"Tapi tadi Abi biasa aja?" ujar Kania mengingat lagi dengan sikap Abi yang bertemu dengannya tadi siang. Tidak ada yang aneh dari yang laki-laki itu katakan.
"Mungkin dia lupa karena dia mengatakannya saat alkohol menguasai pikirannya." Genta mengusap wajahnya ketika Kania masih tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. "Kania, saya tidak menyuruh kamu untuk membenci dia, ke depannya saya hanya berharap kamu membatasi gerak dengan dia. Saya harap kamu bisa jaga perasaan saya."
"Hah? Menjaga perasaan itu gimana maksudnya? Aku enggak genit sama Abi." Kania merasa Genta terlalu berlebihan. Pria itu mengusap wajahnya.
Genta diam selama beberapa saat. "Tapi kamu sedang bosan dengan saya." Genta bergumam yang bisa didengar dengan jelas oleh Kania.
"Aku bukannya bosan sama Om, tapi aku enggak cinta. Oh! Bayanginnya aja, aku jijik parah, Om. Sumpah! Ngerti enggak sih kondisi aku?" geram Kania muak.
Genta terpaku mendengar perkataan Kania. "Kamu benar-benar enggak mengingat apapun."
"Bagaimana aku bisa mengingat apapun kalau aku belum pernah mengalami kejadian itu? berapa kali aku bilang bahwa aku kemungkinan melalui lompatan waktu." Kania menangkupkan wajanya. Dia menangis. Kania benar-benar frustasi karena tidak ada yang mengerti dirinya.
Genta meneguk ludahnya kasar. Matanya juga berkaca-kaca mendengar semua pernyataan Kania. "Om ngerti enggak sih kalau aku jengah dalam kondisi ini. Tolong jangan paksa aku menerima kondisi gila ini."
Genta menarik nafasnya. "Maaf! Saya minta maaf kalau menikah dengan saya membuat kamu jengah." Genta kemudian keluar kamar. Dia membiarkan Kania menangis sepuas hati perempuan itu. Genta berjalan keluar kamar. Ia juga butuh menenangkan dirinya.
***
Tara pulang ke rumah dan merasakan aura dingin yang sangat kentara. Genta duduk di halaman samping sambil merokok sementara Kania telungkup di kamar sambil sesekali mengusap air matanya. Ia melirik pada Mikaela, cucunya itu masih terlelap manis setelah disusui oleh Kania. Tar kemudian turun ke lantai satu. Ia pergi ke dapur yang untungnya masih bertemu dengan bibi.
"Sepertinya non Kania dan Pak Genta bertengkar hebat lagi, tuan." Bibi langsung melapor pada majikannya itu sebelum tanya keluar dari Tara.
Tara menarik nafasnya kemudian menghembuskannya. "Ya sudah. Bibi sudah boleh pulang. Biar saya yang handle mereka." Bibi menganggukkan kepalanya. Tara menarik nafasnya sebentar kemudian menghembuskannya. Pria itu mengusap kepalanya. Tara kemudian mengambil beberapa botol minuman kaleng beralkohol. Setelahnya dia menghampiri temannya. Tara tidak berbicara apapun. Dia hanya duduk disamping Genta sambil menenggak minuman untuk dirinya sendiri.
Setelah beberapa saat Genta bereaksi juga. Pria itu mengambil satu kaleng dan membuka tutupnya dengan lihai. Tapi Genta tidak langsung meminumnya. Pria itu malah menimbang-nimbang di tangannya.
"Apa sementara waktu gue dan Mikaela tinggal dulu di apartemen yang lama?" Genta berbisik lirih yang membuat Tara mematung selama beberapa saat.
"Ta, lo jangan gila! Gimana nanti Mikaela nyusunya?" Tara menolak gagasan teman sekaligus menantunya itu.
"Susu formula mungkin sudah baik untuk Mikaela. Atau, banyak diluaran sana yang menjual Asi." Genta bergumam setelah banyak pertimbangan.
Tara menarik nafasnya. "Lo tega biarin Mikaela seperti itu? gue pernah ngasih susu formula ke Kania karena keadaan. Karena Dita yang enggak ada. Tapi gue enggak sanggup melihat Mikaela merasakan hal yang sama seperti yang ibunya rasakan. Membeli Asi bukan ide yang baik menurut gue. Kita enggak tahu asi itu udah basi atau belum, udah disusupin bahan apa agar bisa bertahan lama."
Genta terdiam. "Tapi kondisi Kania semakin memburuk semakin kita paksakan. Hari ini, Kania berkata dia enggak cinta sama gue. Dia jijik, dia jengah." Genta mengusap tipis air matanya yang mengalir lurus sekuat apapun laki-laki itu menahannya.
Tara menarik nafasnya mendengar pengakuan temannya itu. "Gimana dengan cari nanny aja buat Mikaela? Siapa tahu, ketika Kania sudah semakin lama berinteraksi dengan anaknya, dia bisa menghilangkan depresinya. Ehm … kalau buat hubungan lo dan Kania apa enggak bisa bersabar sedikit lagi Ta? Gue paham gimana sulitnya anak gue. Cuma gue takut kalian berdua menyesal nantinya jika mengambil keputusan yang terburu-buru. Gimana kalau kita ngasih treatment secara perlahan sama Kania. Pas dia menganggap lo omnya, toh Kania tidak pernah serisih sekarang."
Genta mendongak menatap Tara. "Gue enggak nyerah buat Kania sampai dia menyuruh gue pergi. Bahkan jika Kania menyuruh gue pergi gue akan sabar menunggunya. Tadinya gue pikir memberikan ruang aja buat Kania karena gue takut banget dengan kondisinya yang semakin parah."
"Gue sayang banget sama Kania, Tar. Gue rela lakuin apapun untuk kebahagiaan dia. Kalau dia benar-benar enggak suka lagi …"
"Ta, jangan gegabah dulu! Kania kayak ginikan karena lagi depresi aja. gue ngomong kayak gini karena gue teman lo. Gue akan tahu seperti apa nantinya lo saat jauh dari Kania."
Genta menggigit bibirnya. pria itu menarik nafasnya. "Ehm."
***
Kania membuka matanya ketika mendengar suara Mikaela yang menangis. Perempuan itu melirik jam yang ternyata setengah tiga dini hari. Dia mengintip, tidak ada Genta di kamar puterinya itu yang membuat Kania yang menyerngit. Kemana suaminya itu? bukannya Genta tidur di kamar Mikaela? Dia memang tidak terlalu peduli dengan Genta setelah pertengkaran hebat mereka.
Perempuan itu ragu-ragu mengambil Mikaela. Masih dengan kekakuannya memeriksa popok Kania yang ternyata basah itu. Kania menggigit bibirnya, "Sebentar ya!" ujar Kania mencari celana ganti puterinya.
"Biar aku saja," ujar Genta yang sudah berada dibelakang Kania membantu isterinya tersebut. Kania menyerngit.
"Om, minum alkoholnya?" Kania menyerngitkan hidungnya membaui aroma yang menguar dari tubuh lelaki itu.
"Dikit," ujar Genta yang membuat Kania meragukan perkataan suaminya tersebut. "Aku enggak niat tadi minum tapi papa mertuaku meletakkannya di sampingku. Dia sebenarnya menyuruhku tanpa kata untuk minum. Tapi Tara enggak salah, aku minta maaf mengecewakan kamu lagi."
Genta meracau. Pria itu benar-benar mabuk.
"Tidur aja deh, biar aku yang jaga Mikaela malam ini." Kania dengan setengah kesal mendorong suaminya itu.
Bug! Jatuhnya Genta membuka Kania terkejut. Tadinya dia hanya mendorong Genta sedikit saja. tidak tahu Genta yang sempoyongan itu jad terhantuk meja karenanya. "Om enggak apa-apa?" tanya Kania panik. "Sorry," ujarnya dengan perasaan bersalah. Genta masih meringis membuat Kania tergoda menyingkirkan tangan Genta.
"Ssst, maaf ya om. Sebentar aku ambil kompres dulu," ujar Kania beranjak dari duduknya. Tapi Genta menarik Kania untuk duduk dipangkuannya.
"Saya enggak tahu apa yang terjadi dengan kamu sayang, tapi saya benar-benar mencintai kamu." Genta merebahkan kepalanya dibahu Kania yang membuat perempuan itu terkejut dengan aksi Genta. Ia kesulitan mendorong tubuh suaminya itu. membuat Genta terlelap di tempat tidur.
Kania berhasil melepaskan diri untungnya. Perempuan itu mengambil air dalam baskop kemudian melap tubuh Genta. Menanggalkannya meskipun Kania harus memejamkan mata pada pakaian tertentu Genta. Setelahnya dia cepat-cepat melemparkan selimut pada tubuh Genta.