Sosok itu mengawasi dari kejauhan. Entah bagaimana caranya, tapi dia sudah mensabotase rem mobil Juna. Susah memang, mengingat begitu banyaknya para pengawal-pengawal Lee Juna yang selalu siaga. Tapi, seorang pembunuh bayaran sepertinya pasti selalu punya akal untuk menewaskan targetnya.
Potongan rem mobil itu sudah dibuatnya serapi mungkin, hingga siapa saja yang memeriksa itu sekarang pasti tidak akan ada yang menyadarinya. Dia sudah memperhitungkan antara jarak dan kapan kabel itu akan putus dengan sendirinya.
Paling tidak, mobil itu akan menabrak pohon di persimpangan jalan sebelum jalan raya. Atau, mungkin saja akan terjadi tabrakan maut di jalan berliku yang ada di pinggiran kota Seoul menuju kediaman Juna.
Tae Gu tersenyum jahat saat melihat mobil Juna baru saja keluar dari halaman parkir restaurant.
•••
Ketika dalam perjalanan pulang, raut wajah Juna jauh lebih datar dari sebelumnya. Suasana hatinya tiba-tiba saja memburuk saat mendapati ponselnya kehabisan daya. Berulang kali terdengar Juna mengumpat dari kursi kemudi.
Perjalanan itu berlangsung cukup lama dan membuat Juna bosan. Sebelah tangannya sibuk memainkan pemantik kesayangannya, memutar dan membuka-tutup benda itu.
Tepat saat hampir sampai di persimpangan, Juna tidak bisa menginjak remnya. Dan, mobil itu menabrak pohon di persimpangan jalan dengan cukup keras hingga membuat kap bagian depan mobil mengalami kerusakan parah.
Juna masih berada di kursi kemudi, ketika dia terperanjat kaget melihat apa yang terjadi. Dengan sisa tenaganya, dia mencoba mengangkat kepalanya yang berada di atas kemudi. Terasa ngilu dan sangat berat ketika rasa pusing tiba-tiba menghantam saraf kepalanya.
Juna berhasil membuka seatbelt yang sudah putus dari tempatnya, lalu menyeret tubuhnya keluar dari mobil yang tengah mengeluarkan asap dari bagian yang rusak parah itu.
Ketika sudah terbaring di atas tanah, dia bisa merasakan tubuhnya diangkat oleh segelintir orang. Namun, tidak bisa melihat siapa orang-orang itu, karena pandangannya mulai kabur dan godaan untuk memejamkan mata terasa sangat nikmat saat itu.
Sekejap kemudian, semuanya menjadi gelap. Juna tidak ingat apa-apa lagi.
••••
Haejin berlarian di koridor rumah sakit, saat dia menerima kabar buruk tentang kecelakaan yang menimpa Juna.
Dia menyeruak di antara orang-orang yang ada di koridor saat itu. Di depannya terlihat dua hospital bed didorong beriringan memasuki ruangan gawat darurat dan diletakan berdampingan di dalam ruangan. Disisa tenaganya, Juna bisa melihat tubuh yang terbaring di ranjang sebelahnya. Seorang suster tengah berusaha menghentikan pendarahan pada hidung gadis yang terbaring itu, sementara Si gadis sedang tidak sadarkan diri.
"Youra?" gumam Juna nyaris tidak terdengar, kemudian perlahan kesadarannya lenyap.
Hampir sejam lebih Haejin menunggu di depan ruangan tempat kakaknya sedang ditangani. Dia terus meminta pada Tuhan, agar tidak mengambil kakaknya yang keras kepala itu.
Dokter dan perawat yang menangani Juna baru saja keluar dari ruangan gawat darurat. Mereka serentak menoleh melihat ke arah Haejin yang refleks berdiri dari kursi tunggu.
"Bagaimana kakakku, dokter?" tanya Haejin saat dia sudah berada di depan dokter.
"Tuan Juna sedang istirahat. Kami sudah menjahit luka di kepalanya, dan untung saja stok golongan darah Tuan Juna masih tersedia di rumah sakit."
Haejin bersimpuh, dia senang karena Tuhan mengabulkan doanya.
••••
Haejin duduk di pinggir ranjang dan menatap wajah Juna yang masih tertidur. Terulang lagi, dia harus melihat kakaknya yang satu lagi, terbaring seperti ini.
"Hey Tuan Lee, Ayo bangun! kau tidak boleh mati dulu," ujar Haejin sambil tersenyum tipis.
"Adik idiot." suara itu terdengar serak dan pelan.
Haejin tersentak lalu mendekatkan telinganya pada Juna untuk memastikan suara itu benar milik laki-laki itu
"Jauhkan telingamu dariku, Lee Haejin." dengus Juna seraya membuka matanya perlahan.
Dia mengerjap pelan untuk beberapa saat, setelah pandangannya jelas, barulah terasa kepalanya berdenyut dan pusing.
"Hyung masih hidup! Ya Tuhan, terima kasih." histeria Haejin sambil memeluk kakaknya.
"Tentu saja, aku punya dua puluh nyawa. Kau tau?" Juna tertawa lirih.
"Tapi sayangnya, kesembilan belas nyawamu sudah terbang entah ke mana. Jadi tolonglah, mulai sekarang kau berhati-hati, karena nyawamu tinggal satu." balas Haejin tidak mau kalah.
Juna tercenung. Dia berusaha mengingat kembali apa yang terjadi padanya, tapi yang terakhir dia ingat hanya saat dia berusaha keluar dari mobil dan beberapa orang membawa masuk tubuhnya ke dalam mobil sebelum semuanya menjadi gelap.
"Apa yang terjadi?" tanya Juna yang mulai menyerah dengan ingatannya yang samar.
"Hyung menabrak pohon di persimpangan jalan dekat restaurant Yeongho hyung. Hyung tidak ingat?"
"Ah iya, remku tidak bisa digunakan saat itu," ucap Juna sembari mengingat potongan-potongan ingatan yang tertinggal.
"Kabel rem mobil Hyung putus. Changyi hyung dan Jaehwa hyung sudah melacak tentang kecelakaan itu," ucap Haejin menjelaskan.
"Siapa pelakunya?"
"Tae Gu. Dia yang sudah diam-diam masuk ke halaman parkir restaurant dan memotong kabel rem mobilmu."
Juna mendadak bisu. Dia ingat betul nama yang disebutkan Haejin tadi. Tae Gu, bukan nama baru di dalam dunia gelap yang Juna jalani. Dia sudah sangat hafal siapa saja pelaku kejahatan di dunia gelap itu, sejak pertama kali dia mulai terjun sebagai seorang mafia dan pemasok senjata ilegal.
Tae Gu, seorang pembunuh bayaran dengan penyakit mental psikopat yang akan melakukan segala macam cara untuk membunuh korbannya. Dia termasuk salah satu orang yang paling ditakuti, karena sampai saat ini tidak ada yang tahu bagaimana cara Tae Gu melancarkan rencananya yang terbilang sangat rapi itu. Bahkan, tidak seorangpun yang tahu siapa dia. Tidak hanya itu, hal yang menakutkan lainnya, Tae Gu akan terus mencari korbannya kalau Si korban berhasil selamat dari rencana yang dia buat.
"Kami tidak akan membiarkan dia membunuhmu."
Juna tersenyum mendengar itu. Hatinya menggeram marah, karena psikopat itu berani mencari masalah dengannya.
"Hyung istirahatlah. Akan kupanggilkan dokter." ucap Haejin seraya berdiri dari pinggir ranjang.
Juna menganggukkan kepalanya. Merasa harus melindungi keluarganya, dia berjanji akan tetap hidup demi mereka. Tae Gu dan siapapun itu yang membayarnya, akan mendapatkan balasan yang lebih menyakitkan.
Mereka sudah salah mencari lawan untuk di ajak berperang. Juna sama sekali tidak takut, jika harus berhadapan dengan psikopat sekalipun. Bagi Juna, semua yang ingin menghabisinya dengan cara apapun, berarti mereka sudah siap untuk mati dengan cara apapun.
Haejin sudah keluar dari ruangan, meninggalkan Juna bersama semua amarahnya yang biasanya akan meledak jika dia dalam kondisi sehat. Secepatnya dia harus segera keluar dari rumah sakit, dan mencari keberadaan pembunuh itu lalu menghabisinya.
Juna kembali menutup matanya ketika rasa sakit yang luar biasa mulai menyerang kepalanya lagi. Tidak berapa lama kemudian, dia tertidur lagi.
••••