Cup! Tanpa Genta duga kecupan Kania mendarat di bibir laki-laki itu. Genta sangat terkejut sampai dia tidak bisa bergerak.
"Om kenapa sih bersikap seperti ini ke aku?" bisik Kania dengan perasaan campur aduk pada Genta. "Kenapa Om enggak berada dipihak papa? Kenapa Om banyak mengalah sama aku."
"Kamu tahu jawabannya, Ka'," desis Genta hangat penuh cinta. Kani kembali mengajak Genta berperang ketika ia mendengar jawaban dari suami itu. kali ini, Genta tidak bisa menahannya lebih lama ketika Kania terus menggodanya. Entah bagaimana ceritanya mereka malah berakhir melakukan adegan panas itu begitu saja.
Tara yang berada di lantai satu saja mendengar teriakan dua orang itu. pria yang sudah menua itu menarik nafasnya seolah bukan kali pertama mendengar kegiatan panas suami isteri itu. "Setelah cekcok pertengkar akhirnya mereka bersikap enggak tahu malu lagi. Saya titip Mika ya, Bi. Dua orang di atas belum tentu selesai dalam waktu cepat."
Bibi menganggukkan kepalanya. "Baik tuan." Tidak lupa Bibi memasang wajah senyum mesem-mesemnya.
***
Genta menatap isterinya setelah mereka puas dengan kegiatan panas mereka. Dua jam dengan tiga kali ronde di rasa lebih dari cukup untuk Genta yang sudah lama tidak mendapatkan kehangatan dari isterinya. Satu bulanan lebih semenjak kondisi mental Kania yang berubah. Genta menatap isterinya yang termenung lama sambil membelakanginya itu.
"Ka' …" panggil Genta takut-takut. Kania makin merapatkan selimutnya ketika suara Genta memasuki gendang telinganya. Hal itu terlihat jelas dalam pandangan Genta. Pria itu menggigit bibirnya. "Sayang, saya minta maaf. Saya kelepasan."
"Harusnya kalau malam habis begituan, paginya enggak bangun lagi, om." Kania mendesis sambil terus membelakangi Genta. Genta duduk dari tidurnya.
"Saya enggak tahu. Dia tiba-tiba menggeliat. Saya pikir juga seperti itu." Genta selalu jujur. "Sayang, saya tidak bermaksud. Tiba-tiba saya hilang kendali ketika kamu mencium saya. Biasanya tidak seperti itu."
Kania menggigit bibirnya. "Jadi aku yang salah?"
"Tidak. Saya tidak menyalahkan kamu. saya menyalahkan diri saya yang tidak bisa menahan diri."
Kania membalikkan badannya menatap Genta. "ehm, kalau gitu kita lupain aja kejadian pagi ini."
Genta menganggukkan kepalanya. "Jangan benci saya, tolong! Saya janji saya akan berusaha lebih bersabar lagi di dekat kamu."
"Dan menggantikannya dengan orang lain?" Kania masih membahas perdebatan mereka yang sebelumnya.
"Enggak. Saya akan menahannya."
Kania menganggukkan kepalanya. perempuan itu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang ingin duduk. "Aku ingin ke kamar mandi."
"Biar saya bantu," ujar Genta. "Maksud saya, saya hanya membantu kamu sampai kamu masuk ke kamar mandi. Sudah itu saja. tidak ada maksud lebih. Sungguh!"
"Aku bisa sendiri," desis Kania dingin. Namun saat dia akan melangkah dia merasakan pahanya bergetar. Kania terpaksa duduk lagi. Genta yang melihat hal itu membantu isterinya. Dia mengangkat Kania ala bridal.
"Inilah alasan kenapa saya tadi menawarkan bantuan." Genta berujar lirih membawa isterinya dengan penuh perhatian.
"Udah sering kayak gini ya Om?" delik Kania. Genta hanya tersenyum kecil. Ia mengusap tipis kening Kania kemudian mengecupnya. "Nanti kalau butuh bantuan saya lagi panggil ya. Saya di luar kamar." Genta menutup pintu setelahnya sementara Kania menangkupkan wajahnya. Ia menutupi wajahnya yang kemerah-merahan karena Genta.
"Ka' itu Om lo. Sadar kenapa sih?" bisik Kania dalam hatinya mengumpati jantungnya yang berdetak sangat kencang karena perlakuan hangat dari Genta.
Kania melirik tubuhnya yang berada di dalam selimut. Perempuan itu malu sendiri dengan perbuatannya. Bagaimanapun, dia harus mengakui bahwa dia yang memancing Genta duluan. Dalam alasan yang tidak bisa dimengertinya, Kania mulai menganggap teman ayahnya itu dalam tatapan yang berbeda. Perasaan yang berusaha keras untuk ditepisnya.
"Om, udah," ujar Kania lagi setelah perempuan itu mandi dan selesai mempersihkan dirinya. dia juga sudah menutupi tubuhnya dengan handuk.
"Saya masuk ya," ujar Genta sopan. Sialnya kelakuan Genta yang seperti itu memelehkan Kania. Ia berusaha mati-matian menahannya.
"Aku mau dibawa ke kamar aja. baju aku disana." Kania berbisik diceruk leher Genta menyembunyikan wajahnya yang memerah. Genta tersenyum tipis sambil mengangguk. Ia meletakkan Kania lagi dengan hati-hati.
"Om, aku enggak berat ya?" tanya Kania tiba-tiba mengingat Genta dengan sangat mudah mengangkatnya begitu saja. ia tidak keberatan membawa Kania dalam beberapa langkah yang panjang.
"Berat, tapi masih bisa saya angkat," ujar Genta menatap isterinya. Wajah mereka dekat lagi yang membuat Kania buru-buru memalingkan kepalanya. ia takut kelepasan lagi seperti sebelumnya yang membuatnya mandi ketiga kalinya pagi ini. Kania tidak ingin hal itu terjadi. Wajar ia menahan dirinya.
"Ya udah. Om kerja gih sana."
Genta tersenyum tipis. "Ehm," ia mengusap rambut Kania tipis sebelum menutup pintu kamar. Sekian kalinya Kania menggelengkan kepalanya. ia mengusir banyangan senyum Genta yang begitu menawan.
"Waras Kania!" bisiknya berulang kali memantrai dirinya. sayangnya hal tersebut tidak berhasil. Dia malah semakin malu dengan tindakannya.
Usai memasang bajunya, Kania mengambil ponselnya. Perempuan itu menghubungi Abi karena dia tidak tahu harus berbicara pada siapa. Berbicara pada Tara? Ia takut mendapati amarah dari ayahnya itu lagi.
"Kenapa?" nada Abi terdengar sangat malas-malasan diujung telepon sana.
"Bi, gue …" Kania terhenti sebentar. Wajahnya kembali memerah malu.
"Kenapa dengan lo Kania? Sedang enggak waras?" decak Abi yang sepertinya tidak menganggap Kania sebagai perempuan. Laki-laki itu tidak terlalu memperlakukannya sehangat Genta.
"Kayaknya gue emang udah enggak waras deh," ujar Kania mendesah. "Masa gue habis begituan sama Om Genta."
Puft! Ucapan Kania sukses membuat kopi yang diminum oleh Abi tersembur. Tidak lama iringan sumpah serapah dengan semua nama hewan yang ada di kebun nama binatang keluar dari mulut laki-laki yang bekerja sebagai programmer itu. "Lo benar-benar gila ya? Masa lo laporin masalah itu sama gue sih? Manas-manasin apa mancing emosi?" geram Abi tidak habis pikir.
"Gue malu Bi. Lo bisa bayangin enggak gimana jadinya di posisi gue? Masa sih gue berselera menatap Om Genta?" Kania merengek. Ia mengabaikan sumpah serapah Abi.
Laki-laki itu menggulirkan kepalanya. "Dia suami lo, Kania. Wajar lo nafsu sama dia. Kalau lo enggak nafsu baru namanya aneh."
"Lo enggak ngerti." Kania mengeluarkan dengusannya.
"Emang. Dan jangan paksa gue mengerti dengan kegilaan lo itu!" Abi memutuskan panggilan telepon secara sepihak. Kania hanya bisa menangkupkan wajahnya tanpa bertindak banyak. Dia masih merutuki dirinya yang tergoda pada Genta.
"Sayang!" Genta mengetuk pintu kamar lagi.
"Ehm," Kania menyahut sambil membuka pintu.
"Saya bawain sarapan. Kata bibi kamu belum sempat sarapan. Oh ya, saya mau kerja. Mika udah saya mandiin. Ia lagi minum susu sambil berjemur sama bibi. Kalau kamu merasa butuh sesuatu jangan lupa telepon saya ya? Maksudnya, siapa tahu kamu merasa kelelahan mengurus Mika?"
Kania menganggukkan kepalanya. dia mengambil makanan dari Genta itu dengan cepat. Setelahnya dia menutup pintu tanpa mengatakan apapun. Kania juga tidak merespon apapun sama sekali. Dia masih terlalu malu untuk mengeluarkan suaranya.