Sementara itu di dalam ruangan VVIP di sebuah rumah sakit besar bernama Hydra Hospital, segelintir laki-laki sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
"Kau yakin?" seorang laki-laki dengan surai berwarna coklat menoleh ke arah Jiyoung yang sedang membaca komik dengan santai sambil tiduran di atas ranjangnya.
"Kau ini benar-benar dominan sekali dengan Haejin!" rutuk salah satu laki-laki yang paling jangkung di ruangan itu seraya merebut komik yang dibaca Jiyoung dengan kasar dan menyembunyikan di belakang punggungnya, lantas membuat laki-laki bersurai putih itu kaget.
Jiyoung terlihat meringis sembari mendongakan kepalanya menatap Juna.
"Hyung, kembalikan! Aku harus membaca puncak ceritanya."
"Hey tuan Park!! Bisa kau menurut apa yang aku katakan? Kau tidak akan sehat kalau membaca komik terus-terusan dan apa yang kau katakan tadi, kau ingin ikut dalam misi penyerangan?!" pekik Juna dengan nada sedikit naik.
"Kenapa kalian suka sekali membangkang, huh? Jangan macam-macam Park Jiyoung, kau harus istirahat!!" tegas Juna dengan tatapan kontradiksi.
Jiyoung menghela napas pelan mendengar omelan kakaknya. Dia memang sudah sering mendengar Juna mengomel, tapi kali ini rasanya dia tidak bisa diam dan membiarkan kakaknya itu melakukan balas dendam tanpa mereka.
"Begini hyung, aku tau kau bisa melakukan semuanya sendiri dan mungkin kau tidak membutuhkan Adik-adikmu yang sudah tidak berguna ini, tapi..."
"Ya! Enak saja, aku masih berguna, walaupun sedikit." protes Haejin tidak terima seraya memainkan gamenya.
"Terserah." ujar Jiyoung malas.
"Sudah kubilang kalian itu sangat dominan! Keras kepala!" ucap Juna mengalihkan pandang.
"Hyungku tercinta, hyung harus dengar ini sekali lagi ya. Hyung masih punya kami, walaupun hyung bisa melawan mereka, tetap saja mereka akan lebih dulu menyerangmu. Bagaimana kalau hyung mati konyol disana? Apa yang akan dikatakan Bibi Mirae kalau anaknya yang keras kepala ini mati sia-sia di tangan musuhnya sendiri? Jadi, itu sebabnya kami harus membantumu. Kau mengerti, Tuan Lee?"
Penjelasan panjang lebar dari Jiyoung itu membuat Haejin terkekeh, seperti sedang mendengar ibunya yang mengoceh. Sementara Jaehwa hanya bisa melongo mendengar laki-laki muda didepannya sedang memberikan nasehat kepada singa yang kelihatan tidak peduli itu.
"Hey Tuan Park!! Kau pikir aku akan membiarkan kalian terluka lagi?!" Bentak Juna dan membuat ketiga laki-laki di ruangan itu seketika menoleh sambil mengusap-usap dada.
"Ibu pasti akan sangat marah kalau itu sampai terjadi!" pekik Juna dengan nada lebih tinggi.
"Hyung tenanglah dulu. Kami akan baik-baik saja, percayalah." ujar Haejin.
"Dari mana kalian tau, kalau kalian akan baik-baik saja?!" bentak Juna lagi.
"Kami janji, kami akan baik-baik saja. Kau boleh memecat kami semua kalau ini tidak berhasil." ucap Haejin berusaha membujuk, lalu diangguki setuju oleh Jiyoung dan Jaehwa.
Juna diam sejenak. Walaupun dia dulu sering berjalan dan mengurusi perusahaan sendiri, tapi kali ini dia benar-benar membutuhkan mereka.
"Akan kupikirkan nanti. Kalian harus sembuh dulu, aku tidak suka melihat kalian terluka." ucap Juna lantas membawa langkahnya ke pintu.
"Jun, kau kecewa pada kami?"
Langkah Juna berhenti lalu berbalik menghadap Jaehwa yang melayangkan tatapan sendu.
"Kenapa aku harus kecewa?"
"Karena kami berakhir seperti ini? Dan dari tatapanmu, kami tau kau sangat kecewa."
"Tidak. Aku hanya kecewa pada diriku sendiri, karena tidak bisa menjadi boss yang becus menjaga anak buahnya." balas Juna lalu kembali melangkah keluar ruangan.
"Boss galak itu kenapa? Apa terjadi sesuatu di kepalanya?" tanya Haejin heran.
"Kurasa dia benar-benar takut kehilangan kita." timpal Jiyoung sembari memungut kembali komik yang Juna letakan didekat kakinya.
"Aku akan bicara dengannya," Jaehwa beranjak dari kursinya dan menyusul Juna.
••••
Juna berdiri di balkon rumah sakit sambil menyesap rokoknya yang baru saja dia bakar beberapa detik yg lalu. Matanya menerawang jauh menatap gedung-gedung pencakar langit di depannya.
"Untukmu," sebuah tangan terulur memberikan sekaleng kopi dingin dari vending machine.
Juna menerima kopi itu tanpa menoleh dan menyandarkan kedua tangannya di atas pagar kaca balkon.
"Jun, kau baik-baik saja?" tanya Jaehwa lantas memposisikan diri di samping Juna.
"Apa aku kelihatan baik-baik saja?" balas Juna datar.
"Hey, kau seperti orang asing, 𝘣𝘳𝘰. Kenapa kau jadi seperti ini?"
"Entahlah, aku juga tidak tahu. Aku hanya merasa bersalah sudah melanggar sumpahku untuk selalu melindungi kalian,"
"Tuan Lee, kami bekerja untukmu atas kemauan kami sendiri. Tidak ada yang memaksa itu, terlebih lagi kita ini keluarga. Kau ingat?" ucap Jaehwa seraya menumbuk pelan bahu Juna.
"Setiap perusahaan pasti memiliki saingan. Setiap pembalasan dendam pasti ada resikonya. Aku tau kau takut kehilangan kami seperti kau kehilangan paman Ha-Ru, tapi ini sudah menjadi rencana kita bersama sejak awal, kita akan mengambil alih Cerberus group lagi demi paman Ha-Ru." sambung Jaehwa kemudian.
"Cerberus berengsek itu!! mereka sudah sangat keterlaluan! Bahkan mereka membunuh banyak orang yang tidak bersalah dengan bom itu!" geram Juna dengan sorot mata tajam.
"Itu sebabnya kita harus mengatur rencana untuk membalas mereka."
"Oke-oke baiklah. kalian boleh ikut, tapi dengan syarat kalian harus sembuh, lalu kita susun rencana ini pelan-pelan." jawab Juna akhirnya mengalah.
Jaehwa berusaha menahan histerianya ketika berhasil meluluhkan Juna.
"Oh iya, aku sudah menemukan siapa pemilik nomor yang kau telepon waktu itu." ucap Jaehwa lalu mengeluarkan ponselnya.
"Tuan Hyunseok, selaku direktur di Cerberus Group."
Juna melotot kaget. "Hyunseok? kau yakin itu dia?"
"Iya itu yang tertulis disini. Ada apa, Jun?"
"Tidak. Tidak ada apa-apa." Juna kembali menyesap rokoknya dalam-dalam. Reaksinya tidak terbaca, namun raut wajahnya terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Juna menghela napas panjang lalu menginjak puntungan rokoknya yang dia jatuhkan di lantai marmer itu. Mereka berdua terdiam cukup lama, sibuk dengan pikiran masing-masing. Bahkan kopi yang ada di tangan Juna, juga belum dia minum sama sekali.
"Na, ada yang mau aku bilang," Juna memecahkan keheningan membuat Jaehwa menoleh pelan.
"Aku harus segera menemukan Youra dan membawanya tinggal bersamaku."
"Kau sudah gila ya?!!"
"Aku serius. Aku harus bertemu dia secepatnya," suara Juna masih terdengar datar. "Aku takut sesuatu yang buruk terjadi."
"Bagaimana kalau dia tidak mau?"
"Mungkin aku akan memaksanya atau bahkan menculiknya," jawab Juna santai.
"Mana bisa seperti itu, Tuan Lee. Kau akan membuat keributan di tempat tinggalnya kalau caramu begitu." bantah Jaehwa tidak setuju dengan rencana Juna.
"Coba beritahu aku, bagaimana caranya aku bisa membawa Youra tinggal bersamaku?" tanya Juna serius.
Jaehwa hanya diam. Dia bingung harus memberi tanggapan apa dengan ide laki-laki itu, apalagi Juna bukan orang bisa menerima bantahan untuk semua keputusannya, dan akan melakukan semua hal sesuai kehendaknya sendiri.