"Pagi yang cerah." Ucap Bhanuwati kepada Rayyan yang tengah duduk melamun di taman rumahnya.
"Eh… iya tante, udaranya juga segar sekali."
"Tante lihat kamu duduk sendiri disini dan kelihatannya kamu sedang memikirkan suatu hal yang sangat serius." Ucap Bhanuwati sembari duduk menemani Rayyan.
"Oh… Manggala sedang bersiap tante jadi saya menunggunya disini," sahutnya sedikit dengan sedikit gugup.
"Saya hanya sedang memikirkan masalah pekerjaan saja tante." Lanjutnya dengan senyumnya yang menawan.
"Bagaimana kabar isterimu nak?"
Rayyan sangat terkejut saat Bhanuwati menanyakan tentang Aretha, wajahnya yang tampan seketika menatap hening wajah lembut keibuan Bhanuwati.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apakah pertanyaanku terlalu sulit?" Bhanuwati mengerutkan dahinya karena heran atas ekspresi yang diberikan Rayyan.
Namun sebagai orang tua dia memahami makna dari tatapan yang diberikan Rayyan padanya.
"Bu… Bukan begitu tante, saat ini dia sedang mengurus bisnisnya tante." Jawab Rayyan dengan sedikit gugup.
"Itulah yang sedang aku pikirkan saat ini tante! Sedangkan dari semalam hingga pagi ini aku sudah mencoba untuk menghubunginya namun tetap tidak ada jawaban." Batinnya.
"Wah bagus itu, isterimu dan kamu sama-sama memiliki bisnis yang sukses. Kalau begitu sampaikan salam tante padanya semoga lain kali kita bisa bertemu ya."
"Emm. Iya tante semoga saja." Rayyan semakin bingung harus menjawab apa sementara dia sedang berusaha mendekati Gendis.
"Kalian jadi berangkat ke Surabaya hari ini?"
"Sepertinya begitu tante, setelah Manggala dan Ayesha selesai kami akan langsung berangkat."
"Bukannya nanti siang ya?"
"Saya dan Manggala ada meeting yang harus kami hadiri nanti siang disana tante, jadi kami mengubah jadwal berangkat jadi pagi ini."
"Oh… Begitu!" Bhanuwati menganggukkan kepalanya tanda mengerti akan situasinya.
"Tante masuk duluan ya, mau lihat Nehan sudah bangun atau belum."
"Baik tante."
Rayyan merasa sangat senang berada di tengah-tengah keluarga ini. Dia merasa sangat dihargai sebagai seorang laki-laki. Perasaan ini yang tidak didapatnya di rumah dari isteri tercintanya.
"Apa Gendis akan menjauhiku setelah apa yang aku ucapkan padanya kemarin?" ucapnya dalam benaknya.
"Tapi… Apa yang diucapkan Gendis itu semua benar, aku harus lebih berusaha untuk menghargai Aretha. Karena bagaimanapun dia adalah isteriku yang sah di mata agama dan juga hukum." Gumamnya dalam hati.
"Mas Rayyan mari kita sarapan dulu dan setelah itu kita berangkat." Terdengar suara isteri Manggala memanggilnya.
Suara itu memecah keheningan yang membuatnya larut dalam pikirannya sendiri. Pikirannya sedang bekerja keras untuk menguatkan hatinya agar tidak tergoyah dengan hal-hal yang tidak seharusnya.
"Emm. Baik Sha aku akan segera masuk."
Gendis yang sudah terlihat lebih segar sudah berada diruang makan menyiapkan makanan untuk kedua orang anak laki-laki yang ada disebelahnya.
Rayyan yang berjalan untuk mengambil posisi duduk di meja makan yang sama dengan Gendis. Gendis yang mengetahui bahwa Rayyan mencuri pandang padanya tetap mengacuhkan sikap laki-laki itu.
Dia berusaha terlihat normal walaupun di dalam hatinya bergejolak dengan sangat hebat dan dia berusaha seolah-olah tidak pernah terjadi pembicaraan yang intens antara mereka berdua.
"Om nanti sore kita main bola kaki lagi ya," Ucap Arka pada Manggala.
"Kali ini kita harus menang Om." Lanjutnya
"Wahhh lain kali saja kita kalahkan mereka, karena hari ini om harus pulang ke Surabaya."
"Om Rayyan juga pulang?" sahut Nehan dengan mulut yang masih berisikan makanan.
"Iya sayang, Om ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Nanti kita ketemu lagi saat Nehan berlatih renang, Ok!"
Nehan hanya mengangguk tanpa menjawab, terlihat bahwa dia menginginkan Rayyan berada lebih lama bersamanya.
Gendis yang bingung melihat anaknya yang merasa dekat pada Rayyan, dia berpikir bahwa kedekatan itu hanyalah sekedar saja. Ternyata setelah melihat ekspresi wajah Nehan dia mengerti bahwa anaknya benar-benar menyukai Rayyan.
"Sayang, kamu masih bisa bermain denganku, Oma dan juga Arka. Jadi kamu jangan cemberut gitu dong." Gendis berusaha untuk menenangkan anaknya.
"Bagaimana kalau kita buat kesepakatan?" ucap Manggala.
Kaki Ayesha dengan sigap menyenggol kaki Manggala untuk mengisyaratkan agar suaminya itu tidak ikut campur. Namun Manggala seperti biasa tidak menghiraukannya sama sekali.
"Kesepakatan apa Om?" sahut Nehan dengan sedikit bersemangat.
"Kesepakatannya adalah, jika Arka ikut ke Surabaya nanti kita buat pertandingan dirumah Om Gala. Bagaimana setuju atau tidak?"
Nehan menatap lembut Arka sebelum menjawab. "Itu sama saja tidak adil Om, karena Arka belum tentu mau ikut ke Surabaya." Jawabnya lirih.
"Kamu harus bisa membawa Arka ikut ke Surabaya jika ingin bertanding lagi, Ok!" Manggala berusaha meyakinkan Nehan.
"Baiklah, tetapi… Om jangan terlalu berharap karena itu sesuatu yang sangat sulit." Ucap Nehan.
"Ma, aku sudah selesai makannya dan juga sudah kenyang. Aku akan kemarku sekarang." Dia-pun beranjak meninggalkan ruang makan dengan sangat lesu.
Rayyan yang melihat Nehan begitu sedih menghampirinya ke kamar sebelum berangkat menuju bandara.
"Nehan… boleh om Rayyan masuk?"
"Boleh! Masuk saja om,"
"Wah bagus sekali kamar kamu."
"Ini bukan kamarku tetapi kamar mama dulu saat masih kecil."
"Begitu rupanya, Nehan boleh om duduk disebelah kamu?"
Nehan yang tengah duduk di lantai bawah sembari memainkan mainan yang ada disana namun tanpa bersemangat seperti biasanya.
"emm." Sahutnya sembari menganggukan kepalanya.
Rayyan pun duduk tepat disebelahnya, dia menatap wajah anak kecil yang lucu ini. Sebenarnya jauh didalam hatinya diapun memiliki keinginan yang sama seperti Nehan.
Namun mereka bukanlah Ayah dan anak kandung yang bisa bersama setiap saat. Dia juga memiliki kehidupan yang harus dijalaninya dengan baik.
Mereka berdua terhubung lewat emosi yang natural tanpa direkayasa. Karena kekosongan hati yang sama-sama mereka miliki membuat itu terisi oleh keberadaan satu sama lain.
"Nehan, om harus pergi karena memang ada pekerjaan yang harus om selesaikan."
"Aku mengerti Om! Dulu papaku juga begitu dia pergi dan juga pasti pulang saat pekerjaannya sudah selesai."
"Tuhh kan kamu tahu, anggap saja om seperti papa kamu yang sedang pergi untuk kerja ya sayang." Ucapnya sebari mengelus lembut kepala anak itu.
"Aku tidak bisa menganggapmu sama seperti papa! Karena kamu tidak akan pernah pulang kerumahku!" tidak terasa air mata Nehan meleleh dan melihat itu Rayyan langsung memeluknya dengan hangat.
"Nehan kamu coba lihat Om," Nehan yang tadinya menundukkan kepalanya mencoba untuk menatap mata Rayyan.
"Sayang, om janji sama kamu jika om akan selalu menemui kamu jika kamu ingin bertemu dengan om."
"Bahkan jika kamu mau om akan sering mengunjungimu saat di Surabaya agar kamu tidak kesepian." Ucap Rayyan untuk meyakinkan dan menghibur hati Nehan yang benar-benar sedih.
"Om benar berjanji begitu padaku?" ucapnya memastikan.
"Benar sayang," setelah menyeka air mata Nehan dia kembali memeluknya.
"Sekarang kamu jangan sedih lagi ya, dan sekarang om ingin berpamitan padamu,"
"Baik om, tapi ingat janji om padaku."
"Ok jagoanku, sampai bertemu di Surabaya."
Setelah Nehan menjadi lebih tenang Rayyan keluar dari kamarnya. Saat membuka pintu terlihat Gendis berada didepan kamar dan menangis.
Rayyan tahu bahwa pembicaraannya dengan Nehan didengar dengan jelas oleh Gendis dan itu juga yang membuat mama Nehan itu menangis.
"Saya permisi dulu, terimakasi sudah menjamu saya dengan baik dan saya berharap kita bisa berteman."