"Terimakasih," Ayesha tersenyum. "Aku dan mas Gala akan pergi untuk membeli beberapa makanan untuk kita."
Menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah yang berat membuat Ayesha tampak seperti patung berjalan.
"Semuanya sudah baik-baik saja." Terdengar suara Manggala menguatkannya, seketika Ayesha memeluk laki-laki yang memiliki dada lebar dan berotot itu serta matanya langsung menumpahkan air yang sangat deras.
"Aku sungguh takut jika sesuatu terjadi padanya Mas, Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Nehan akan tumbuh tanpanya."
Masih sangat hangat di benak mereka kepergian Aditya yang begitu mendadak seolah mengukir trauma yang besar.
"Baiklah… sekarang semua sudah terkendali. Gendis juga baik-baik saja dan kamu juga harus istirahat." Sembari menggandeng erat tangan lembut istrinya berjalan kembali menyusuri koridor rumah sakit yang senyap.
***
Sementara itu Rayyan yang terlihat sangat lelah, karena menempuh perjalanan panjang dan belum sempat untuk beristirahat. Merebahkan tubunya di atas shofa.
Tiba-tiba terdengar suara ponsel bordering memecah keheningan di ruangan itu. Segera Rayyan meraih ponsel yang ada di dalam saku celanya.
"Hallo sayang, kamu kapan pulang? Lusa aku ada undangan party dan temanku juga mengundang kamu," terdengar suara seksi Aretha Kaneishia langsung berbicara tanpa memberikan kesempatan Rayyan untuk menyapanya.
Rayyan menghela napas dalam mendengar perkataan istrinya. "Aku pikir kamu menelpon karena merindukan suamimu ini." Batinnya.
"Sayang… Kamu kan tahu, kalau aku tidak pernah cocok untuk ikut bergabung di dalam party bersama teman-temanmu," ucapnya dengan lembut.
Rayyan tidak pernah sekalipun berkata kasar kepada Aretha. Walaupun dia sangat tidak menyukai sikap Aretha yang begitu angkuh. Namun, dia selalu berusaha menegurnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
"Yah… aku sudah tahu kamu akan bilang begitu! Namun, aku tetap menelponmu karena mereka begitu mendesakku!"
"Sayang…"
"Aku sudah sangat mengantuk, sebaiknya aku tidur sekarang dan kamu juga istirahat mas," dengan santainya Aretha menyela ucapan suaminya tanpa ada rasa bersalah dihatinya.
Tanpa menanyakan sedikitpun tentang Rayyan dia menutup panggilan teleponnya. Dia benar-benar wanita yang sangat angkuh.
"Aretha apakah di hidupmu hanya ada party dan teman-temanmu saja. Lalu bagaimana denganku!" benak Rayyan terasa berat setelah berbicara dengan Aretha.
Wanita yang dianggapnya rumah yang hangat ternyata rumah itu berdindingkan balokan es yang tidak akan mencair, walau bagaimanapun dia berusaha untuk menghangatkannya.
Sebelum kembali istirahat dia mencoba memastikan aliran infus berjalan dengan baik, akan tetapi tidak sengaja mata lelahnyan memandangi wajah yang tadinya sangat pucat kini mulai tampak sedikit memerah, menandakan kondisi siempunya mulai berangsur pulih.
"Betapa beruntungnya suamimu memiliki istri yang lembut dan penyayang sepertimu." Batinnya.
Rayyan menarik napas dalam teringat akan sikap istrinya yang tidak pernah bisa menghargai dan menghormati dirinya sebagai kepala rumah tangga.
"Nasibku! Menikahi wanita yang memiliki kesuksesan luar biasa, sehingga dia lupa bagaimana cara memperlakukanku suaminya dengan baik." Gumamnya seolah menyesali takdir yang telah dipilihnya.
Rayyan hanyut dalam suasana yang hening serta, jantungnya berpacu sangat kencang seperti kuda-kuda yang sedang berlarian.
Hasrat nya untuk menyentuh pipi mulus milik Gendis pun semakin membara, darahnya mengalir sangat deras sampai-sampai dia bisa merasakan hangatnya aliran darah ditubuhnya.
Sadar bahwa tubuh dan otaknya sedang tidak sejalan diapun pergi untuk menghirup udara malam diluar, sembari meredakan hasratnya yang tiba-tiba muncul tanpa diduga.
Dalam hening terlintas kembali apa yang telah terjadi beberapa jam yang lalu, saat dia spontan menggendong Gendis dan berlari menuju taksi.
"Bodohnya aku! Oma Nehan pasti berpikir aku laki-laki yang kurang ajar karena sembarangan menggendong putrinya tanpa meminta izin."
Rayyan yang duduk dikursi tunggu yang ada dikoridor rumah sakit, menundukkan kepalanya dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
"Itu Rayyan kan mas?" Ayesha yang tengah berjalan menuju ruangan melihatnya.
"Iya, mungkin dia sangat lelah sampai tertidur di luar,"
"Hai…"
Rayyan sedikit terkejut mendengar suara laki-laki menegurnya, karena larut dalam pikirannya sendiri.
"Sedang apa kamu diluar? Kenapa tidak istirahat didalam saja." Manggala menyamainya duduk di kursi koridor.
"Aku hanya cari angin malam saja, mana tau bisa segar." Dia berusaha menutupi pikirannya yang kalut dari temannya.
"Mari kita makan, tadi mas Gala memilihkan beberapa lauk untuk mas Rayyan." Ajak Ayesha yang sudah membuka pintu kamar rawat inap Gendis.
Manggala mengetahui dengan jelas apa yang berusaha disembunyikan oleh Rayyan. Dia sangat mengenal temannya itu, jika beban pikirannya terlalu banyak dia akan menyendiri.
"Hai… Kamu sudah bangun." Ayesha tersenyum bahagia saat masuk kedalam ruangan melihat sahabatnya sudah membuka matanya.
"Duhh… Masih sedikit pusing. Tapi… aku sangat lapar sekarang." Mendengar rengekan manjanya membuat Ayesha sungguh benar-benar bernapas lega.
"Iya Nona Gendis yang cantik, aku sudah membelikanmu makanan yang harus kamu makan dan tidak boleh menolak."
"Jangan bilang kalau kamu membelikanku bubur,"
"Ya… Anda sangat benar, kamu harus memakan makanan seperti ini sampai kamu benar-benar pulih."
"Ayesha, apa kamu ingin aku mati lebih cepat! Ini sudah jam berapa? Bubur itu dimakan saat sarapan bukan untuk makan malam."
Kali ini dia benar-benar menangis karena dia harus menyantap makanan yang paling tidak disukainya sedari kecil.
Mereka berdua bertingkah seperti anak kecil. Tanpa disadari bahwa kedua lelaki itu sedang mengamati mereka dengan tersenyum geli.
Gendis yang tersadar melihat Rayyan dan Manggala tersenyum seolah mengejeknya menunduk dan tersipu malu.
"Begini kalau mereka udah bersama persis seperti Tom dan Jerry." Manggala berusaha menjelaskan kepada Rayyan akan tingkah keduanya saat bersama.
Rayyan hanya tersenyum manis mendengar perkataan Manggala.
"Kenapa kamu tersenyum seperti itu? Apa kamu sedang meledekku sekarang!" dengan sedikit emosi dia memarahi Rayyan.
Rayyan sangat terkejut mendengar Gendis memekik padanya. Namun dia kembali tertawa karena melihat ekspresi wajah seperti bayi yang sedang mengamuk.
"Hei… Non Gendis sudah bisa marah-marah sekarang! Sudah sehat ya?" Ayesha meledeknya sembari menyuapi nya bubur.
"Ayesha tolong dong… Kamu kan tahu aku sangat sangat sangat tidak menyukai yang namanya bubur."
Namun, rengekannya kali ini tidak akan menggoyahkan kegigihan Ayesha untuk memberikan bubur sebagai makan malamnya.
"Kenapa kalian menertawaiku."
Dia benar-benar menangis karena merasa sangat sedih, seperti anak-anak yang sedang meminta sesuatu tetapi tidak diberikkan oleh orang tuannya.
Hatinya begitu kesal sehingga dia menangis seperti bayi.
"Berikan saja makananku ini." Rayyan mulai iba melihatnya menangis karena dia melihat bahwa Gendis benar-benar tidak menyukai bubur itu.
"Eitss… Tidak ada yang boleh jadi pahlawan berkuda putih saat ini, karena Nona Gendis masih bermaslah dengan perutnya." Ayesha yang tetap setia tanpa tergoyahkan masih menyuapi bubur itu.
Melihat tatapan Gendis yang seolah meminta bantuan Manggala hanya bisa berpura-pura tidak melihat, karena dia tidak mau terjebak di antara mereka berdua.
Rayyan yang luluh dengan tatapannya mencoba bernegosiasi kepada Ayesha dan akhirnya Gendis mendapatkan makan malam yang diinginkannya.
"Makasi mas Rayyan, kamu emang pahlawan sejati tidak seperti dia."
Gendis meledek Manggala dengan ekor matanya. Akhirnya dia menyantap makananya dengan sangat bahagia.
Rayyan tersenyum manis melihat sisi lain dari wanita yang selama ini terlihat sangat cuek, ternyata memiliki tingkah yang manis.
Dengan suasana yang riang mereka menyantap makan malam bersama serta melewati malam yang panjang di dalam ruang rawat inap.