"Tetapi hatiku tidak bisa menerima alasan yang diberikan Rayyan. Mana mungkin laki-laki yang begitu panik melihat seorang wanita sedang sakit tidak memiliki maksud lain." Gumam Ayesha dalam hati.
Dia menaruh kecurigaan yang besar pada Rayyan, apalagi beberapa kali dia sempat melihat cara Rayyan memandang Gendis sangat berbeda.
Pandangan ketertarikan seorang laki-laki terhadap wanita memang tidak dapat disembunyikan, dia tidak ingin sahabatnya mendapatkan masalah baru dalam hidupnya.
"Rayyan jangan harap kamu bisa dengan mudah mendekati Gendis! Aku akan membuatmu mengerti bahwa kamu sedang memasang perangkap pada orang yang salah!" Ayesha terus bergumam dalam hatinya.
"Mbak Sih tolong antarkan camilan ini ke kamar tamu."
"Baik Non… Non dari tadi saya lihat sedang melamun. Apa kesehatan Non Gendis belum pulih ya non?" tampak rasa khawatir di sorot mata Mbak Sih.
"Tidak mbak, Non Gendis sudah sangat baik. Aku hanya sedang memikirkan pekerjaanku saja."
"Ya sudah sekarang mbak antarkan camilannya dan saya akan melihat Gendis dikamarnya."
Ayesha beranjak dari ruang dapur menuju kamar Gendis. Saat melangkah tidak sengaja dia melihat kamar Mbak Sih yang pintunya terbuka lebar saat itu.
Saat dia melihat dengan seksama ternyata Nehan tertidur di ranjang yang sama dengan Arka. Dia tersenyum manis melihat tingkah kedua anak laki-laki tersebut.
Lalu dia melanjutkan langkahnya menuju kamar Gendis.
***
Tok… Tok…
"Siapa?" tanya Gendis yang tengah duduk menyandar di atas kasur.
"Ini aku."
"Masuklah, pintunya tidak di kunci."
Ayesha memegang handle pintu dan mendorongnya kedalam agar pintunya terbuka.
Terlihat sahabatnya itu tengah beristirahat di atas kasur sembari memainkan handphone yang ada di tangannya.
"Sedang apa kamu?"
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan diatas kasur ini!" Gendis menjawab dengan sangat kesal.
"Ya… aku hanya bertanya lantas kenapa kamu sangat marah."
"Ndis, kamu pernah memperhatikan sesuati dari Rayyan?"
"Maksudmu? Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu?"
"Bukan maksudku kamu merasakan perhatian Rayyan sedikit berlebihan atau tidak?"
"Emmm aku rasa tidak ada yang berlebihan. Hanya saja aku sangat malu padanya."
"Malu? Memangnya apa yang membuat kamu sampai merasa begitu!"
"coba deh kamu ingat-ingat kembali, sepertinya pertemuanku dengannya selalu di waktu yang tidak tepat."
"Pertama kali aku bertemu dengannya saat di Office kamu. Disaat itu aku benar-benar sangat terpuruk dan kamu tahu itu memalukan sekali untukku."
"Yang kedua aku secara tidak sengaja bertemu dengannya di Swimming School tempat Nehan berlatih dan ternyata dia mengingat sikapku ke dia saat pertama bertemu."
"ya aku ingat dan setelah itu kalian malah bertemu lagi di café."
"itu dia maksudku Sha, dan sekarang malah bertemu disaat aku sedang sakit dan dia malah menemani kita sepanjang malam di rumah sakit."
"Iya sich." Sahut Ayesha pelan sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kamu tahu Sha betapa malunya aku saat ini bertemu dengannya. Entah dia berfikir jelek atau tidak untukku tapi yang aku tahu saat ini adalah aku seperti wanita yang sangat lemah dihadapannya."
"Aku tidak ingin dia memanfaatkan keadaan ini untuk mendekatiku."
"itu yang ingin aku tanyakan dari tadi padamu Ndis. Apa kamu merasa perhatian dia layaknya perhatian laki-laki kepada wanita?"
"Hust… kamu jangan bicara yang macem-macem, jika orang lain mendengarnya bisa jadi salah paham."
"Aku pikir dia tidak mungkin melakukan hal yang bodoh seperti itu. Seperti yang kamu katakan padaku Sha, dia memiliki istri yang sangat sempurna sebagai seorang wanita."
"Iya sih yang kamu katakana itu semuanya benar bahkan sangat benar Ndis. Tapi… aku ingin bertanya satu hal."
"Emmm… apa itu?"
"Perasaanmu terhadapnya bagaimana? Apa pernah sekali saja jantungmu terasa berdetak dengan sangat kencan saat berada di dekatnya?"
Gendis terkejut mendengar pertanyaan sahabatnya. Dia sadar kemana arah pembicaraan Ayesha.
"kamu sungguh sudah tidak waras! Untuk apa aku memiliki perasaan seperti itu." Dia menjawab dengan lantang untuk menutupi kecurigaan Ayesha.
Sedangkan hanya menyebut namanya saja jantung Gendis sudah berpacu sangat kencang, konon lagi jika berhadapan dengannya.
"Oh iya, mama sudah bicara dengan Mbak Sih?" tanyanya untuk mengalihkan pembicaraan yang sudah membuatnya tidak nyaman.
"Sepertinya belum Ndis, aku lihat mama tadi dikamarnya mungkin dia sedang istirahat."
"Ohh begitu! Aku berpikir sebaiknya besok kita kembali ke Surabaya."
"Loh, kamu belum pulih benar. Jika diperjalanan nanti kambuh lagi bagaimana Ndis?"
"Aku bisa berobat dengan doktor pribadi yang dimiliki keluarga di Surabaya."
"Lalu masalah Arka bagaimana? Tidak mungkin mendadak begini dikasi tahu ke mbak sih kan."
"Sudahlah itu kita pikirkan lagi nanti, sekarang kita istirahat dulu aku sungguh lelah Ndis."
Ayesha membaringkan tubuhnya di sebelah kiri Gendis. Mereka pun terlelap dikasur yang sama.
***
Sementara itu Manggala dan Rayyan mengobrol santai sembari menikmati camilan yang dibuatkan Ayesha.
"Yan menurutmu Gendis wanita seperti apa?"
Rayyan yang sedang meneguk teh hangat sontak saja tersedak mendengar pertanyaan Manggala.
"Maksud kamu apa menanyakan hal itu?"
"Ya… aku hanya ingin tahu penilaianmu terhadapnya itu saja tidak lebih."
Namun Rayyan melihat tatapan yang penuh kecurigaan di tujukan kepadanya. Dia berusaha menutupi apa yang sebenarnya dia rasakan.
"Ya… dia wanita baik, juga single mom yang sabar dengan tingkah anaknya."
Sebenarnya dia juga tidak menegrti perasaan seperti apa yang ada saat ini. Dia sendiri juga bingung dengan yang terjadi pada hatinya.
Manggala sadar akan tingkah Rayyan yang tengah menutupi sesuatu terhadapnya.
"Dia tidak berani menatap mataku setiap kali aku bertanya tentang Gendis. Jika memang kecurigaanku ini benar aku sangat yakin kalau Ayesha tidak mungkin membiarkan ini berjalan mulus." Batinnya.
"benar seperti yang kamu katakana Yan, dia single mom yang kuat. Semoga saja dia mendapatkan pria yang benar-benar mencintai dan mampu menjaganya suatu saat nanti." Ucap Manggala sembari melirik tajam kea rah Rayyan.
Namun Rayyan tidak menyadari bahwa dia sedang di perhatikan dengan seksama, seolah narapidana yang tengah di interogasi atas kesalahan yang telah diperbuat.
Terdengar suara ponsel bordering membuat kedua pria ini menutup pembahasan tentang Gendis.
"Aku akan menjawab telponku dulu." Ucap Rayyan pada Manggala.
"Halo…"
"Ya halo mas, kamu sekarang masih berada di Jakarta?" terdengar suara Aretha di seberang telepon.
"Aku sedang berada di Malang karena ada yang sedang aku kerjakan disini."
"Lalu, kenapa kamu tidak mengabariku? Apa kamu sudah tidak menganggapku isterimu lagi?"
"Kenapa kamu bicara seperti itu? Ok, maaf jika itu mmembuatmu marah! Seingatku kamu akan pergi ke partynya temanmu?"
"Ya.. acaranya besok! Aku sangat berharap kamu bisa menemaniku pergi besok. Apakah kamu tidak bisa kembali sebelum malam?"
"Aku sungguh tidak mampu berbaur dengan teman-temanmu. Mereka juga pasti akan merasa tidak nyaman melihatku nanti. Sebaiknya kamu pergi sendiri saja agar tidak merusak suasana partynya."
"Kamu sungguh egois mas! Apa yang membuatmu tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka? Kamu selalu mencari-cari alasan agar tidak menemaniku."
"Baiklah ini terakhir kalinya aku mengajakmu untuk berbaur bersama teman-temanku!"
Belum sempat Rayyan membela dirinya Aretha yang sudah sangat emosi mematikan ponselnya tanpa mengucapkan salam.
Manggala yang melihat sepintas memahami mengapa Rayyan tidak begitu menyukai kehidupan social istrinya.