Setelah selesai sarapan Genta pergi ke kantor. Tidak ada kecupan dari Kania yang mengantarkan. Perempuan itu malah pergi ke dapur mencuci piring. Genta hanya bisa berbesar hati melihat kelakuan isterinya itu. ia mencoba memahami sekali kondisi Kania.
Genta memilih meminta disupiri mamang untuk pergi kerja hari ini agar dia bisa melanjutkan tidurnya agak beberapa menit selama perjalanan menuju kantor. Lumayanlah, perjalanan tiga puluh menit itu mampu membuatnya mata lebih segar dari sebelumnya. Resiko menjadi seorang ayah dengan bayi yang masih mungil. Tidak tega juga melibatkan Kania untuk semua.
"Kuncinya, Pak!" ujar mamang menyerahkan kunci mobil laki-laki itu.
"Makasi, Mang!" ujar Genta kemudian berjalan memasuki kantornya. Wajah laki-laki itu langsung berubah dingin dan kaku. Hal yang sudah biasa dilihat oleh para karyawannya, tapi tidak bagi orang yang biasa melihat Genta di rumah bersama Kania.
Pria itu memasuki ruangannya yang berada di lantai delapan itu, Tiara, sang sekretarisnya seperti biasa sudah menunggunya. "Pagi Pak!" ujar Tiara dengan senyuman manis yang perempuan itu miliki.
"Ehm …" ujar Genta singkat tanpa menoleh sedikitpun. Memasuki ruangannya kemudian duduk di kursinya. Tiara mengekori atasannya tersebut dari belakang.
"Hari ini ada rapat dengan dewan direksi jam 10, Pak! Setelahnya akan ada kunjungan pabrik usia makan siang …" Tiara mengatakan semua jadwal Genta seperti biasanya.
"Sudah baca surel yang saya kirimkan semalam?" tanya Genta.
"Be .. belum, Pak!"
Genta kali ini terhenti menatap sekretarisnya tersebut dengan tajam. "Maaf Pak semalam saya tidak sempat melirik ponsel."
"Bahkan kamu belum membukanya sampai sekarang? Seharusnya kamu bisa memeriksa ponsel kamu sampai saya datang!"
Tiara gugup. "Ma, maaf Pak!"
"Tidak peduli berapa lama kamu bekerja dengan saya, kalau kamu tidak kompeten saya bisa melayangkan surat pemberhentian kapanpun itu."
Tiara menganggukkan kepalanya. Genta menghembuskan nafasnya . "Kali ini saya maafkan kesalahan pertama kamu! Jangan lengah!" tegas Genta pada sekretarisnya itu. Tiara menganggukkan kepalanya lagi.
"Baik, pak!" ujarnya. Genta sangat menakutkan saat marah. wajar pekerjanya sangat ketar ketir dengan laki-laki itu. Andai Kania bisa melihat ini, mungkin dia tidak berani bertingkah banyak di hadapan suaminya.
"Kamu boleh keluar!" ujar Genta setelah selesai.
"Tidak perlu!" ujar Genta kembali dingin membuka laptopnya tanpa memandang Tiara lagi.
"Tapi bapak terlihat agak kelelahan …"
Genta mendongak tanpa kata. Memandang sekretarisnya tersebut dengan tatapan mengintimidasinya membuat Tiara terdiam tidak berani melanjutkan ucapannya. "Baik, pak! Saya keluar sekarang!" ujar perempuan itu.
Setelah Tiara keluar, barulah Genta menghembuskan nafasnya. Pria itu mengusap wajahnya yang lelah. Tapi pekerjaan tidak mengijinkan Genta untuk terlelap lagi.
***
Kania yang sudah tidak sekolah dan tidak melakukan apapun lagi, selalu mencari jalan alternatif untuk menghilangkan bosannya. Hari ini dia memilih untuk keluar lagi. Tapi kali ini dia ingin membawa Mikaela. Merasa ingin saja meskipun dia belum bisa mengakrabkan dirinya secara penuh kepada anaknya itu.
Kania membersihkan Mikaela dulu sebelumnya. Mengisi stok susu dan menyiapkan peralatan untuk keluar rumah. Setelahnya Kania mengangkat Mikaela yang sudah cantik itu ke dalam troli bayinya. Beberapa hari yang lalu, saat keluar dari rumah, Kania tidak sengaja melihat taman yang masih berada dalam lokasi perumahan Kania. Ia berencana mengajak Mikaela kesana biar tahu dunia luar. Biar anaknya bisa tahu sosialisasi sedikit-sedikit.
"Non Kania yakin tidak ingin bibi temani?" tanya Bibi sekali lagi padanya.
"Yakin, bi! Dekat ini kok!" ujar Kania dengan tampang meyakinkannya. "Lagian bibi banyak kerjaan yang masih perlu diselesaikan, kan? Nanti direwelin papa lagi!"
Bibi tersenyum tipis. "Bibi akan lebih dimarahi kalau ada apa-apa sama cucu dan anaknya."
"Kan Kania ceritanya udah dewasa, Bi. Lagian Kania juga dari kecil disini. Hapal-lah sama lingkungan ini." Mungkin jika hari biasa bibi akan tenang-tenang saja melepaskan majikan mudanya itu pergi. Dia ikut khawatir juga dengan kondisi psikologis majikannya dalam beberapa hari belakang yang menurut pengamatannya memburuk. Sama halnya dengan Tara, Bibi pasti juga menganggap Kania terkena depresi atau baby blues akut.
"Kami pergi ya! See you bibi!" ujar Kania tidak lupa mengajarkan Mikeala melambaikan tangan pada pekerja setia di kediaman Tara itu. Pada akhirnya bibi hanya bisa mengalah sambil menarik nafasnya. Berharap memang tidak akan terjadi apa-apa dengan nona mudanya di luaran sana.
Kania mendorong bayi dengan santai. Sesekali menyapa orang yang berlalu lalang. Ada wajah-wajah yang dihapal Kania namun ada juga yang tidak. Lima tahun berlalu dan cukup banyak terjadi perubahan di masa depan.
Beberapa hal bertambak positif seperti lumayan banyak fasilitas ruang hijau bagi masyarakat, tapi kepadatan tetap juga terjadi. Banyak perumahan dan toko baru yang dibangun. Gedung pencakar langit yang Kania lihat lebih banyak dari lima tahun yang lalu.
"Kania!" seseorang memanggil membuat perempuan itu menoleh.
Kania mengerutkan keningnya mengingat pria manis dengan kulit eksotik yang ada dihadapannya. "Abi?" tanyanya memastikan.
Pria itu berdecak tipis sambil tersenyum. "Bisa enggak sih memanggil nama gue itu lengkap-lengkap."
"Albifahri itu kepanjangan." Kania protes.
Pandangan Albi beralih pada bayi yang berada di troli. "Keponakan?" tanya pria itu.
Kania memutar bola matanya. "Kan gue anak tunggal, papa mama juga." Kania menatap Mikaela memegangi tangan bayi gembul itu. "Anak gue …" ujar Kania meskipun dia masih merasa kecanggungan yang kental dalam dirinya ketika mengatakannya.
Alis Abi menaik. "Lo udah nikah sama Tuan Hirawan itu? Gercep juga ya? Keliatan sih kalau kalian berdua udah enggak sabaran."
Kania mengerutkan keningnya. "Kamu tahu dari mana aku berhubungan dengan Om Genta?" tanya Kania. Mengingat teman sekolah dasarnya itu pindah ke Kalimantan bertahun-tahun yang lalu. itu yang Kania ingat dalam memorinya. Setelahnya mereka tidak pernah bertemu lagi, tidak pernah ada komunikasi sama sekali.
Abi tertawa kecil menyentil dahi Kania. "Lucu ya, lo! Lupa apa kalau gue sering mergokin kalian. Sering disuruh tutup mulut biar gue enggak ngadu ke Om Tara."
Kania hanya tertawa canggung. Oh! Dia tidak tahu kapan itu. "Saat gue kuliah ya?" tanya Kania mengingat hanya saat itu timelinenya yang terputus.
"Trus kapan lagi? udah tahu kita baru sebelahan unit tempat tinggal pas di Sydney dulu."
Sekali lagi Kania tertawa. Dia jelas tidak mengingat apapun tentang memori itu. "Wah! Parah lu! Jangan bilang lo lupa lo pernah recokin gue dengan semua curhatan galau lo itu tentang 'Om Genta' kesayangan lo itu." Menekankan kata Genta dengan teramat sangat.
"Well, hidup gue bukan buat mengingat lo!" Kania berkilah asal yang membuat Abi mendengus.
"Jadi kenapa enggak ngundang gue?" tanya Abi lagi. Damn! Sekali lagi Kania tidak tahu.
"Berhenti bertanya soal gue. Lo sendiri kenapa ada disini? Kenapa enggak di Kalimantan?" Kania mengalihkan topik untuk menyelamatkan dirinya.