Renji terdiam dengan ponsel masih berada di telinganya. Dia bingung harus berkata apa pada Youra tentang insiden di rumah sakit hari ini.
"Ya, saya mengerti." ucap Renji kemudian mengakhiri panggilan. Dia membalikan badan, lalu mengetik sesutu di ponselnya.
"Ada masalah, Renji?" tanya Youra yang sudah berada di samping Renji.
"T-tidak ada apa-apa. Hanya panggilan dari rumah sakit. Mereka kira, aku hari ini ada jadwal operasi." Laki-laki itu tersenyum gugup.
"Oh, kupikir ada sesuatu yang terjadi," Youra membawa langkahnya mendekati bahan-bahan masakan yang baru mereka beli tadi.
"Bisa kita mulai sekarang?"
"Ah iya, aku hampir lupa kita harus memasak." Renji mengambil wajan kemudian dia letakan di atas kompor listriknya.
Youra mendekati Renji, dia tertarik dengan benda di depannya. "Ini kompor?"
"Iya, kamu tidak pernah lihat?"
"Baru kali ini," Youra memutar manik matanya, mengingat sesuatu, tapi tetap tidak menemukan memori ingatan apapun di pikirannya.
"Youra, bisa tolong cincangkan bawang bombai? Aku akan membersihkan dada ayam ini,"
"Oke baiklah, aku ahli mencincang bawang bombai." jawab Youra bersemangat.
Mereka berdua tengah sibuk dengan tugas masing-masing. Tampak mereka sesekali bercanda dan selebihnya tampak fokus.
"Oh iya, Renji. Aku penasaran tentang keluargamu, mereka di mana sekarang?" tanya Youra memulai pembicaraan lagi.
"Aku juga bingung, mereka sering pergi kemana-mana, tidak pernah diam di satu tempat. Aku tidak tahu mereka di mana hari ini."
"Pasti orangtuamu punya kesibukan yang sangat banyak ya,"
"Begitulah, mereka punya bisnis dimana-mana, tapi aku tidak tertarik sama sekali dengan bisnis mereka." jawab Renji yang sudah selesai memotong dada ayam.
"Kamu sudah selesai mencincang bawang bombainya?" tanya Renji seraya melihat Youra yang sudah tidak memotong lagi.
Youra menyerahkan semangkok bawang bombai cincang pada Renji.
"Ada lagi yang bisa kubantu?"
"Tidak ada, aku hanya tidak sanggup mencincang bawang. Sekarang kamu duduk saja di kursi, tunggu masakannya selesai."
Youra mengikut saja semua yang diperintahkan Renji, dia langsung duduk di kursi bar yang berhadapan langsung ke arah Renji yang sedang memasak.
"Renji, kenapa tidak ikut orangtuamu mengelola bisnis?"
"Tidak menarik, terlalu melelahkan. Lebih enak menjadi dokter, bisa mengobati orang banyak."
Youra paham, dia tidak bertanya lagi. Laki-laki itu tengah serius memasak. Aroma daging ayam dan bawang putih menguar memenuhi dapur, hanya membayangkannya saja sudah membuat perut lapar.
"Kamu pernah masak Jajangmyeon sebelumnya?" tanya Renji seraya memasukan beberapa bahan lainnya kedalam wajan.
"Mungkin dulu pernah, atau mungkin belum pernah, aku lupa. Tapi Bibi tetangga sering mengantarnya untukku."
Terlalu banyak kemungkinan di pikiran Youra, dia benar-benar tidak ingat apapun tentang masa lalunya.
"Beberapa minggu lalu, temanku pernah datang juga membawa Jajangmyeon dan mengajakku minum-minum saat dia diterima kerja,"
"Minum apa?"
"Minum Soju katanya, tapi aku tidak ikut. Soju itu, apa itu rasanya enak?"
Renji spontan menoleh,
"Sebaiknya tidak usah, kamu akan mabuk kalau terlalu banyak minum."
"Kalau sedikit?"
Renji terdiam dan kemudian menghela napas panjang. "Kamu benar ingin minum?"
Mata Youra berbinar. "Kalau kamu mengizinkan,"
"Ya sudah, tapi hanya sedikit ya."
"Iya, aku janji hanya sedikit."
Renji tersenyum lalu kembali melanjutkan aktivitas memasaknya. Dengan telaten, laki-laki itu menata hasil masakannya di atas piring oval lalu menghiasinya agar terlihat bagus.
"Hore, sudah jadi." seru Youra sambil menepuk tangan kecil lagi, sebuah ekspresi spontan yang dia lakukan ketika senang.
Setelah selesai makan, Renji mengambil sebotol soju dari dalam kulkas. Deretan botol yang tertata rapi itu membuat Youra menganga.
"Banyak sekali? Kamu minum itu semua?"
"Tidak. Ini milik teman-temanku yang suka datang ke sini." jawab Renji sambil membuka tutup botol.
Hari sudah gelap dan mereka berdua sedang berada di ruang tengah. Renji sedang sibuk mengetik di laptopnya sambil melihat Youra yang sudah tertidur disampingnya. Sesekali gadis itu mengigau, lalu tertawa, khas seperti orang mabuk. Youra menghabiskan sebotol soju sendirian, padahal Renji sudah menyuruhnya berhenti.
"Padahal dia sudah janji hanya minum sedikit." ucap Renji.
Sekuat tenaga Renji berusaha menggendong gadis itu ke kamar. Setelah pintu kamar terbuka, dia letakan Youra di atas tempat tidurnya. Laki-laki itu tersenyum sebentar lalu melangkah keluar kamar.
"Ayah, jangan tinggalkan aku." Youra mengigau lagi.
Langkah Renji berhenti, lantas membalikan badan menghadap Youra lagi. Wajah cantiknya terlihat sangat lelah, sedangkan bibirnya tidak berhenti meracau menyebut ayahnya berulang kali. Terdengar sangat kasihan.
Renji teringat kabar yang diberikan pihak rumah sakit tadi, bagaimana jika Youra tau tentang itu? Apa yang harus dia katakan?
Pikiran Renji terus berputar, tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini.
"Maafkan aku, Youra." ucap Renji seraya keluar dari kamar.
Renji duduk di depan laptopnya. Tidak melakukan apapun selain melamun. Dia merasa bersalah, sudah membiarkan Youra mabuk berat disini, sedangkan ayahnya sedang berada di rumah sakit yang sedang menjadi tempat peperangan. Sebenarnya Renji hanya ingin Youra tetap tenang tanpa mengetahui kabar itu, dia takut kondisi kesehatan gadis itu semakin buruk.
Setelah berpikir lama, dia memutuskan menelpon seseorang. Dia tidak ingin ada sesuatu buruk yang terjadi pada ayah Youra. Gadis itu pasti akan sangat terpukul jika menerima kabar buruk tentang ayahnya.
"Bagaimana keadaan di sana?" tanya Renji setengah berbisik saat telepon sudah diangkat.
"Sudah diatasi oleh polisi, Tuan." jawab salah satu dokter yang berada di ujung telepon.
"Syukurlah." Renji menghela napas lega. "Bagaimana semua pasien? mereka berhasil diselamatkan?"
"Sebagian pasien tidak bisa diselamatkan dan sebagian yang selamat, sudah dibawa pergi ke rumah sakit lain dengan ambulance. Tapi..."
"Ada apa? ada sesuatu yang buruk?"
Suara ponsel terjatuh lalu tergesek dengan daun telinga lagi. "Keadaan Tuan Kim Haru..."
Renji menegakan duduknya. "Ada apa? Apa yang terjadi?" tanyanya panik.
"Beliau kritis,"
Jantung Renji seakan berhenti. Kepalanya benar-benar berputar, pusing, dan berdenyut tanpa henti. Paru-parunya terasa tidak bisa menampung oksigen lagi lalu terasa sesak.
"Sudah kalian periksa semuanya?" tanya Renji dengan marah dan khawatir yang sudah tercampur aduk.
"Sudah Tuan, tapi detak jantungnya masih melemah."
Laki-laki itu kembali terhenyak seraya menatap kosong dinding di depannya.
"Kami membutuhkan anda di sini, hanya anda yang bisa menangani ini." suara orang di ujung sana terdengar sangat bergetar.
Renji menutup laptopnya dan langsung menghampiri jas dokternya di atas sofa.
"Aku ke sana sekarang. Tolong jaga detak jantungnya, jangan sampai turun drastis."
"Kalian ada di rumah sakit mana sekarang?"
"Hydra Hospital."
Renji tertegun sejenak setelah mendengar nama rumah sakit itu, kemudian segera beranjak dari tempatnya duduk dan bergegas keluar rumah. Langkahnya terlihat sangat terburu-buru menuruni anak tangga.
"Tunggu aku! Pastikan kalian tetap memantau kondisi Tuan Haru."
"Baik, Tuan."