Chereads / Menikah dengan Om Genit di Masa Depan / Chapter 9 - Genta kurang ajar

Chapter 9 - Genta kurang ajar

"Euuhh!! Om Genta!!" Plak! Kania mengerang protes sambil mendorong laki-laki itu. tidak lupa ia memberikan sedikit tamparannya untuk suaminya. Kania tidak terima dengan sikap kurang ajar suaminya tersebut. Kania mengusap bibirnya bekas Genta itu. "Genit!" ujar Kania.

"Dari pagi baru ini saya modusin kamu, kok udah dilabel genit aja sih?" ujar Genta berkilah. Pria itu memegangi pipinya yang mungkin saja memerah sekarang. Hal yang jelas Genta merasa kebas di bagian sana.

Kania mencibir mengambil Mikaela untuk menggedong anaknya tersebut pergi dari hadapan Genta. "Apaan orang tadi modus pake megang pantat. Pintar bangat nyari kesempatan." Kania mendumel sambil berjalan membelakangi Genta.

Genta tertawa kecil. "Habisnya kamu goda saya pakai pakaian kayak gitu," ujar Genta.

"namanya juga sedang olahraga. Oma tiba-tiba datang. Aku enggak sempat ganti pakaian sama sekali," jawab Kania sambil meletakkan anaknya dalam box bayi.

"Olahraga lagi mau enggak?" bisik Genta di telinga isterinya itu.

"Om Genta!" pekik Kania marah. "Jangan mentang-mentang aku tadi baik sama Om, Om bisa kelewat batas ya!"

Genta memejamkan matanya. Pria itu harusnya bisa lebih bersabar. Tidak mungkin semudah itu bagi Kania beradaptasi. Genta harus ingat bagaimana mengkhawatirkannya kondisi sang isteri. "Maaf Ka'. Saya tadi hanya berniat bercanda."

"Enggak lucu!" ujar Kania. perempuan itu keluar kamar Mikaela sambil menumbuk bahu Genta menyiratkan betapa marahnya dia dengan kelakuan Genta yang seperti itu. Genta mengusap rambut di kepalanya. dia merutuki dirinya sendiri yang harusnya bisa sedikit lebih bersabar kepada Kania. Laki-laki itu harus mengingat bahwa isterinya sedang stress berat.

***

Kania terbangun tengah malam karena tiba-tiba merasakan haus yang tidak tertahankan. Perempuan itu keluar kamarnya. Ia langsung menuju dapur. Tapi wanita itu melihat Genta yang sedang merokok di lantai satu. Pandangan Genta terlihat frustasi sekali. Pria itu seperti banyak pikiran. Sama seperti asap yang keluar dari mulutnya, mengawang dan mengambang.

Merasa ada eksistensi seseorang di dekatnya, Genta menoleh. Dia terkejut mendapati isterinya yang tengah berdiri disana. "Kenapa bangun, Ka'?" tanya Genta. "Apa kamu mendengar suara Mikaela menangis?"

Kania menggelengkan kepalanya. "Aku hanya merasa haus," ujarnya berjalan menuju dapur. Kania mengambil air minum untuk dirinya sendiri. Tetapi dia tidak bisa menghentikan matanya untuk melirik lagi ke arah Genta yang banyak pikiran itu. Kania tahu, pikiran Genta yang seperti itu dikarenakan dirinya.

Perkataan Talitha tadi siang kembali menyusup pada dirinya. sebenarnya Kania paham sekali maksud Talitha. Dia tidak setahun dua tahun mengenal suaminya itu. dia paham sekali bagaimana cara Genta bersikap selama ini. Sayangnya, Kania tidak bisa menerima sikap kurang ajar Genta sekalipun Genta sudah berstatus sebagai suaminya. Meski ada sedikit perasaan bersalah dihatinya, dia tidak bisa menerima Genta dengan mudah.

"Besok kerja, Om. Kalau bisa jangan kemaleman begadangnya." Memang sedikit ketus kalimat itu keluar dari mulut Kania. Ia juga tidak menoleh saat mengatakannya.

Genta menarik nafasnya. Berfikir ribuan kali tentang dirinya. hal yang membuat Genta banyak intropeksi diri, memikirkan apa yang salah dengan dirinya hingga Kania langsung berubah dalam waktu yang sangat singkat itu.

Jujur perubahan sikap isterinya membuat Genta bertanya-tanya. Selama ini dia selalu berusaha membahagiakan Kania. Genta merasa dia sudah mampu sekali melakukan itu. nyaris selalu ada tawa di bibir Kania. Tidak pernah sedikitpun laki-laki itu menempatkan Kania dalam masalah serius atau melukai Kania selamat banyak. Ia sama sekali tidak menduga bahwa isterinya akan divonis mengidap stress pasca melahirkan.

"Apa aku terlalu cepat menikahi Kania?" bisik laki-laki itu berkali-kali yang membuat Kania menyesal sudah kehilangan masa mudanya. Disaat seluruh teman-temannya seumurannya sibuk meniti karir, Kania malah memutuskan untuk menikah. Genta merasa bersalah dengan pikirannya sendiri.

***

Pagi hari, Kania terbangun seperti hari sebelumnya. Dia masih berada di masa depan tanpa ada tanda-tanda kembali ke masa lalu. Kania menghembuskan nafasnya putus asa. Entah kapan perjalanan waktunya itu berakhir.

"Pagi Bi!" Kania menyapa bibinya yang sudah siap membuat sarapan.

"Pagi non!" balas Bibi menggeser sedikit tubuhnya membiarkan Kania membantunya.

"Pak Genta belum bangun, non?" tanya Bibi.

"Enggak tahu. Apa itu penting?" tanya Kania menaikkan bahunya acuh.

"Saya lihat tuan Tara udah masuk ke kamar habis lari pagi. Mungkin siap-siapa ke kantor. Pak Genta enggak apa-apa terlambat non?"

Kania menghentikan pisau yang berada di tangannya sebentar. "Maksudnya, bibi nyuruh aku buat bangunin Om Genta?" Kania menghembuskan nafas malasnya.

"Kan kalau bibi enggak enak atuh non. Kalau bapak ternyata enggak pakai baju atau gimana, kan enggak sopan."

Kania ingin membantah bibi. Keadaannya juga sama dengan bibi. Dia juga sama risih kalau sampai melihat Genta minim pakaian. Tapi Kania tidak kuasa membantah wanita tua yang sudah bersama dengannya sedari kecil itu.

"Oke deh," ujar Kania malas-malasan. Dia bahkan menghentakkan kakinya sedikit. Kania membuka kamar Mikaela, anaknya tidak ada di ranjang. Melainkan berada dalam dekapan Genta. Hal itu membuat perasaan Kania sedikit terenyuh entah kenapa.

"Om, enggak ke kantor?" Kania menggoyang-goyangkan tubuh suaminya setengah hati. Genta mendongak tersentak bangun. Pria itu menguap kecil.

"Udah jam berapa sekarang?" tanyanya.

"Jam tujuh lewat mungkin. Enggak tahu."

Genta memaksakan dirinya untuk duduk. Pria itu terlihat jelas mengantuk sekali. Tapi Kania menampik rasa kepeduliannya pada Genta. Dia tidak ingin laki-laki itu salah paham. "Aku tunggu sarapan di bawah ya!" tapi sebelum itu Kania mengembalikan anaknya ke ranjang bayinya dengan hati-hati agar Mikaela tidak jatuh nantinya saat ditinggalkan.

"apa benar aku yang melahirkan kamu?" bisik Kania masih tidak percaya bahwa dia sudah menjadi seorang ibu. Oh! Dunia sangat mempermainkannya.

Kania turun ke lantai satu. "Mikaela enggak apa-apa tidur gitu ya bi?" tanya Kania pada bibi. Secara perempuan itu minim pengetahuan.

"sebaiknya dibangunin pagi-pagi non. Biar bisa melihat matahari. Dibiasakan dari kecil kan enggak apa-apa."

Kania mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tapi aku belum makan."

"setelah non makan saja. terlambat sedikit tidak apa-apa. sesekali," ujar bibi yang paham dengan majikannya yang sedang depresi itu. setidaknya begitulah pandangan semua orang yang berada di rumah itu.

Kania menganggukkan kepalanya. dia menarik kursi menunggu dua orang tersebut di meja makan. Tidak banyak pembicaraan yang terjadi. Tara dan Ganta saling berpandangan sesekali. Bertukar komunikasi guna mencari tahu kondisi Kania.

"Nak, minggu depan kamu mau ya ke psikiater bareng papa."

Kania menghentikan kunyahannya. "Terserah."

"Enggak semua orang ke psikiater itu berarti gila lho, Ka'. Mungkin memang aku atau papa kamu yang salah. Siapa tahu psikiaternya lebih bisa paham sama kondisi kamu." Genta juga turut membuka suaranya.

"Terserah," ujar Kania sekali lagi. dia sudah yakin sekali, psikiater itu tidak ada bedanya dibandingkan dengan psikolog. Mungkin perbedaannya nanti Kania diberi obat anti depresan. Apapun itu, Kania sudah pasrah. Dia sudah muak bagaimana menjelaskan keadaan yang terjadi pada orang-orang yang tidak mengerti.