Suara nyaring Elektrokardiograf menyelimuti sebuah kamar di rumah sakit. Youra sedang duduk di samping ranjang, di sebelah seorang laki-laki koma yang kritis. Bibirnya terus bercerita apapun yang ingin dia ceritakan, walaupun laki-laki setengah baya di hadapannya tidak merespon sama sekali.
"Ayah tau? Aku bertemu dengan anak kecil tadi pagi di halte, anak yang manis. Anak itu bernama Aera, dia memberiku gula-gula. Dia bercerita, Ibunya bilang, gula-gula bisa menghilangkan rasa kantuk," seru Youra diselingi tawa kecil. "Sepertinya dulu aku pernah mendengar kalimat itu juga, apakah itu dari Ibu? Aku sangat susah mengingat sekarang, Ayah."
Matanya menatap sendu ke satu arah seraya mengusap lembut tangan ayahnya yang sedari tadi dia genggam itu. Setetes air mata mulai terjun bebas dari matanya tanpa dia sadari.
"Ah! Maafkan aku Ayah." tangan Youra mengusap cepat air mata di pipinya. Dia sudah berjanji pada ayahnya untuk tidak menangis.
Walaupun hatinya sudah lama ditempah untuk kuat dengan keputusan takdir, tapi terkadang dia masih merasa hatinya hancur saat mengingat keluarganya berantakan karena insiden tiga tahun lalu. Sebuah kecelakaan yang tidak pernah ingin dia ingat sama sekali, menjadi alasan yang merenggut kebahagiaannya bersama kedua orangtuanya.
Klek!
Suara pintu dibuka oleh seseorang, membuat Youra reflek menoleh ke arah asal suara. Seseorang dengan blazer putih, baru saja masuk dengan senyuman manisnya.
"Anda disini Nona Youra. Maaf aku mengganggu." ucap seorang dokter sembari melangkah ke arah ranjang pasien dengan medical record ditangannya.
"Tidak, dok. Anda ingin memeriksa Ayahku?"
"Aku hanya akan memeriksa hasil medical record Tuan Haru saja."
"Maaf, dok. Apa selama ini, Anda yang menangani Ayahku?" tanya Youra tiba-tiba saja penasaran. Pasalnya, baru kali ini dia bertatap muka dengan dokter yang merawat ayahnya.
"Bukan, aku baru saja menggantikan dokter Park yang pindah rumah sakit. Aku dokter Huang Renji. Kamu bisa memanggilku Renji, karena kita seumuran." jawab Renji dengan sopan.
"Aku belum pernah bertemu dengan dokter yang menangani Ayahku. Aku sibuk bekerja, jadi jarang sekali bertanya tentang perkembangan Ayahku."
"Oh, begitu ya." Renji tersenyum.
"Tadi kamu bilang, kita seumuran? Kamu tau dari mana?"
"Dokter Cho pernah memberitahuku dulu sebelum aku bekerja di sini."
"Oh iya, aku tau kamu! Kamu teman dokter Cho, kan? Tadi pagi dokter Cho datang ke sini untuk menemui temannya. Aku bertemu dengannya di lobby bawah." ujar Youra penuh semangat
Renji mengernyit bingung. "Dia ke sini tadi pagi?"
Youra memberi anggukan sebagai jawaban atas pertanyaan Renji. Lagi, dokter itu tampak bingung, sedangkan bola matanya memutar beberapa kali seperti sedang berpikir.
"Ada apa?" tanya Youra penasaran.
"Aku tidak bertemu dengannya tadi pagi."
Kali ini Youra yang bingung. Dia tidak mungkin salah dengar, sudah sangat jelas dokter Cho bilang akan bertemu dengan temannya.
"Atau mungkin dia punya teman lain di sini?"
"Kalau soal itu aku kurang tau. Seingatku, dia ke sini hanya untuk bertemu denganku dan dokter Park saja."
Youra hanya diam. Otaknya sudah sampai di atas batas dia bisa berpikir lebih, denyutan mulai terasa di sana. Sementara itu dokter Renji melanjutkan tugasnya memeriksa Tuan Haru.
"Aw!!" Youra meringis merasakan serbuan rasa sakit dikepalanya.
Renji yang baru selesai mengecek ulang medical record langsung menghampiri gadis itu dengan panik.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Renji sambil membantu Youra berjalan menuju sofa.
"Tidak apa-apa, sudah biasa seperti ini," jawab Youra seraya menyandarkan kepalanya ke sofa.
"Kamu harus banyak istirahat,"
"Aku akan istirahat nanti di rumah." Youra tersenyum tipis.
"Kondisimu bukan hal sepele, jadi jangan kurang istirahat."
"Kamu tau aku sakit?"
"Sudah jelas aku tahu, kamu menderita Amnesia yang disebabkan oleh kerusakan pada bagian sistem limbik yang ada di otak, akibat kecelakaan tiga tahun lalu." Renji tersenyum. "Benar, kan?"
Tidak ada jawaban apapun dari Youra, dia terlalu tidak bertenaga untuk melanjutkan pembicaraan.
"Kamu sudah makan siang tadi?" suara renyah itu bertanya lagi, setelah tidak ada jawaban untuk pertanyaannya yang tadi.
Youra menggeleng, dia belum makan apapun sejak tadi siang. Hanya sebotol mineral yang dia minum selama berada di dalam kamar rawat Ayahnya.
"Hiss! Kamu ini keterlaluan," kesal Renji seraya menghela napas panjang. "Nanti akan kubawakan makanan, jangan kemana-mana." ucap dokter tampan itu seraya keluar dari kamar rawat.
Youra masih terdiam di sofa. Matanya mengerjap pelan, melihat ke arah punggung Renjun yang sudah hilang di balik pintu.
Sementara itu, di lantai tiga terlihat dua orang laki-laki yang duduk di lantai marmer tepat di depan pintu ruang ICU dengan kegiatan mereka masing-masing.
"Aku tidak melihatnya satu harian ini. tumben sekali singa itu tidak menampakkan batang hidungnya," seorang laki-laki dengan surai panjang berwarna pirang ala Thor Avengers itu menoleh ke arah Jaehwa yang sedang memperhatikan layar MacBook sejak tadi.
"Aku bahkan tidak berhasil melacak semua benda yang dia punya. Aish, pasti dia menyuruh Changyi memblokir semuanya, agar aku tidak tau dia ada di mana sekarang. Dasar keras kepala." rutuk Jaehwa sambil mengambil beberapa kacang yang sedang dimakan Yeongho.
Hal itu membuat Yeongho melongo, pasalnya kacang itu langsung habis masuk ke dalam mulut Jaehwa, tanpa ada yang tersisa lagi di dalam bungkusnya.
"Hei, kau ini! Aku baru saja makan sedikit, malah kau habiskan!"
Jaehwa tidak peduli dengan omelan dari kakak sepupunya itu dan kembali menggulir layar MacBook tanpa rasa bersalah.
"Seorang pengusaha kaya raya seperti Yeongho, tega memarahi pemuda tampan seperti Na Jaehwa hanya karena kacang? Huh, keterlaluan!"
"Hey! kalian ini, sedang apa di depan pintu?!" Haejin baru saja datang dengan tampang tengil dan masih memakai seragam kebanggaannya.
Dua laki-laki yang sedang duduk lesehan itu menoleh serentak ke arah suara lembut yang sedang memarahi mereka. Mata mereka berdua bahkan tidak berkedip saat menilik penampilan Haejin.
"Kau---"
"Tidak perlu dilanjutkan, aku memang tampan memakai seragamku ini." potong Haejin dengan percaya diri.
Yeongho segera berdiri dan satu pukulan melayang ke atas kepala Haechan, membuat laki-laki itu melongo kaget.
"YA! Kau menginjak ponselku! Singkirkan kakimu!" bentak Yeongho yang sudah panik.
Haejin menoleh ke bawah sebelum mengangkat kakinya. Di bawah sepatunya teronggok sebuah ponsel sangat tipis yang sudah pasti tidak akan terasa oleh kaki Haejin yang sedang memakai sepatu bertapak tebal.
"Aku tidak sengaja. Siapa suruh ponsel Hyung tipis, lagian kenapa Hyung menaruhnya di bawah, sih?" protes Haejin yang tidak terima disalahkan.
Yeongho hanya mengelus dada, berusaha sabar. Karena dia sudah tahu, pasti akan kalah melawan Haejin sekalipun dia benar.
"Okey, terserahmu." ujarnya lalu memeriksa kondisi ponselnya dengan layar yang sudah retak seribu.
"Dari mana saja kau?" tanya Jaehwa tanpa mengalihkan pandangan dari layar MacBook.
"Menyelesaikan misi."
"Di mana Hyungmu yang tampan itu? Tumben tidak menghubungiku,"
"Dia di rumah, sedang bermain dengan Vano."
Jawaban Haejin berhasil membuat dua orang di hadapannya menoleh dengan tatapan tajam, membuat Haejin mengernyit bingung.
"Hey! hey! Kalian berdua ini kenapa? kesurupan setan rumah sakit? dari tadi melihatku seperti itu." kesal Haejin sembari mendudukan diri juga ke lantai marmer itu.
Alis Yeongho tertaut. "Kami baru saja dari rumah Juna, tapi dia tidak ada di rumah. Kau yakin dia sudah pulang?" tanya Yeongho penuh selidik.
"Dia baru saja pulang dari cafe, menyegarkan pikiran dari urusan kantor,"
Sudah pasti Haejin berbohong. Dia sudah berjanji pada Juna untuk tidak memberitahu mereka berdua. Tapi Jaehwa terus saja menatap lurus ke arahnya, membuat dia salah tingkah. Tatapan Jaehwa itu seolah berkata sesuatu:
"Jangan berbohong, Lee Haejin!"
Haejin berusaha mengalihkan kontak mata pada Jaehwa. Segala tingkah absurd dia lakukan. Mulai dari memperhatikan tapak sepatunya yang tebal, memperhatikan kancing bajunya yang berwarna loreng, sampai-sampai dia ikut memperhatikan layar ponsel Yeongho yang retak tak beraturan hasil dari perbuatannya.
Melihat itu, Jaehwa semakin yakin ada yang disembunyikan oleh anak di depannya ini.
"Kau berbohong 'kan?"
"Tidak. Mana mungkin aku bohong tentang itu, untuk apa?"
"Baguslah kalau begitu," Jaehwa tersenyum penuh arti sambil mengetik sesuatu. "Kau sudah lihat? Saint Laurent mengeluarkan jaket bomber terbaru dengan gaya vintage, tadinya aku akan memberikanmu kalau kau berkata jujur, tapi---"
"Itu sangat keren." seru Yeongho yang sedang melihat gambar sebuah jaket berwarna hitam dengan tulisan Heaven di bagian bawahnya, lalu di angguki setuju oleh Jaehwa.
"Sudah pasti. Apalagi kalau Haejin yang memakainya," sambung Jaehwa.
"Sudahlah, aku tidak bohong. Kalian terlalu tidak percaya padaku." bantah Haejin seraya mengeluarkan ponselnya.
Di dalam hatinya, sangat tergiur dengan apa yang Jaehwa bilang tadi. Dia sangat suka dengan jaket bomber, tidak heran jika dia hampir tidak punya jaket selain itu.
"Tuan Lee Juna, kau harus membelikanku jaket itu sebagai hadiah dari kebohonganku ini!" batin Haejin dalam diamnya.
Sedangkan dua orang di depannya hanya terbahak melihat ekspresi aneh dari laki-laki itu.