Juna menyeringai. Pelipis laki-laki di depannya itu makin banyak mengeluarkan darah.
"Tenang saja--- Kau tidak akan cepat mati." ucap Juna dengan senyum miringnya.
"Akan kubuat kau mati perlahan." lanjut Juna yang kembali menghantam kepala laki-laki itu ke lantai.
Juna bangkit dari tempatnya, lalu melangkah keluar dari pintu.
"Urus dia!" titahnya pada dua penjaga yang berdiri di depan pintu.
Setelah selesai membalas sakit hatinya, Juna melangkah santai di sepanjang lorong bangsal kosong yang berada di markasnya. Ponsel berkali-kali berbunyi di dalam saku celananya.
"Ada apa?" tanya Juna setelah meletakkan ponsel di telinga.
"HYUNG!! INI AKU HAEJIN! HYUNG DIMANA?" Haejin berteriak di seberang telepon.
Juna mengerutkan keningnya heran lalu melihat nama yang tertulis dilayar.
"Kenapa kau pakai ponsel Tuan Yun? Mana ponselmu?" tanya Juna heran mendengar suara adiknya di telepon tapi dengan nomor orang lain.
"Ponselku rusak, sedang diperbaiki. Hyung jawab dulu, hyung di mana?" rengek Haejin.
Percaya atau tidak, Juna senang mendengar adik bungsunya itu merengek tentang hal apapun.
"Aku di markas. Kenapa?"
"Aku menunggumu dari tadi!"
"Memangnya kau di mana?" Juna menekan tombol lift.
"Aku di depan markas, tapi hyung tidak ada,"
"Aku di ruang bawah tanah, sedang ada urusan."
"Aigoo, pantas saja aku tidak menemukanmu," rengek Haejin lagi.
"Tunggu, aku akan naik." balas Juna sambil masuk ke dalam lift yang sudah terbuka.
Haejin sedang berdiri bersandar pada kap depan mobil saat Juna menepuk pelan bahunya dari belakang.
"Ngapain ke sini? Bukannya kau harus istirahat?" tanya Juna seraya menyipitkan matanya.
"Aku bosan di rumah. Vano sedang ke rumah Ibu, aku sendirian." balas Haejin yang membuat Juna tersenyum tipis.
"Para penjaga, pelayan, dan staf lainnya, tidak kau anggap manusia?"
"Hiss, bukan itu maksudku. Aku sendirian di kamar, mereka semua sibuk, tidak ada yang bisa di ajak mengobrol."
"Kau itu kusuruh istirahat, bukan mengobrol."
"Tapi aku bosan hyung." ucap Haejin seraya melihat kemeja Juna yang sedikit ada bercak darah. "Itu darah siapa?"
"Darah tikus," jawab Juna singkat.
"Kau yakin?" Haejin melayangkan tatapan introgasi.
"Yah, sudah tidak usah dibahas, jadi apa tujuanmu ke sini?"
"Tidak tahu. Tapi paling tidak, aku tidak bosan di kamar."
"Kau mau ke mana sekarang?"
Haejin diam. Dia sedang berpikir tempat apa yang ingin dia kunjungi bersama kakaknya.
"Aku ingin menjenguk Yeongho hyung, Jaehwa hyung, Minhyuk hyung, dan Jiyoung." ucap Haejin seraya menghitung dengan jari-jemarinya. "Wow, banyak juga anak buah hyung yang masuk rumah sakit, ya." sambung Haejin takjub.
"Ck! Padahal dia sendiri juga sedang sakit, tapi malah menjenguk orang sakit," gerutu Juna seraya memasuki mobil yang dibawa Haejin. "Hey Tuan! Mana kuncinya?" teriak Juna sambil melongo dari pintu mobil.
Haejin buru-buru ikut naik sebelum kakaknya itu mengamuk. Ini salah satu moment langka dalam hidupnya bisa membuat seorang Juna menjadi supir pribadinya. Bibir Haejin tidak berhenti mengukir senyuman tipis saat di dalam mobil.
••••
Di suatu sudut yang gelap suara ponsel bergema memenuhi ruangan, Cho Hyunseok sedang duduk dikursi kebesarannya sambil merokok dan sebotol wine yang tinggal setengah di tangan kanannya.
"Halo," ucap laki-laki itu setelah mengangkat telepon.
Jeda sejenak, lalu suara berat di seberang sana berbicara tenang.
"Bagaimana? Sudah berhasil?"
"Rencana sudah dijalankan, boss."
"Bagus, kabari aku perkembangannya."
"Tapi..." Hyunseok menghentikan kalimatnya, seolah bibirnya mendadak kaku.
"Tapi apa?" nada suara di penelpon mulai naik dua level.
"Lee Juna berhasil memindahkan dua saudaranya ke rumah sakit lain, boss."
"Berengsek!! Kenapa kau selalu tidak becus menjalankan perintahku? Padahal kau hanya tinggal menyuruh anak-anak buah yang sudah kuberikan padamu!" teriak Si penelpon dengan emosi yang sudah di ubun-ubun.
Hyunseok diam sejenak. Dia sedang mengatur kalimat yang tepat untuk menyampaikan hal yang sebenarnya terjadi.
"Soal anak-anak buah itu, mereka tewas dihabisi Lee Chen bersama anak buah dari Yeongho, tidak ada yang tersisa."
"Ck! Mereka itu, kenapa selalu saja ikut campur urusanku dan Lee Juna!!" Si penelpon berdecih keras di ujung telepon. "Suruh Do-Hyun mencari informasi ke mana Lee Juna menyembunyikan mereka!"
"Do-Hyun tidak ada boss, dia..."
"Jangan bilang dia juga ikut mati?!" sambar Si penelpon sebelum Hyunseok menyelesaikan kalimatnya.
"Dia menghilang. Aku dan beberapa anak buah yang baru datang, hanya menemukan pistolnya di tangga darurat." ucap Hyunseok dengan hati-hati.
"Kalian semua benar-benar tolol!! Aku heran, kenapa aku mempekerjakan kalian!! Terutama kau, kenapa aku bisa menjadikanmu direktur di perusahaanku!! Aisshh-- kalau bukan karena Ayah, sudah kubunuh kau dari dulu!!" makian menyakitkan itu menerobos masuk ke dalam pendengaran Hyunseok.
"T-tenang boss, aku akan bereskan semuanya." ujar Hyunseok dengan gugup.
"Bagus! Urus semuanya, aku tidak mau ada mata-mataku yang menghilang lagi! Arggghhh... Do-Hyun itu--- ke mana dia?!!!"
"Apa aku boleh menghubungi Hendery boss?
"Ya haruslah bodoh!! Kau ini bisa tidak kalau sekali saja tidak membuatku marah?!!" sekali lagi Hyunseok menerima makian pedas.
"Baik boss, aku akan minta Hendery segera melacak keberadaan Do-Hyun."
"Kabari aku secepatnya, direktur Hyunseok."
Telepon ditutup, Hyunseok meneguk winenya dengan kasar lalu menghela napas panjang. Kepalanya sudah hampir pecah mengurus semua rencana-rencana yang tidak sesuai ekspetasinya.
"Ini pasti ulah Lee Juna!! Pasti dia yang sudah menculik Do-Hyun. Dasar Mafia berengsek!! Gara-gara ulahnya itu, aku dimarahi lagi!" geram Hyunseok lantas melempar botol wine yang dia pegang ke dinding, hingga puing-puing kaca bertebaran di lantai. Wajah tampannya memerah, antara marah dan mabuk. Tangannya menggulir kontak lalu meletakkan ponselnya di telinga sambil sesekali cegukan ringan.
"Hen, kau di mana?"
"Aku di markas. Ada apa Boss?" jawab Hendery di seberang sana.
Hyunseok membawa langkahnya ke sisi jendela, melewati pecahan beling yang dia buat tadi.
"Cari keberadaan Do-Hyun dan keberadaan dua saudara Lee Juna, kita harus segera mendapatkan Chip itu." titah Hyunseok dengan wajah datar.