Genta pulang ke rumahnya seperti biasa. Tapi dia tidak langsung turun dari mobilnya. Dia perlu mempersiapkan mental yang banyak untuk bersikap seperti 'paman' untuk Kania seperti lima tahun yang lalu. tentu saja, hal itu sangat sulit dilakukannya. Ia juga harus sekeras mungkin bersikap tidak tahu menahu tentang kegiatan Kania bersama Abi siang tadi.
"Ta!" Tara yang baru pulang menatap aneh pada menantunya yang berdiam diri di dalam mobil tanpa turun.
Genta berdehem. Ia buru-buru mengusap air matanya sebelum turun juga. "Yuk masuk!" ujak Tara tanpa menyinggung apa yang terjadi pada Genta. Sebagai laki-laki mereka sudah saling memahami pastinya. Tanpa perlu banyak pertanyaan. Tanpa perlu banyak perdebatan.
"Kania!" Tara memanggil anaknya.
"Papa!" ujar Kania menghampiri Tara dengan susah payah lantaran Mikaela yang kaku berada dalam gendongannya.
Tara berdecak pada anaknya. "Papa mau mandi dulu ya! Setelah itu kita makan malam."
"Aku nanti aja. Mikaela lagi minum susu." Meski menggunakan dot. Tidak menyusui langsung pada ibunya.
"Nanny-nya Mika mana? bukannya datang hari ini?" Genta dan Tara celingak-celinguk.
"Dia enggak bisa merawat bayi. Dia tidak bisa menggondong Mika. Masa lehernya enggak dipegang. Aku udah pecat dia." Kania berkata dengan ucapan yang menggebu-gebu.
"Ka', kaniakan udah empat bulan lebih. Memang udah enggak perlu dipegang lagi lehernya."
"Enggak,enggak! Om enggak lihat. Aku enggak akan membiarkan siapapun menyentuh Mikaela jika caranya seperti itu." Kania keras kepala membantah Genta.
"Terus siapa dong yang rawat Mikaela?" tanya Tara tidak habis pikir dengan puterinya.
"Akukan ada." Kania berkata dengan yakinnya. Dia mengusap sedikit susu yang belepotan dari pipi puterinya.
Tara dan Genta sama-sama berpandangan. "Ka' kamu yakin?" tanya Genta harap-harap cemas.
Kania mendongak. Ia baru sadar dengan apa yang dikatakannya. "Aku enggak tahu," ujarnya. "Pokoknya nanny Kania yang tadi enggak baik. dia juga belum pernah melahirkan. Gimana bisa dia mengurus anak?"
Tara dan Genta berpandangan lagi. "Ya sudah kalau itu keputusan kamu." Tara masuk ke kamarnya kemudian. Sekarang tinggallah Kania yang sedikit kerepotan menggendong anaknya karena belum terbiasa. Genta menggigit bibirnya terenyuh.
"Ehm, Ka'. Biar saya yang gendong Mikaela." Genta berinisiatif membantu isterinya.
"Mandi dulu sana, Om. Dari luar juga!" Kania mendorong tubuh Genta. Wanita itu tampak overprotektif sekali. Setidaknya Genta bisa lega untuk yang satu itu. Kania mungkin bisa melupakan kenangannya tentang Genta dan Mikaela. Tapi dia tetaplah seorang ibu. Hubungan batin mereka tetap saling bicara.
"Ya sudah," ujar Genta memasuki kamarnya. Ia kemudian mandi dan membersihkan dirinya. selanjutnya Genta turun di bawah. Kania masih dalam posisi yang menyusui puterinya.
"Ehm, embulnya papa!" ujar Genta mengecup pipi anaknya. Mikaela mencangkaukan tangannya sambil tetap meminum susunya. Bayi mungil itu mengenali sekali ayahnya. Diam-diam dia tersenyum pada Genta.
"pipinya penuh banget ya Om," senyum Kania menyetujui perkataan Genta.
Genta melirik pada isterinya sebentar kemudian menganggukkan kepalanya. Kania menuruti tangan Genta mengusap pipi anaknya. "Lucu ya Om. Lama-lama aku bisa gregetan di dekat dia."
Genta tersenyum miris. "Ehm, kamukan suka anak kecil."
Kania tertawa cengengesan. "Embul," ujarnya mengulang apa yang pernah Genta sebutkan sebelumnya.
"Gimana kamu seharian tadi?" tanya Genta berusaha kuat menekan cemburunya.
"Ehm, aku jalan-jalan keluar tadi. Bosan di rumah. Aku ajak …Abi …" ujar Kania dengan sedikit keraguan menyebut nama Abi.
Genta menganggukkan kepalanya. "Oh," ujar Genta pendek sementara hatinya di dalam berkecamuk.
"Tapi enggak lama sih. Aku enggak tenang aja berada di luar. Benar aja pas aku balik, aku kedapatan nanny-nya Mika megangin dia enggak bener." Kania masih mengungkit masalah sebelumnya.
"Mika udah ketiduran itu. letakkin dia gih di tempat tidur." Genta merasakan kasian dengan isterinya yang menahan bobot tubuh Mika yang semakin hari bertambah berat. "Biar aku bantu," ujar Genta mengambil Mikaela dari tangan Kania. Perempuan itu berdecak tapi tetap mengikuti Genta. Dia menemani Genta sambil meletakkan bayi mereka di box bayinya.
"Om kok bisa telaten gitu sih megang bayi." Kania berkomentar. Ia mengingat-ingat dengan jelas bagaimana Genta sangat handal dalam merawat Mikaela.
"Kan saya sudah berpengalaman. Punya banyak keponakan." Genta mengedipkan matanya dan tersenyum manis pada Kania. Perempuan itu merasakan jantungnya berdegup dengan senyuman Genta. Padahal itu bukan kali pertamanya dia melihat Genta tersenyum. Kania buru-buru memutuskan tatapan mereka setelah beberapa menit.
"Waktu rawat bang Ezra ya?"
Genta menganggukkan kepalanya. "Talitha juga sama ngomelnya kayak kamu tadi tuh sama aku."
"Oh ya? Habisnya … enggak hati-hati memperlakukan bayi sih. Siapa yang enggak syok lihatnya coba."
Genta tersenyum kecil. "Tapi ada bagusnya tahu. Setelah itu saya lebih berpengalaman. Saya yang ngajarin papa mertua cara gendong kamu yang benar tahu."
Kania berdehem. Pandangan perempuan itu tiba-tiba serius dengan mimik yang tidak bisa didefinisikan. "Om enggak merasa aneh apa? maksudku, bayi yang pernah Om timang sewaktu lahir kemudian Om nikahin."
Genta menoleh mendengar pertanyaan isterinya. Dia meletakkan Mikaela yang terlelap sebentar agar dia bisa lebih fokus berbicara pada Kania. "Waktu kamu masih kecil saya enggak punya perasaan apapun sama kamu. Perasaan saya sama kamu sama seperti saya melihat Ezra, Angel atau yang lainnya." Genta mengabsen nama keponakannya.
"Tapi saat kamu memasuki fase remaja semua perasaan itu perlahan berubah setiap hari. Saya melihat kamu berbeda. Saya punya keinginan yang tidak biasa saya miliki. Saya juga sempat berfikir saya 'sakit' saat itu. makanya saya sempat menerima beberapa perempuan yang dijodohkan mama kepada saya. Tapi tidak ada yang berhasil. Sampai suatu ketika kamu bilang kamu memiliki perasaan yang sama dengan saya. Saat itu kita mulai berpacaran."
Kania mendengarkan itu semua. Sementara pandangan Genta berubah sendu. Genta meneguk salivanya keras. "Saya paham saya menikahi kamu saat usia kamu begitu muda. Saya merencanakan langsung punya anak dengan sendirinya tanpa memberitahu kamu dahulu. Saya egois. Saya sangat takut dengan usia saya yang sudah terlalu tua. Tapi saya mengabaikan kondisi mental kamu. Sayang, saya minta maaf semua itu membuat kamu tertekan."
Air mata Kania jatuh. "Aku terharu om mengatakan hal itu. tapi aku juga merasakan sakit dalam waktu yang bersamaan." Kania mengusap air matanya dengan kasar. "Om begitu mencintai aku dengan besar, tapi kenapa Om tidak percaya dengan kata-kataku? Aku bukan Kania si isteri Om. Aku Kania si puteri sahabat Om yang menatap Om sebagai pamannya sendiri."
Genta menarik nafasnya. Pria itu bersiap bicara tapi Kania menahannya. Kania belum menyelesaikan perkataannya. "Aku enggak tertekan karena mengalami baby blues, Om. Aku yakin sekali, jika aku Kania yang dewasa itu, aku pasti akan bahagia. Aku suka anak kecil dari dulu, dan aku memiliki suami yang mencintai aku begitu besar. Dia mendampingi aku dengan banyak proses. Tapi kenyataannya berbeda. Aku memang Kania dari masa lalu yang memasuki lorong waktu entah gimana caranya."