"Hyung, lawan lebih banyak lagi!" seru Jaehwa yang terlihat sedang menghajar beberapa orang.
"Sudah kubilang, jangan memulai Na Jaehwa!" kesal Yeongho yang sama sibuknya. Terlihat sebuah luka gores belati di wajahnya.
"Aku tidak memulai, mereka yang lebih dulu memukulku," balas Jaehwa membela diri.
"HEY NA JAEHWA! kalau aku mati sekarang, aku akan menghantuimu seumur hidup!!"
"Hahaha, tenang saja hyung, aku juga tidak yakin akan selamat, kita akan mati bersama di sini." ujar Jaehwa sambil menendang orang yang akan menyerangnya dari belakang.
"Sial!!" umpat Jaehwa saat dia dan Yeongho melihat lebih banyak lagi orang yang datang dan mengepung mereka.
"Dari mana datangnya para brengsek ini?!!" tanya Yeongho seraya mendekatkan punggungnya ke punggung Jaehwa. Kedua laki-laki itu sedang memasang posisi pertahanan.
"Tenagaku sudah hampir habis Hyung." keluh Jaehwa karena sudah kelelahan melawan bodyguard yang terus-menerus bertambah banyak.
"Tahan sebentar lagi, bocah itu belum kembali." ujar Yeongho saat teringat Haejin yang belum kembali mengambil pelurunya.
Mereka berdua mulai menghajar lagi beberapa orang yang lebih dulu menyerang mereka dengan belati.
"Aish.." Jaehwa merasakan sakit di pergelangan tangannya ketika sebuah benda tertancap. Darah menetes deras bersamaan dengan belati yang terjatuh ke atas lantai. Perlahan konsentrasinya terganggu, tapi masih berusaha untuk tetap sadar.
"Jaehwa!! Awas di belakangmu!" teriak Yeongho lalu menarik Jaehwa kebelakangnya. Satu tendangan telak menghantam dada orang itu.
Jaehwa terduduk lemas karena kehilangan banyak darah. Yeongho berusaha melindungi adiknya itu, lalu menghajar sebagian orang yang berusaha mendekat.
Dorr!! Dorr!! Dorr!!!
Sontak semua perhatian seketika teralih ke arah sumber suara rentetan senjata api yang entah dari mana datangnya, tengah menembaki orang-orang yang menyerang dua orang yang sudah berdarah-darah itu.
"Kalian bersenang-senang?" tanya seorang laki-laki yang muncul dari pintu tangga darurat tepat di belakang orang-orang berpakaian hitam yang sedang membidik para bodyguard. Dia melewati orang-orang itu lalu mengangkat tangan kanannya, menyuruh orang-orang itu berhenti menembak.
"Pergi kau orangtua!! Sebaiknya kau di rumah, mengurus istrimu!!" ejek salah satu bodyguard dengan perawakan besar.
"Kau yakin mengusirku?" Si laki-laki menaikan sebelah alisnya.
"Jangan banyak omong. Pergi saja atau kau juga bernasib sama dengan orang-orang itu!" ancam Si bodyguard.
"Aku paling benci diusir!" balas laki-laki itu dengan nada tenang dan menahan pukulan yang dilayangkan ke arahnya dengan tatapan tajam yang terlihat dingin.
"Serang dia!!" teriak si pemimpin bodyguard tadi menahan rasa sakit di tangannya.
Sebelum mereka menyerang si penolong itu, dia sudah mengeluarkan dua buah revolver dari saku jasnya kemudian menembaki orang-orang di depannya tanpa ampun hingga habis.
"Terima kasih sudah mengingatkan pada istriku, itu sebabnya aku harus tetap hidup sekarang." ucap si laki-laki terkekeh pelan lantas menendang bodyguard yang sudah tewas di bawah kakinya.
Si penolong itu menghampiri Yeongho yang sedang melindungi Jaehwa dengan tubuh besarnya.
"Ayo, kita harus turun. Kalian harus mendapatkan perawatan."
"Paman Chen! Darimana Paman tahu kami di sini?" tanya Jaehwa seraya meremas kuat tangan Yeongho, menahan sakit di luka menganganya.
"Juna yang menghubungiku," jawab Chen sambil memasukan kembali revolvernya ke dalam saku. "Mereka anak buahmu kan, Yeongho?"
Yeongho melihat ke arah orang-orang berpakaian hitam di belakang Chen. Dia mengangguk membenarkan.
"Aku bertemu mereka di lantai dua, tapi sebagian anak buahmu sudah tewas di sana."
Yeongho mengusap darah yang keluar dari luka gores di wajahnya. Terasa sangat perih sampai membuat dia meringis. Diliriknya Jaehwa yang sedang mengatur nafas, untuk mengurangi rasa sakit di tangannya.
Chen menggamit tangan Jaehwa lalu meneliti luka sayatan belati itu.
"Lukamu cukup dalam, Nak. Lebih baik cepat kita obati sebelum lebih parah." Chen mengeluarkan sesuatu dari dalam saku lalu memotong rompi yang dipakai salah satu bodyguard yang sudah terkapar itu.
"Aku minta ini sedikit ya, terima kasih." ucap Chen lalu kembali ke tempat dua pemuda tadi.
Chen membungkus luka Jaehwa dengan kain yang dia potong tadi, agar darah cepat berhenti. Jaehwa hanya bisa meringis, menahan sakit yang lebih parah dari sebelumnya, karena Chen membalut luka itu lumayan kuat.
"Tahan sedikit, kita akan ke rumah sakit lain."
"Tidak, Paman. Jangan ke rumah sakit lain." tolak Jaehwa membuat Chen mengernyit bingung.
"Kenapa? Rumah sakit ini sudah sangat hancur, pasti tidak ada perawat yang bisa merawat kalian,"
"Kami harus memastikan keadaan Minhyuk hyung dan Jiyoung dulu," sambung Jaehwa.
"Tenang saja, Juna sudah memindahkan mereka ke tempat lain."
"Ha? Bagaimana caranya dia memindahkan Minhyuk yang sedang koma?" tanya Yeongho penasaran.
"Entahlah. Terkadang aku juga tidak tahu cara kerja Anakku sendiri."
"Paman tidak bertemu Haejin di bawah sana?" nada suara Yeongho khawatir.
Chen berpura-pura berpikir lalu menggeleng. "Tidak, mungkin sudah mati." jawab Chen santai.
Yeongho dan Jaehwa serentak melotot kaget, membuat Chen terkekeh pelan.
"Aku bercanda, mana mungkin aku biarkan mereka membunuh putraku."
"Ck! Candaan Paman membuat kami jantungan. Sekarang aku tahu dari mana sifat menyebalkan Juna diwariskan." kesal Yeongho seraya membantu Jaehwa berdiri.
Chen terkekeh lagi, dia senang menggoda keponakannya itu. "Biar kubantu."
"Jadi di mana Juna dan Haejin, Paman?"
••••
Renji memeriksa lagi daftar belanjaan yang dia buat, memastikan tidak ada belanjaan yang tertinggal. Dia sudah biasa berbelanja sendiri, tapi kali ini lebih terasa luar biasa karena Youra menemaninya.
Mereka berdua melangkah ke arah sebuah toko boneka, karena Renji akan membeli satu boneka untuk kado ulang tahun seseorang.
"Menurutmu yang mana?" Renji memegang dua boneka Teddy Bear berwarna coklat muda dan coklat tua.
"Yang ini bagus dan lebih manis." Youra menunjuk boneka berwarna coklat tua.
Renji mengangguk lalu melangkah ke kasir. Setelah selesai membayar, mereka kembali ke basement swalayan, untuk memasukan belanjaan ke dalam mobil Renji.
"Saatnya kita memasak!" seru Youra senang sambil bertepuk tangan kecil.
"Kamu bersemangat sekali." ucap Renji tersenyum.
Renji berjalan memutari bagian depan mobilnya, lalu duduk di kursi kemudi sambil memasang sabuk pengaman untuknya. Kemudian dia segera mengemudi pulang.
Hampir satu jam diperjalanan, akhirnya mobil Renji memasuki gerbang sebuah rumah bertingkat dua, berwarna kuning gading. Dia mengeluarkan belanjaan dari dalam bagasi, tidak lupa dengan boneka yang dia beli tadi juga dia bawa keluar dari dalam mobil.
"Ayo!" ajak Renji ketika menyadari Youra sedang menatap rumah mewah di depannya.
"Eh? Iya-iya." Youra tersentak, kemudian mengikuti Renji masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah, Youra melihat banyak sekali barang-barang mewah yang terpajang di seluruh ruangan. Lampu hias yang berada di atas kepalanya juga tak luput dari perhatian gadis itu.
Youra terkekeh kecil, dia sedang membandingkan rumah Renji dengan rumah susun yang dia tempati selama ini. Langkahnya berhenti di sebuah dapur luas, bernuansa hitam dan putih dengan meja bar di sisinya.
"Rumahmu besar sekali,"
"Oh, ini rumah pemberian orangtuaku," jawab Renji sambil mengeluarkan bahan masakan dari plastik. "Rumahku bukan di..."
Kalimat Renji terputus dengan suara ponsel yang berdering di kantong celananya. Dia lirik Youra yang masih menatap kagum dapurnya itu, lalu melihat kembali ke arah ponselnya yang masih berdering.
"Tidak diangkat?" suara Youra membuat Renji kaget. "Angkat saja."
Laki-laki itu menggeser tombol hijau ke atas, lalu meletakan ponsel di telinganya.
"Ya?" ujar Renji pada seseorang di ujung telepon.