Abi mengusap rambutnya sambil mendesis. "Lo tahulah! Kabur. Kalau masih tinggal sama nyokap bokap gue pasti di stir mereka. Disuruh ngikutin karir bokaplah, enggak boleh inilah, aturan itulah!"
Kania tertawa. "Namanya juga orang tua."
"Seenggaknya Om Tara enggak banyak aturan."
Siapa bilang Tara tidak banyak aturan? Tapi memang, dia tidak sestrict orang tua lain. Tara masih bisa santai dalam beberapa hal. Tapi Kania tidak ingin memperdebatkan hal itu pada Abi. "Trus lo disini ambil apa?"
"Programmerlah! Sesuai jurusan kuliah dong!" ujar Abi enteng.
Kania manggut-manggut. "Jadi pindah rumah kesini tapi enggak niat bertamu?" Kania berdecak pada kawan lamanya tersebut.
Abi juga melakukan decakan yang sama. "Enggak tinggal disini sebenarnya gue!" membuat Kania menaikkan alisnya menunggu penjelasan lanjut kenapa laki-laki itu ada disana. "Tapi ya tadi habis ketemu teman," ujar Abi.
"Teman?" tanya Kania dengan sebelah alis terangkat. "teman aja atau teman …"
Abi berdecak lagi. Ia mengerti maksud Kania itu. "Teman Kania. Enggak ada siapapun!" bisik Abi.
"Segitu sibuknyakah tuan Albifahri sampai-sampai tidak memiliki pasangan? Atau … terlalu tinggi standarnya sehingga tidak ada yang terlihat sempurna selama ini."
Abi tertawa mendengar pertanyaan Kania. "Ehm … mungkin dua-duanya tepat." Akhir ekspresi Abi berubah kecut sedikit. Entah Kania bisa menangkapnya dengan jelas atau tidak.
"Apa itu maksudnya mungkin? Punya alasan lain berarti kenapa memilih masih melajang selama ini?" Kania mendesak.
Abi mengibaskan rambutnya ke belakang. "Emangnya harus ya gue punya pasangan? Masih terlalu mudah enggak sih?"
Kania memutar bola mata. "Memang enggak harus sih!"
Setelahnya mereka sudah berganti topik pada hal lain. Banyak hal yang mereka bicarakan sebagai kawan lama. Kania tahu sekilas melalui spoiler tidak sengaja dari Abi kalau Genta sering curi-curi waktu pergi menyusul Kania selama mereka berpacaran dulu. Huh! Dasar Genta! Bibit Genit memang sudah terdeteksi dari lama sepertinya.
Kalau Kania dikembalikan lagi ke masa lalu, perempuan itu akan mencegah awal-awal. Memberikan pembatas pada Genta dengan tembok yang besar agar laki-laki itu tidak bisa bersikap seperti sekarang. Oh! Genta yang sekarang sangat tidak tertolong. Setiap hari selalu saja melemparkan rayuan untuk Kania. Otaknya tidak terkontaminasi secepat itu seharusnya.
Kania kembali ke rumah tengah hari setelah berpisah dengan Abi. "Aku selamatkan, Bi! Dan Mikaela juga enggak kurang satu apapun," ujar Kania sampai rumah.
Bibi tersenyum lega. "Syukurlah, non! Bibi lega. Non mau makan? Apa bibi siapkan makan siang?"
"Buat makan siang aku makan alpukat aja deh," ujar Kania.
"Tapikan non Kania harus ngasih asi untuk nona Mikaela?" ucap Bibi bertanya ragu-ragu.
"Heuh sampai kapan sih aku harus menyusui Mikaela? Aku enggak bisa apa kasih susu formula aja?" Kania mengeluh pada bibinya. Wanita paruh baya yang tidak pernah memiliki anak itu terdiam.
"Bibi enggak tahu non. Bibi enggak pernah melahirkan," ujar Bibi lesu. Seketika Kania merasa bersalah sekali.
"Iya deh. Aku makan demi bibi. Jangan sedih lagi!" ujar Kania. "Tapi aku mau ganti baju dulu, sama nidurin si tuan puteri," ujar Kania merujuk pada anaknya.
Bibi menganggukkan kepalanya. Setelah makan siang, Kania membuka laptopnya, mencari memori apa saja yang tersimpan di folder lama itu. Menyelidiki kenangan yang tidak banyak dia tahu untuk dia protes pada Genta nantinya. Entah berapa lama Kania melakukannya sampai perempuan itu terlelap di samping anaknya.
***
Pukul lima Genta sudah sampai di rumah. laki-laki itu tentu saja langsung mencari isteri dan bayinya. Dia tersenyum tipis melihat Mikaela yang sedang menyusu dengan ibunya. "Om Genta!" protes Kania saat laki-laki itu masuk saja menerobos.
Dia tidak menghiraukan, mengecup pelipis isterinya sebentar kemudian menganggu Mikaela yang sedang mengisi nutrisi untuk tubuhnya tersebut. tentu saja bayi mungil tersebut mengerang kesal. Agenda makannya sedang diganggu.
"Om Genta …" erang Kania sekali lagi mendelik pada suaminya itu.
Genta malah tertawa. Sepertinya selain genit, Genta juga tipikal bapak yang iseng. "Gantian … papa kan juga mau!"
"Om …" Kania melotot pada pria itu.
Tawa Genta makin keras. Apalagi ketika Kania merubah posisi membelakangi Genta. "Keluar dulu kenapa sih om?!"
"Udah biasa juga lihat punya kamu."
"Tetap aja Om kepancing pasti kalau liat," sungut Kania.
Genta tertawa. "Saya mau mandi. Pakaian saya masih disini, lho!"
Kania mencibir. "Alasan."
"Nanti titip Mikaela bentar sama papa mertua yuk!" ajak Genta membuka lemari, mencari pakaiannya sendiri.
"Ngapain?"
"Pacaran," jawab Genta asal.
"Hah?" Kania masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Mungkin kamu bosan berada di rumah. kita bisa menikmati waktu berdua. Saya pastikan kamu enggak akan bosan." Genta berujar. Kali ini laki-laki itu sudah hadir di depan isterinya.
"Enggak mau ah kalau nonton. Nanti Om Genta aneh-aneh lagi."
Genta tersenyum mendengar perkataan isterinya itu. "Kamu ya, sama kayak awal-awal kita pacaran. Nanti ujung-ujungnya kamu sendiri yang modusin saya."
Kania berdecak. Kali ini dia meletakkan Mikaela yang sudah terlelap itu. Memang dasar gembul, habis mandi, minum susu, setelahnya tidur. Nanti malam baru begadang mengoceh semaunya. Kembali lagi pada Genta dan Kania, perempuan itu menatap suaminya sekarang. "Ngomong-ngomong soal pacaran, Om Genta sering ngunjungin aku pas kuliah ya?"
Genta terpaku beberapa menatap isterinya tersebut. "kamu udah ingat lagi semuanya? Sayang, sekarang kamu percayakan kalau kita suami isteri?"
Kania mendengus. "Aku tadi ketemu ma Abi. Trus dia cerita …"
"Kamu ketemu sama siapa?" kali ini tatapan Genta sedikit berubah. Wajah laki-laki itu juga merubah masam. Ia memotong pembicaraan isterinya itu bahkan sebelum Kania sebelum menyelesaikan ucapannya. Ada jiwa-jiwa terganggu yang timbul dalam diri Genta. Seolah-olah musuh telah menganggu daerah teratorinya.
"Albifahri. Teman aku masa kecil itu lho Om. Anaknya Om Irvan yang pindah kerja ke Kalimantan," jawab Kania. Waktu Kania sekolah dasar, Genta beberapa kali juga sering menjemput Kania pulang sekolah jika Tara tidak memiliki waktu. Beberapa kali Abi juga ikutan nebeng, diantarkan pulang oleh Genta.
"Trus dia bilang kayak gitu lebih kurang." Kania berkata lagi melanjutkan.
"Dimana?" tanya Genta.
"Apanya? Om nyusulin aku, jelas pas aku kuliah di Sydney dululah."
Genta berdecak. "Di mananya kamu ketemu laki-laki itu?"
Kania sekarang yang menyipit. "Kenapa dengan nada bicara om itu?" merasa ada yang berbeda dari nada bicara Genta.
"Kalian bicarain apa aja selain itu? Dia ada megang-megang kamu?" tidak menggubris, Genta malah mengajukan pertanyaan lainnya.
Kening Kania mengkerut. "Ceritanya Om lagi cemburu! Om, kami berteman."
"Teman yang pernah nyatain perasaan ke kamu," dengus Genta.
"Apa?" Kania kali ini membelalakkan matanya.
"Abi itu suka sama kamu, Ka'!" tekan Genta. "Saya enggak masalah kamu mau berteman dengan siapa saja. sungguh! Kamu pasti tahu saya tidak seprotektif itu. Tapi tidak dengan laki-laki yang juga menginginkan kamu."