"Anak-anak istirahat dulu ini mbak SIh sudah menyiapkan minuman segar." Teriak Bhanuwati pada para pria dan cucunya yang tengah asyik bermain bola kaki.
Gendis tersenyum bahagia melihat Nehan yang begitu senang. Matanya yang melihat Nehan secara tidak sengaja mengalihkan pandangan kepada Rayyan.
Yang ternyata juga sedang menatapnya sembari berjalan mendekati saung, dengan sekejab jantungnya berdetak sangat cepat seperti ombak yang sedang berkejaran.
"Kenapa hati aku selalu berdebar seperti ini saat berada di dekatnya? Aku tidak boleh seperti ini." Batinnya.
Rayyan memandang dengan lembut dan didalam hatinya juga merasakan hal yang sama. Dia berusaha menyangkal perasaan itu, namun hatinya tidak dapat bekerja sama dengan baik.
"Sayang kamu pasti lelah ya, ini minuman kamu." Ucap Ayesha.
"Rayyan ini," Ucap Bhanuwati sembari memberikan segelas jus buah segar.
"Terimakasih tante."
"Semoga kamu suka jus nya."
Rayyan tersenyum manis pada Bhanuwati, sesekali pandangannya kembali kepada Gendis yang tengah memberikan minuman kepada Nehan dan Arka.
Persis seperti ABG yang baru mengenal cinta. Mereka berdua berusaha menutupi dan menyangkal perasaan satu sama lain. Mereka hanya saling melempar senyum jika tidak sengaja beradu pandang.
"Apa kalian menyukai tempat ini?" ucap Bhanuwati.
"Tempat ini sungguh terasa nyaman sekali tante, saya sangat menyukainya." Jawab Rayyan yang sesekali tetap mencuri pandang kepada Gendis.
"Iya benar sekali yang kamu katakana Yan, karena aku juga sangat menyukai suasana disini." Manggala menambahkan.
"Jika kalian memang menyukai tempat ini sering-seringlah datang kesini." Sahut Bhanuwati.
"Maksud mama?" Gendis bingung dengan perkataan ibunya.
"Mama tidak ada maksud apa-apa sayang. Kalau begitu sekarang mama masuk dulu ingin melihat Mbak Sih sudah menyiapkan makan malam atau belum."
"Aku ikut ya ma…" ucap Gendis.
"Jangan, kamu disini saja bersama Nehan dan yang lain."
"Baiklah." Sahutnya sembari menganggukkan kepalanya.
"Sha sepertinya mama sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya tampak sedih."
"Iya Ndis, sepertinya dia teringat seseorang!"
"Ya… aku tahu siapa yang sedang dia pikirkan saat ini. Itulah sebabnya aku tidak pernah bisa memaafkannya karena selalu membuat mamaku bersedih."
"sebaiknya kita sebagai anak mencoba memahami sedikit tentang yang diinginkan orang tua." Ucap Rayyan.
"Dan berikan mereka waktu untuk menetralkan perasaannya karena di usia seperti ini mereka akan menjadi lebih sensitive tentang segala hal."
"Maaf kalau saya lancang sudah berbicara seperti in." lanjutnya.
"Oh… tidak masalah Mas Rayyan," ucap Ayesha dengan lembut.
Gendis yang biasanya marah jika ada orang mencoba untuk menasehatinya. Namun kali ini dia hanya diam dan seolah mencerna apa yang di ucapkan Rayyan.
"Belakangan ini mama memang sangat sensitive, apalagi semenjak Mas Aditya meninggal. Ternyata aku sangat egosi dan tidak pernah mencoba mengerti tentang hatinya." Ucap Gendis dalam hati.
Tanpa sadar air mata membasahi pipinya."Ma kenapa kamu menangis? Apa kamu masih merasakan sakit?" ucap Nehan yang khawatir.
"Nehan sayang mama kamu bukan menangis, tetapi matanya sedang kelilipan." Rayyan mencoba menenangkan Nehan.
"Kalau begitu aku akan mengambilkan mama tisu di dalam,"
"Aku ikut ya." Ucap Arka yang juga mengikuti langkah Nehan.
"Ndis kamu kenapa?" Ayesha mendekatinya setelah Nehan beranjak pergi.
"Aku hanya teringat sesuatu saja Sha."
"Aku pikir sakit kamu kambuh lagi."
"Makasi ya mas Rayyan kamu sudah menenangkan Nehan, mungkin aku terlihat sangat lemah dimatanya sehingga dia begitu mengkhawatirkanku."
"Nehan bukan menganggap kamu lemah, dia hanya berusaha menjadi pelindung kamu." Ucap Rayyan.
"sayang aku ingin ke toilet sebentar," ucap Manggala sembari mengedipkan matanya.
Seolah mengetahui isyarat itu Ayesha juga mengikuti langkah suaminya meninggalkan Rayyan dan Gendis mengobrol berdua di saung.
Saat berpapasan dengan Nehan dan Arka mereka menggendong anak-anak itu kembali masuk kedalam dan memebrikan waktu kepada Gendis dan Rayyan.
"Nehan berusaha untuk melindungiku? Memangnya untuk apa dia berpikir begitu, dia masih terlalu kecil untuk mampu berpikir begitu mas." sahut Gendis.
"Kamu memang benar! Akan tetapi, kamu melupakan satu hal yaitu Nehan juga seorang laki-laki." Ucap Rayyan.
"Nalurinya sebagai laki-laki akan muncul jika orang yang disayanginya merasakan kesedihan atau kesakitan." Lanjutnya.
Gendis mengangguk-anggukkan kepalanya memahami tujuan ucapan Rayyan padanya.
"Ternyata kamu banyak mengerti tentang karakter anak ya Mas, malah aku yang tidak mengenal karakter anakku sendiri."
"Tidak begitu juga kok, aku hanya mencoba melihatnya sesame laki-laki."
"Oh iya, kamu benar sudah tidak merasakan sakit sama sekali di perutmu?" tanya Rayyan.
"emm." Jawabnya sembari menganggukan kepalanya.
"Syukurlah kalau begitu! Ini bukan minuman dingin kan?" Rayyan memegang gelas jus Gendis untuk memastikan minumannya sesuai dengan anjuran dokter.
Gendis menatapnya dengan dalam dan Rayyan menyadarinya, "Apa kamu juga ingin menjadi pelindungku sekarang?"
Pertanyaan yang dilontarkan wanita ini membuat Rayyan menjadi bingung. Dia menjadi salah tingkah dihadapan Gendis.
Melihatnya seperti itu Gendis hanya tersenyum dan berkata, "Tidak semua laki-laki bisa melindungi apa yang diinginkannya."
"Aku ingin berbagi pundak jika kamu mengizinkan." Ucap Rayyan sembari tertunduk tidak memiliki keberanian untuk menatap Gendis.
"Kamu harus memikirkan kembali ucapanmu itu Mas, karena pundak ini begitu berat bahkan jika kamu mencoba untuk meringankannya aku takut malah kamu yang akan terhimpit."
"lagipula dirumahmu sudah ada bidadari yang selalu menantikan kehadiranmu, cukuplah dia saja yang menjadi prioritasmu."
"Tapi, saat ini aku tidak bisa membohongi perasaanku Ndis. Namun jika kamu tidak bersedia untuk berbagi denganku itu adalah hakmu dan aku hanya bisa mengikuti keinginanmu."
"Mas, aku sangat berterimaksih atas perhatian kamu padaku juga Nehan. Namun aku tidak ingin menjadi perusak rumah tangga orang lain hanya karena mementingkan perasaan sendiri."
"Tunggu! Barusan kamu bilang tidak ingin mementingkan diri sendiri? Maksudnya kamu…"
"emmm… sepertinya hari sudah mulai gelap, sebaiknya kita masuk sebelum mereka memiliki pemikiran aneh tentang kita." Sembari tersipu malu Gendis berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
Rayyan hanya tersenyum manis melihat wajah Gendis yang mulai memerah. "Baiklah mari kita masuk."
Gendis mempercepat langkahnya berusaha berjalan lebih cepat dari Rayyan, dia tidak ingin terlihat begitu akrab dengan Rayyan di hadapan keluarganya.
Dia berjalan menuju kamarnya terlebih dulu, dan hanya menyapa semua orang yang tengah berkumpul diruang keluarga dengan senyuman manisnya saja.
"Hey, kalian membicarakan masalah apa? Sepertinya serius sekali." Tanya Manggala kepada Rayyan yang baru tiba diruangan itu untuk duduk bersama.
"Bukan masalah yang serius, ya… Ngobrol ringan saja."
"wahh, jagoan om sudah wangi." Dengan lembut dia mengangkat Nehan ke pangkuannya.
"Nyonya makan malam nya sudah siap."
"Terimakasih mbak Sih."
Sementara dikamarnya Gendis berusaha menetralkan debaran jantungnya, dia tidak menyangka mulutnya bisa menanyakan hal yang tidak semestinya kepada Rayyan.
"Kenapa aku harus menanyakan itu padanya, ya tuhan kenapa aku harus menghidupkan api yang sengaja aku elakkan." Batinnya.
Dia yang tengah duduk di depan meja rias dan menatap dirinya sendiri di cermin." Kenapa kamu bodoh sekali Ndis, akhirnya kamu terjebak sendiri oleh kata-katamu sekarang." Ucapnya pada cermin yang memantulkan bayangannya.