Chereads / Mafia : The Mafia Boss / Chapter 23 - [MTMB : 23]

Chapter 23 - [MTMB : 23]

Sementara di ruang ICU, tubuh Minhyuk masih tertidur dengan Ventilator yang bertengger di atas hidungnya. Suara elektrokardiograf menjadi satu-satunya penanda bahwa pemilik tubuh itu masih bernapas.

Di sisi ranjang, dua orang suster sedang melakukan tugas mereka masing-masing. Satu suster sedang memeriksa tabung oksigen yang menjadi sumber pernapasan Minhyuk dan yang satunya lagi sedang memiringkan tubuh Minhyuk ke kiri dan ke kanan, agar tidak terjadinya bedsore.

"Selamat sore, Tuan Park." sapa kedua suster saat Jiyoung masuk ke dalam ruangan dengan kursi rodanya.

"Iya sore. Bagaimana keadaan Hyungku?"

"Detak jantungnya sangat stabil, semoga Tuan Minhyuk cepat bangun." jawab suster yang baru saja selesai memeriksa tabung oksigen.

Jiyoung memperhatikan mereka berdua yang terlihat sangat hati-hati merawat Minhyuk. Tubuh yang biasanya selalu kuat itu, sekarang tampak ringkih terbaring, bahkan tidak merespon sentuhan apapun pada tubuhnya. Setelah hampir lima belas menit memperhatikan, kedua suster itu sudah bersiap akan keluar dari ruangan.

"Kami permisi dulu, Tuan Park." ucap Si suster dengan ramah sebelum meninggalkan Jiyoung.

Jiyoung mengangguk mempersilahkan seraya mendekatkan kursi rodanya ke ranjang Minhyuk. Lama dia diam, meneliti wajah Minhyuk yang sedang tidur. Wajah dan bibir kakaknya terlihat sedikit pucat dari biasanya. Laki-laki bersurai putih itu menghela napas panjang, dan memegang lembut tangan Minhyuk.

"Hyung, ayo bangun. Hyung mimpi apa? Kenapa betah sekali tidur?"

Tidak ada jawaban apapun. Laki-laki yang dia ajak bicara itu sama sekali terlihat tidak peduli dan masih saja tenang dalam tidurnya.

"Kami semua merindukan Hyung." ucap Jiyoung dengan air mata yang mengalir deras.

"Ayo kita lakukan misi lagi! Ayo bertengkar lagi denganku. Ayo kita memanjat gedung-gedung tinggi lagi." suara Jiyoung mulai bergetar.

Klekk!

Pintu dibuka pelan. Dari balik pintu muncul Jaehwa sambil melangkah perlahan menghampiri Jiyoung yang sibuk mengusap air matanya.

"Aku mencarimu kemana-mana, ternyata kau disini." ucap Jaehwa sedikit mengomel pelan.

"Maaf hyung. Aku lupa beritahu." balas Jiyoung dengan suara pelan.

"Hey! kau menangis, huh?"

"Tidak. Mataku masuk debu." elak Jiyoung sambil mengalihkan pandang.

"Ya Park Jiyoung! Kau tidak bisa membohongiku. Tidak ada debu disini." ucap Jaehwa seraya mengacak-acak rambut Jiyoung.

"Aku merindukan Minhyuk hyung. Kapan dia akan bangun, hyung?"

Jaehwa menghela napas berat, dia juga merindukan kakak sepupunya itu. Tapi, dia sendiri juga bingung harus menjawab apa.

"Dia akan segera bangun, percayalah."

Tepat setelah Jaehwa menyelesaikan kalimatnya, pergerakan kecil mulai terlihat pada jari-jemari Minhyuk dan lama-kelamaan pergerakan itu semakin jelas hingga membuat mata Jiyoung berbinar.

"Hyung!!! Lihat, jarinya bergerak. Lihat!!" Jiyoung menepuk pinggang Jaehwa dengan antusias.

"Aku akan panggil dokter!" ucap Jaehwa sambil berlari keluar pintu.

Jiyoung masih memperhatikan jari-jemari kakaknya yang terus bergerak. Bibirnya tidak berhenti tersenyum disela air matanya yang kembali mengalir.

Kelopak mata Minhyuk mengerjap perlahan-lahan hingga akhirnya gradasi yang semula blur kini terlihat jelas. Putih. Terang. Lampu yang ada di atasnya. Lalu telinganya bisa mendengar suara Jiyoung yang memanggilnya beberapa kali dari sisi ranjang.

"...ung...yung.. hyung..hyung ini aku Jiyoung." suara Jiyoung semakin jelas.

Minhyuk menoleh dan melihat Jiyoung dengan mata sembab yang berdiri di sampingnya ranjang.

"Hey anak kecil! Kau menangis?" tanya Minhyuk dengan suara seraknya diiringi tawa ringan yang hampir tidak terdengar.

"Aku tidak menangis!" protes Jiyoung, sedangkan air matanya semakin deras mengalir.

"Heyy sudah, hentikan itu. Aku masih hidup, sudah jangan menangis lagi." goda Minhyuk sambil sesekali memejamkan matanya.

"Sebentar lagi dokter kesini, Jaehwa hyung sedang memanggilnya." ucap Jiyoung sambil mengusap air matanya lagi.

Hening. Minhyuk tidak menjawab sama sekali dan matanya kembali tertutup rapat dengan helaan napas pelan.

"Hyunggg!!" teriak Jiyoung histeris.

Spontan mata Minhyuk terbuka sempurna mendengar teriakan adiknya itu.

"Hey! hey! Kau ini kenapa?!"

"Aku pikir hyung koma lagi!"

"Aigo! Park uban ini, aku bisa koma lagi kalau kau mengejutkanku seperti tadi," ucap Minhyuk seraya mengusap-usap dadanya.

Jiyoung terkekeh senang mendengar Minhyuk mengomel. Dia sempat khawatir tidak bisa mendengar kakak sekaligus partner kerjanya itu mengomel lagi.

"Hyung!" panggil Jaehwa dari ambang pintu dan menghambur kepada Minhyuk sementara di belakangnya dokter Kai mengikuti bersama seorang suster.

"Saya periksa dulu, ya." ucap dokter Kai kemudian meletakkan stetoskop di atas dada Minhyuk.

Setelah memeriksa sedemikian rupa terhadap kesehatan Minhyuk, dokter Kai menulis hasil pada medical record yang diberikan suster.

"Kondisi tuan Minhyuk sudah stabil. Untuk saat ini harus istirahat yang cukup dulu sampai beberapa hari ke depan. Jika tuan Minhyuk sudah cukup kuat berdiri, sebaiknya coba latihan jalan dengan tongkat." ucap dokter Kai kepada Jaehwa dan Jiyoung.

"Untuk luka di kepalanya, bagaimana dokter?" tanya Jaehwa.

"Nanti akan kita lakukan pemeriksaaan lebih lanjut untuk mengetahui itu."

"Baik, dok." ucap Jaehwa sambil mengangguk paham.

"Kalau begitu, kami permisi dulu Tuan."

Setelah dokter Kai dan suster keluar dari ruangan ICU, Jaehwa dan Jiyoung kembali histeria di hadapan Minhyuk.

"Ya Tuhan, akhirnya hyung sadar." ucap Jaehwa sambil melipat kedua tangannya.

"Akhirnya, aku tidak jadi kehilangan partner menyebalkan ini. Ya Tuhan, terima kasih sudah mengabulkan doa kami." tambah Jiyoung di tengah kalimatnya.

"Kalian ini kenapa?! Apa aku begitu sekarat kemarin, huh?!" sungut Minhyuk menahan suara berisik yang mengganggu pendengarannya itu.

"Tentu saja iya, untung Hyung tidak geger otak." balas Jaehwa membenarkan.

"Setiap hari aku selalu berdoa, agar hyung tidak amnesia dan melupakan kami." sambung Jiyoung.

"Akhirnya kau jadi Adik yang manis juga, Tuan Park," ucap Minhyuk sambil tertawa lirih.

"Apa maksud kata "akhirnya" itu, huh? selama ini aku memang Adik yang manis. Dasar menyebalkan." bantah Jiyoung sambil berkacak pinggang.

"Siapa yang menyebalkan?"

Jiyoung menunjuk Minhyuk dengan bangga dengan tangannya yang diperban.

"Kau, hyungku yang terkasih, merupakan keledai menyebalkannya."

"Setidaknya, aku bukan 𝘈𝘥𝘪𝘬 dari seekor keledai menyebalkan." kata Minhyuk, menekankan kata 𝘈𝘥𝘪𝘬.

Jaehwa terbahak melihat kelakuan dua pasien rumah sakit di depannya seraya melangkah keluar ruangan meninggalkan mereka yang sibuk bertengkar itu. Jaehwa membawa langkahnya menuju balkon, dia akan menelfon Juna untuk mengabarkan kondisi terbaru dari Minhyuk.

Suara nada sambung terdengar saat Jaehwa meletakkan ponselnya di telinga. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya terdengar suara gesekan ponsel pada daun telinga, menandakan orang di ujung sana sudah mengangkat teleponnya.

"Jun, ada kabar baik." ucap Jaehwa saat telepon baru saja tersambung.

"Ada apa, Na?" tanya Juna di tengah ramai suara orang-orang yang sedang mengobrol di sekitarnya.

"Minhyuk hyung sudah sadar dari koma." antusias Jaehwa dengan senyum yang merekah.

"Lelucon baru lagi?"

"Aku serius. Kau cepatlah ke sini, sampaikan juga pada Yeongho hyung dan Haejin." anjur Jaehwa lantas memutuskan telepon.

Tangannya dengan cepat menghubungi Mirae, bibinya itu pasti akan sangat senang mendengar kabar ini.

"Bibi, Minhyuk hyung sudah sadar." ucap Jaehwa dengan bersemangat.

"PUTRAKU SUDAH SADAR? BILANG PADA MINHYUK, BIBI AKAN SEGERA KESANA!!" balas Mirae tidak kalah semangatnya, bahkan sangat bersemangat hingga membuat Jaehwa menjauhkan ponselnya dari telinga, walaupun sudah biasa dengan teriakan bibinya tapi Jaehwa merasa telinganya tetap tidak tahan mendengar itu.

"Iya Bibi, hati-hati di jalan." ucap Jaehwa sebelum telepon dimatikan Mirae.

Jaehwa memasukan ponselnya kembali kedalam saku celananya sambil mengusap-usap telinganya yang berdengung.

"Pantas saja Juna sangat takut menelpon Bibi Mirae." Jaehwa tertawa kecil lalu menggeleng-geleng karena teringat saat Juna berpura-pura tidur ketika ibunya menghubungi dia untuk mengomel.