Youra mengerjapkan matanya dan mengusap-usap wajahnya yang kusut, karena mendengar bel rumahnya berbunyi.
Dia raih ponsel yang tergeletak di atas nakas untuk melihat jam, kesadarannya mendadak pulih ketika melihat jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Bergegas dia membukakan pintu, dan benar saja, Renji sudah berdiri di depan pintu rumah.
"Pagi," ucap Renji dengan senyuman ramahnya.
Youra merasakan wajahnya memerah malu dengan penampilannya sendiri yang masih acak-acakan.
"Pagi," jawab Youra canggung.
"Kita jadi pergi?"
"Eh? iya jadi, silahkan masuk. Aku siap-siap dulu." ujar Youra mempersilahkan Renji masuk.
Renji melepaskan sepatunya lalu melangkahkan kakinya masuk. Bibirnya tersenyum kecil sembari memperhatikan setiap sudut ruangan.
Matanya melihat ke arah foto keluarga yang berada di atas meja.
"Ini Ibumu?" tanya Renji.
"Iya, cantik 'kan?" jawab Youra bangga.
"Sangat cantik, mirip denganmu." balas Renji yang masih sibuk melihat jajaran foto di atas meja.
Youra langsung kehilangan kata-kata. Dia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang sekali mendengar jawaban Renji.
"Kamu tidak jadi ganti baju?" tanya Renji saat melihat Youra masih terpaku di tempatnya berdiri.
"J-jadi, sebentar."
Youra langsung berlari ke kamarnya, dia juga pasti sadar wajahnya yang memerah.
Renji tertawa pelan melihat tingkah gadis itu. Entah kenapa, dia merasa terhibur melihat Youra yang salah tingkah seperti tadi.
Hampir setengah jam kemudian, Youra keluar dari kamarnya dengan sedikit terburu-buru menghampiri Renji diruang tengah.
"Ayo, aku sudah selesai."
"Kita ke swalayan dulu ya, setelah itu temani aku beli sesuatu." ucap Renji mengatur rencana.
Youra mengangguk setuju lalu mengikuti langkah Renji yang sudah lebih dulu keluar rumah.
•••••
"Aku sudah di rumah sakit, hyung." ucap Haejin yang sedang memantau keadaan dari tempat persembunyiannya.
"Bagaimana?" suara parau tersiksa itu terdengar dari ujung telepon. Suara khas orang baru bangun tidur.
"Tidak ada apa-apa sejak tadi,"
"Ya sudah kalau begitu," balas Juna singkat, masih dengan suara yang sama. Terdengar Haejin berdecak di ujung sana.
"Hey boss! Kau ini sama sekali tidak terdengar seperti boss kalau seperti ini!"
"Telepon aku lima menit lagi,"
"Tidak ma..."
Juna mematikan telepon sepihak, dan sudah bisa dipastikan itu membuat Haejin menggerutu.
"Kalau bukan Kakakku, sudah kubunuh dia!"
"Kau ingin membunuh singa itu?" tanya sebuah suara.
Haejin melirik Si pemilik suara yang sudah berdiri di sebelahnya.
"H-hyung?" ucap Haejin tergagap.
"Jangan kaget begitu dong," Jaehwa muncul dari sisi lain lalu berdiri di samping Yeongho.
"Kalian berdua sedang apa di sini?"
"Kau yang sedang apa pagi-pagi sudah di sini?" tanya Yeongho balik.
"Hmm, ini aku sedang..." Haejin berpikir sejenak.
Jaehwa melangkahkan kaki menghampiri Haejin lantas merangkul laki-laki itu.
"Sedang menjalankan perintah Juna, huh?"
"Dari mana kalian tahu?"
"Dari alat penyadap yang kupasang di celanamu." jawab Jaehwa seraya memutar sebuah rekaman suara di ponselnya.
"Kami tidak akan membiarkan kalian menjalankan rencanan tanpa kami." timpal Yeongho.
"Kalau Juna hyung sampai tahu bagaimana?"
"Selama mulutmu tidak keceplosan, pasti dia tidak akan tahu."
"Tuan-tuan, bisa perhatikan ke sini sebentar?" Jaehawa melambaikan tangannya, menyuruh dua orang yang sedang mengobrol itu mendekat.
"O-ow, kita dalam masalah." ucap Haejin setelah melihat layar tablet pc milik Jaehwa.
Terlihat segelintir orang berpakaian hitam yang menerobos masuk lobby rumah sakit. Beberapa dari mereka membawa senjata api.
"Bersiap sekarang!" titah Yeongho pada anak buahnya dari earpiece. .
Suara tembakan membabi-buta terdengar dari lantai bawah. Ketiga orang itu melongokan kepala ke arah bawah.
"Sial! Kenapa banyak sekali!!" umpat Haejin seraya mengangkat senjatanya.
"Hey bocah! Tembak yang benar." ujar Jaehwa yang sekarang sibuk mengotak-atik tabletnya.
"Diamlah Na Jaehwa, nanti peluru ini bisa melayang ke arahmu." balas Haejin dibalik senjatanya.
DUAAARR!!!
Jaehwa bisa melihat bom meledak di lantai satu melalui tabletnya. Ledakannya cukup keras, hingga membuat orang-orang berhamburan panik menyelamatkan diri.
"Sial!! Mereka meledakkan bom!" umpat Haejin lagi.
"Mereka naik ke lantai dua," ucap Jaehwa.
Shoot!
Haejin menembak salah satu dari komplotan itu. "Satu lalat mati," ucapnya lalu mulai mengeker lagi.
Belum sempat Haejin menarik pelatuknya lagi, rentetan peluru dengan jumlah banyak menyerang mereka dari berbagai arah. Spontan mereka bertiga menunduk lalu bersandar di balik dinding.
"Darimana mereka tahu tempat persembunyian kita?" tanya Jaehwa dengan napas tersenggal.
"Sepertinya ada mata-mata di sekitar sini," tebak Yeongho lantas mengedarkan pandangan.
Tentu saja tebakan Yeongho tidak pernah salah, di balik pilar dekat bangsal, dia bisa melihat seorang laki-laki berpakaian serba hitam sedang berbicara melalui HT miliknya. Manik mata Yeongho bertemu dengan manik mata laki-laki itu.
"Apa kubilang?!!" geram Yeongho. Dia mengeluarkan pistol dari balik jasnya, dan mulai menembak laki-laki di ujung sana itu.
"Hey!! Kau sedang apa?!" tanya Haejin dan Jaehwa hampir serentak. Mata mereka berdua mengikuti arah mulut pistol Yeongho yang masih melepaskan tembakan dengan membabi-buta.
Satu buah granat dilempar ke arah mereka bertiga dari lantai bawah. Refleks Haejin melempar granat itu ke arah mata-mata yang sedang bersembunyi di dekat bangsal tadi.
"Aku harus turun, peluruku habis. Aku harus ambil dulu di mobil." ucap Haejin dan sudah pasti ditahan oleh dua orang di sampingnya.
"Kau gila, ya? Mau cari mati, huh?" maki Jaehwa.
"Kalau kau memang ingin mati, biar aku saja yang membunuhmu!!" sambung Yeongho tak kalah marahnya.
"Sebentar saja. Aku akan baik-baik saja, percayalah." ujar Haejin tanpa menurut perkataan dua orang yang sedang memarahinya itu.
Dia berlari ke pintu tangga darurat, lalu menghilang di balik pintu.
Sementara di lantai bawah keadaan sudah kacau, pilar-pilar rumah sakit sudah banyak yang hancur. Lantai bawah sudah terlihat sepi. Lenggang. dan terlihat beberapa orang tergeletak bersimbah darah di sana.
Juna menghela napas panjang saat melihat situasi itu. Dia langkahkan kaki memasuki lobby rumah sakit yang sudah berantakan, di belakangnya terdengar suara sirine ambulance dan polisi yang sedang membantu mengevakuasi korban.
"Kupastikan mereka akan membayar perbuatan mereka dengan sangat mahal!" batin Juna.
Di tangga darurat, Haejin masih menuruni anak tangga dengan terburu-buru.
Tiba-tiba saja sebuah pukulan menghantam tengkuknya, membuat dia terjatuh. Haejin bisa merasakan kepalanya sangat pusing dan rasa sakit di tengkuknya.
"Akhirnya kita bertemu ya, Haejin. Oh, atau aku harus memanggilmu Tuan Sniper?"
Seseorang menuruni tangga, menghampiri Haejin yang masih setengah sadar. Pandangannya kabur sehingga tidak bisa melihat orang itu dengan jelas.
"Bagaimana rasanya? Sakit? Bagaimana kalau aku menembakmu seperti kau menembak orang-orang yang kau bunuh? Kau ingin tau sakitnya seperti apa?" laki-laki itu menginjak perut Haejin dengan cukup kuat, membuat Haejin meringkuk di tempat dia berbaring.
"BERENGSEKKK!!" teriak Haejin disisa tenaganya. Kepalanya benar-benar terasa lebih pusing daripada tadi. Dia bisa merasakan sesuatu mengalir dari pelipis dan hidungnya.
"Masih bisa teriak rupanya," orang itu terkekeh.
Sedangkan Haejin sedang menahan sakit di sekujur tubuhnya, dan terutama di bagian perutnya yang diinjak.
"Kau kesakitan Tuan Sniper?" tanya orang itu seraya melepas pijakan dari perut Haejin.
"Akan kubantu mempercepat kematianmu," ujar orang itu setelah merogoh sebuah pistol, lalu dia todongkan ke hadapan Haejin yang sudah tidak berdaya.
Dorr!!
Suara tembakan bergema di tangga darurat. Haejin merasakan tekanan di perutnya lebih berat daripada saat tadi. Tubuh orang itu ambruk menimpa badan Haejin.
"Kau ini benar-benar tidak menurut! Sudah kubilang, telepon aku lima menit lagi!" suara khas Juna terdengar dari ujung anak tangga.
Dengan pandangan kaburnya, Haejin bisa melihat Juna berlari ke arahnya.
"Hyung," ucap Haejin tersenyum lalu menutup mata.